Hai, perkenalkan namaku Elina Lysandra, tapi teman-temanku biasa memanggilku Elina. Saat ini, aku sedang duduk di bangku sekolah SMA, ya, SMA—sebuah dunia yang terasa begitu menyeramkan dan penuh teka-teki. Aku bingung bagaimana mendeskripsikannya, karena di balik semua rutinitas dan tekanan, ada banyak momen berharga yang tak terlupakan.
Sekarang, aku berada di kelas 11, tahun di mana semua orang mulai berbicara tentang persiapan Ujian Nasional (UN) dan langkah-langkah menuju universitas favorit. Namun, anehnya, aku tidak terlalu memikirkan tentang universitas mana yang akan kutuju. Saat ini, aku lebih suka menikmati setiap detik dari masa remaja ini, tanpa terbebani oleh ekspektasi yang datang dari orang lain.
Setiap hari di sekolah dipenuhi dengan tawa bersama teman-teman, gossip ringan di kantin, dan bahkan drama kecil yang membuat hari-hariku lebih hidup. Terkadang, aku merasa seperti sedang berada di dalam film, di mana setiap karakter memiliki cerita dan perannya masing-masing. Ada Luna, sahabatku yang selalu ceria; dan Denis, si jenius yang tampaknya tidak pernah belajar.
Meskipun dunia SMA sering kali terasa menakutkan dengan segala tuntutan dan tekanan, aku berusaha untuk melihat keindahan dalam setiap momen. Aku percaya bahwa hidup adalah tentang perjalanan, bukan hanya tujuan. Jadi, untuk saat ini, aku akan terus menikmati masa-masa ini, menjalin persahabatan, dan mengeksplorasi diri.
Siapa tahu, mungkin di antara semua keseruan ini, aku akan menemukan apa yang benar-benar aku inginkan untuk masa depanku. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin fokus pada hari ini dan setiap petualangan kecil yang menantiku.
Ohiya, ada satu hal yang membuat hari-hariku di sekolah tidak pernah tenang. Aku memiliki seorang teman sekelas laki-laki yang sangat menyebalkan. Namanya Demian. Dia selalu mengisengiku, dan tidak ada hari tanpa lelucon konyol darinya. Dari mengumpati barang-barangku sampai menyembunyikan buku pelajaranku, Demian tahu betul cara membuatku kesal. Suatu ketika, saat aku sedang fokus belajar di Kelas, dia datang dan dengan santainya mengambil pensilku.
"Eh, Elina! Apa ini pensil ajaib? Kenapa kamu terus menggunakannya?" katanya sambil tertawa. Aku hanya bisa mendengus dan berusaha untuk tidak merespon. Namun, dalam hati, aku tahu bahwa meskipun Demian menyebalkan, kehadirannya membuat hari-hariku di sekolah menjadi lebih berwarna.
Meskipun kadang aku merasa kesal, ada kalanya aku juga menemukan diriku tertawa bersama dia. Mungkin, ini adalah bagian dari masa SMA yang harus aku nikmati—canda tawa yang menyertai setiap perjuangan. Dengan segala kekacauan ini, aku berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran dan mimpi-mimpiku, meskipun Demian selalu berhasil mengalihkan perhatianku.
Seiring berjalannya waktu saat di kelas 11, aku merasakan tingkah laku Demian semakin menyebalkan. Setiap hari sepertinya ada saja cara yang dia lakukan untuk mengusikku—dari menyembunyikan bukuku hingga pura-pura tidak tahu saat aku terjatuh. Namun, ada satu hal yang berbeda. Teman-temanku, Luna dan Denis, mulai mengamatiku dengan tatapan penuh arti.
"Elina, kamu sadar nggak sih? Dia itu suka sama kamu," ujar Luna sambil tersenyum nakal. Denis hanya mengangguk setuju, terlihat tidak sabar menunggu reaksiku.
"Dari mana kalian tahu?" tanyaku, berusaha terdengar skeptis meski hatiku berdebar.
"Ya, cara dia mengisengimu. Itu tanda-tanda klasik! Cowok yang suka pasti akan berusaha menarik perhatian gadis yang dia suka," jawab Denis.
Aku tidak bisa menahan senyuman yang muncul. Memang, ada kalanya aku merasa tingkah Demian itu lebih dari sekadar iseng. Ada kehangatan di balik semua ejekan dan leluconnya. Namun, aku juga bingung. Apakah aku harus menganggap ini sebagai cinta? Atau hanya sekadar permainan remaja? Hari demi hari, saat kami belajar bersama di kelas, suasana semakin intens.
Demian semakin berani, menyentuh bahuku ketika melewati, atau membuat lelucon yang membuatku tersipu. Di satu sisi, aku merasa kesal, tetapi di sisi lain, ada rasa penasaran yang tak terelakkan.
"Elina, kamu sudah siap untuk ujian besok?" tanya Demian suatu hari setelah pelajaran selesai, dengan nada yang lebih serius daripada biasanya.
