Aku jadi teringat, ada seorang gadis yang selalu berdoa jika ia menginginkan seseorang yang akan selalu ada bersamanya sebagai pasangan hidup. Seseorang yang bisa menjadi sahabat sehidup semati untuk saling melengkapi satu sama lain. Tidak, ia tidak meminta seseorang yang sempurna dalam segala aspek, tetapi hanya ingin seseorang yang mau berjuang bersama untuk saling menyempurnakan. Ia hanya ingin seseorang yang mencintainya dengan tulus.
"Kita akan buka ibadah pemberkatan pernikahan yang indah ini dalam doa."
Semua tamu yang hadir di gedung putih yang telah di dekorasi sehingga terlihat mewah bak sedang dalam pernikahan kerajaan ini menundukan kepalanya secara bersamaan. Mereka semua memejamkan mata, terlihat begitu khidmat mendengarkan doa yang dipanjatkan.
Selesai dengan doa, terlihat dua orang wanita paruh baya dengan gaun berwarna biru navy saling bergandengan tangan memasuki gedung dengan wajah sumringah, terlihat jelas jika keduanya sedang berbahagia. Keduanya membawa masing-masing satu lilin di tangan mereka, di ikuti para keluarga inti dari kedua mempelai di belakang mereka.
Penyerahan lilin ini dilakukan sebagai tanda restu sudah diberikan oleh kedua orang tua kepada anak-anak mereka yang akan menikah.
"Kami persilahkan kedua ibu dari calon pengantin untuk menyalakan lilin di bagian kanan dan kiri."
Dengan senyum cerah, ke dua ibu mempelai pun menyalakan lilin yang telah disiapkan di depan altar pernikahan, meninggalkan satu lilin yang berada di tengah. Senyum mereka semakin mengembang ketika berhasil menyalakan lilinnya, begitu pula seluruh tamu yang menyaksikan.
Setelahnya para groomsmen dan bridesmaids yang merupakan teman dari mempelai pria dan wanita pun memasuki tempat pernikahan, dengan sang mempelai pria di barisan paling depan. Mereka berjalan dengan anggun dan gagah menuju tempat duduk yang telah disediakan khusus, sedangkan mempelai pria naik ke atas altar menunggu arahan selanjutnya.
"Para tamu undangan yang terhormat, sekarang saatnya mari kita menyambut calon pengantin kita yang berbahagia. Kami mohon untuk semuanya berdiri, dan kita sambut pengantin kita, Laura."
Semua menoleh ke arah belakang sembari berdiri, dimana seorang gadis dengan gaun pengantin putih bak putri kerajaan masuk ke dalam gedung pernikahan, berjalan menyusuri karpet merah yang membentang menuntunnya menuju altar. Mereka menyambut mempelai wanita dengan penuh keceriaan, terpancar jelas di wajah para tamu undangan yang tidak lepas dari senyuman.
Gadis cantik dengan rambut terurai namun tertutup veil itu digandeng oleh sang ayah yang berjalan tegap di sampingnya, menggenggam tangan sang putri cukup kuat tetapi tidak sampai menyakiti, seolah ia belum siap kehilangan putri kesayangannya.
Laura menoleh ke arah sang ayah dan memberikan senyum manis terbaiknya, seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
Laura kembali mengalihkan pandangannya ke depan, dan kini tatapannya bertemu dengan sang mempelai pria, calon suaminya yang sudah menunggu di altar sana, tengah menatapnya dengan sorot mata yang datar, terasa sangat dingin ditengah suasana pernikahan yang begitu hangat.
Meskipun terasa sulit, Laura tetap mencoba tersenyum semanis mungkin di hari yang seharusnya menjadi kebahagian dalam hidupnya. Tolong garis bawahi kata "seharusnya". Karena jujur saja, Laura bingung harus bersikap seperti apa. Sebenarnya ada rasa bahagia di dalam hatinya, tetapi di sisi lain ia juga merasa kecewa.
"Hari ini, dihadapan Tuhan, seluruh keluarga, dan juga tamu undangan yang hadir. Saya, sebagai ayah dari Laura, menyerahkan putri yang paling saya sayangi," Laura masih berusaha tersenyum sambil mengusap punggung sang ayah yang sedang berusaha menahan tangisnya. Terdengar jelas dari suaranya yang mulai bergetar.
"Pada hari ini, saya serahkan Laura kepada Theo--" Sang ayah kembali terdiam sejenak, berusaha mengendalikan perasaannya, "Tolong jaga Laura."