"Eh, ya... cukup," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaanku yang mulai rumit.
Tapi saat matanya menatapku, aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam. Apakah ini cinta? Atau hanya sekadar perasaan aneh yang muncul di tengah kekacauan persiapan UN dan rutinitas sekolah? Semua pertanyaan itu menggelayut di pikiran, membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya antara aku dan Demian.
Suatu hari, saat istirahat, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Dengan sedikit keberanian, aku mendekati Luna dan Denis. "Eh, kalian tahu nomor HP Demian nggak?" tanyaku, berusaha terdengar santai. Luna tampak terkejut sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Oh, iya! Aku tahu. Dia baru saja ganti nomor karena beli Handphone baru," katanya sambil menjulurkan tangannya. "Tunggu, aku ambil dulu."
Aku menunggu dengan detak jantung yang semakin cepat. Tidak lama kemudian, Luna kembali dengan selembar kertas yang penuh dengan angka. "Ini dia, Elina! Tapi hati-hati, ya. Jangan sampai dia tahu kita yang kasih tau," tambahnya dengan nada mengingatkan. Setelah mendapatkan nomor itu, aku merasa campur aduk antara senang dan gugup.
Bagaimana jika aku mengganggu dia? Tapi aku sudah terlanjur penasaran. Dengan tidak berfikir panjang dan mengumpulkan semua keberanianku, aku membuka aplikasi chat di ponselku dan mulai mengetik pesan
"Hey, Demian! Ini Elina. Aku dapat nomor ini dari Luna. Apa kamu lagi sibuk?"
Setelah menekan tombol kirim, aku menunggu dengan cemas. Jantungku berdebar-debar saat melihat titik-titik ketikan yang muncul di layar. Apakah dia akan membalas? Tak lama, ponselku bergetar.
Pesan dari Demian muncul di layar: "Oh, hai Elina! Iya, lagi santai. Ada apa?".
Aku tersenyum lebar, merasa seolah aku baru saja memenangkan sebuah pertarungan. Rasa ingin tahuku semakin membara. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang menarik antara aku dan Demian, Lalu aku mulai bertanya hal yang ingin ku pastikan
"Tidak apa-apa aku hanya ingin bertanya. Besok kamu masuk sekolah?"
Aku menunggu balasan dengan jantung berdegup kencang. Tak lama kemudian, ponselku berbunyi.
"Nggak ah, aku males," balas Demian.
Aku tersenyum sendiri membaca pesan itu. Memang, Demian adalah tipe siswa yang malas belajar. Dia sering mengeluh tentang pelajaran dan lebih suka menghabiskan waktu bermain game atau bercanda dengan teman-temannya.
Namun, di balik sikapnya yang santai itu, aku tahu dia sebenarnya cukup pintar. Ketika dia mau, dia bisa dengan mudah menyelesaikan tugas-tugas dan ujian tanpa kesulitan berarti.
"Kenapa males? Ada yang lebih seru dari sekolah?" balasku, mencoba menggali lebih dalam.
"Banyak! Misalnya, tidur siang," jawabnya dengan nada bercanda.
Aku terkekeh membaca pesan itu. Meskipun dia sering mengisengiku, ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman berbicara dengannya. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan ketertarikan yang lebih dari sekadar pertemanan.
"Yah, kalau kamu tidak masuk, siapa yang akan jadi bahan isenganku?" tulisku, berharap bisa memancing reaksinya.
"Tenang saja, aku akan tetap mengisengimu meski dari jauh," jawabnya dengan emotikon nakal.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan senyum. Mungkin memang ada benarnya kata teman-temanku. Mungkin, cara Demian mengisengiku adalah cara dia menunjukkan perasaannya. Mungkin di balik semua itu, ada ketertarikan yang lebih dalam.
"C'mon, Demian! Kamu tahu kita lagi persiapan UN. Jangan malas terus, dong! Lagipula, siapa yang akan mengisi tempat duduk di sebelahku?" tulisku berharap dia berubah pikiran..
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia membalas.
"Hah, siapa peduli? Sekolah itu membosankan." Jawabnya yang membuatku bertekat untuk merubah pikirannya
"Tapi, kita punya tugas kelompok yang harus diselesaikan. Dan... aku akan sangat merindukan kehadiranmu di kelas." tulisku menunggu balasan dari Demian, berharap dia tergoda dengan kata-kataku. Akhirnya, dia membalas lagi.
"Oke, oke... mungkin aku akan masuk. Tapi hanya kalau kamu janji akan membawakan snack favoritku." Jawabnya dan Aku tertawa, merasa lega.
"Deal! Aku akan membawakanmu kue cokelat."
Setelah mengirim pesan itu, aku merasa senang. Mungkin, dengan sedikit usaha, aku bisa membuat Demian lebih bersemangat untuk belajar. Dan siapa tahu, mungkin ini juga bisa menjadi langkah kecil menuju kedekatan di antara kami. Di dalam hati, aku berharap ada lebih banyak momen seperti ini di masa depan.