Theo mengangguk kecil lalu memeluk pria paruh baya yang sebentar lagi akan menjadi ayahnya juga. Ia mengelus punggung tegap itu sambil berusaha menguatkan, "Iya, aku mengerti. Aku akan menjaga putri mu dengan baik."
Sang ayah meneteskan air mata ketika ia melepaskan genggaman tangannya dari Laura dan memberikan gadis kecilnya kepada calon menantu yang kini tersenyum tipis menyambut dan membantu sang calon istri untuk naik ke altar. Mungkin bagi orang yang melihat interaksi kecil mereka berpikir ini cukup manis, tapi Laura sama sekali tidak merasakan hal itu.
"Aku Theo Rasendriya Wistara mengambil kamu, Aneisha Laura Zalman menjadi istri ku, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita."
"Aku Aneisha Laura Zalman mengambil kamu, Theo Rasendriya Wistara menjadi suami ku, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita."
Dan kini, keduanya pun telah sah mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan Tuhan, keluarga, dan teman-teman mereka. Semua orang yang hadir menyaksikan bertepuk tangan meriah, menunjukan kebahagiaan mereka. Bahkan bridesmaid yang notabene adalah sahabat dari Laura pun sampai menitikan air mata terharu, melihat Laura yang kini telah sah menjadi seorang istri.
"Ikatan janji perkawinan antara Theo dan Aneisha akan ditandai lewat cincin yang akan mereka berdua kenakan."
Seorang gadis kecil berusia kurang lebih tujuh tahun datang menuju altar membawa keranjang kecil berisikan cincin pernikahan Theo dan Laura. Sambil malu-malu, gadis kecil itu menyerahkan kotak cincinnya kepada Theo lalu berlari meninggalkan altar, menghampiri ibunya dan bersembunyi disana. Para tamu undangan bahkan Theo pun tak bisa menyembunyikan senyumannya melihat betapa gemasnya anak itu.
Selanjutnya, Theo kemudian menyematkan sebuah cincin di jari manis Laura, begitu pun sebaliknya. Sejujurnya Laura sedikit kesal melihat datarnya wajah pria yang kini telah menjadi suaminya ketika menyematkan cincin. Tidak bisakah ia melihat bagaimana Laura berusaha sekeras mungkin untuk tetap tersenyum meskipun sebenarnya terasa sangat sakit. Maksudku, apa kau tidak bisa sedikit berpura-pura juga, Theo?
"Yang perlu kalian ingat, pernikahan bukanlah akhir dari perjalanan cinta kalian. Tetapi pernikahan adalah awal dari perjalan cinta kalian yang sebenarnya."
Jadi, apakah semua ini merupakan jawaban dari doa yang selalu Laura panjatkan?
"Silahkan untuk mempelai pria mencium istrinya tercinta."
Pfft… Laura berusaha menahan tawanya ketika mendengar kata-kata itu. Istri tercinta, katanya?
Theo menaikan veil yang menutupi wajah Laura. Pria itu terdiam sejenak saat mata mereka berdua bertemu sebelum akhirnya ia mengeliminasi jarak diantara mereka dan mendekatkan bibirnya pada Laura. Tetapi hanya tinggal beberap centi lagi, ia berhenti. Dengan gerakan cepat kepalanya langsung beralih menuju samping dan mencium pipi Laura singkat. Semua orang disana tersenyum gemas, menggoda mereka berdua dan mengatakan jika tidak seharusnya Theo malu-malu.
Laura mendengus perlahan. Ayolah, suaminya ini bukan malu. Ia hanya sedang berusaha menjaga perasaan seseorang.
Seseorang yang dilihat Laura sedang menatap ke arah altar sambil menahan tangisnya di ujung sana. Seseorang yang kini tengah di tatap sendu oleh suaminya. Seseorang yang menjadi alasan betapa dinginnya sikap Theo di hari pernikahannya sendiri. Lihat, bahkan kini Theo memandang wanita itu dengan tatapan penuh penyesalan.
Wanita berambut pirang di ujung sana perlahan mundur lalu melangkah pergi meninggalkan gedung pernikahan dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Wanita itu adalah kekasih dari Theo.
Bukan. Bukan pernikahan seperti ini yang Laura inginkan. Tidak ada kehangatan, tidak ada kebahagiaan, tidak ada cinta diantara sepasang muda-mudi yang telah sah menjadi pasangan suami istri ini.
Karena mereka hanya terjebak dalam pernikahan bisnis.
.
.
To be continued