"Kamu udah mau pergi?" Laura bertanya pada Theo yang kini telah sah menjadi suaminya. Baru saja mereka sampai di kamar hotel, menyelesaikan pesta pernikahan yang begitu melelahkan. Kini pria berpostur tegap itu malah buru-buru membuka koper yang dibawanya, lalu bersiap setelah mengganti tuxedonya dengan jaket berhodie berwarna abu tua.
Pria itu memakai masker hitam menutupi setengah wajahnya, "Ada yang harus aku kerjakan." Ia menyambar topi baseball miliknya dan memakainya dengan cepat.
"Theo—"
"Laura." Suara dingin pria itu membuat Laura terdiam, tatapan pria itu lebih datar dibanding yang Laura lihat di altar tadi, "Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan. Tolong, jangan kacaukan semuanya."
BLAM!
Pintu kamar president suite di hotel bintang lima yang dipesan Laura dibanting kasar, membuat Laura sedikit terkejut. Gadis itu masih terdiam ditempatnya, berusaha untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
Jadi, apa? Ia ditinggalkan saat malam pertamanya? Bukankah itu terlalu jahat? Apa pria itu tidak punya hati sama sekali? Theo benar-benar meninggalkan Laura sendirian di hari yang sama, sesaat setelah pesta pernikahan mereka selesai. Meninggalkan Laura yang bahkan masih mengenakan gaun pengantin. Pria itu bahkan tidak sempat mengganti celana dan juga sepatunya, apa itu membuktikan bahwa urusannya memang begitu mendesak?
Tidak perlu ditanya kemana Theo pergi karena Laura sangat yakin jika pria itu pergi menemui kekasihnya, atau kini sudah menjadi mantan kekasih? Entahlah, Laura tak tahu dan tak berencana untuk mencari tahu. Untuk apa? Bukankah ketenangan hati dan pikirannya lebih penting untuk sekarang? Bisakah kalian bayangkan bagaimana rasanya menjadi Laura?
Kini hanya Laura sendiri disini, meratapi semuanya meskipun dari awal ia sudah menyadari bahwa Theo sama sekali tidak mencintainya. Ingin sekali ia menertawakan takdir yang datang padanya. Berbagai pertanyaan terus berputar dikepalanya. Kenapa?Apa ia pernah melakukan kesalahan besar hingga harus berakhir begini? Haruskah ia menderita seperti ini?
Sejujurnya Laura ingin sekali melarikan diri, tetapi bukankah sudah terlambat untuk keluar dari semua drama ini? Baik Laura maupun Theo tidak menolah saat diberikan peran ini. Mereka berdua bahkan sudah bisa membayangkan bagaimana jalan cerita yang akan terjadi. Kini masing-masing dari mereka sudah memainkan perannya, semua ini harus terus berjalan meskipun tidak tahu akan bagaimana kedepannya.
Tak peduli apa lun yang terjadi pada mereka berdua, tetapi sepertinya dalam pernikahan ini tak akan ada yang namanya "kita". Hanya Theo dan Laura, tidak akan menjadi "kita." Laura bahkan tak akan pernah menjadi siapapun jika Theo masih mencintai kekasihnya. Statusnya sebagai istri hanyalah sebuah status, karena hati pria itu masih tertinggal di sebrang sana.
Dan sekarang, haruskah mereka bersaing? Haruskah mereka "memakan satu sama lain?" Dengan cara apa? Menjatuhkan satu sama lain demi mendapat validasi? Entahlah. Yang bisa Laura ungkapkan sekarang ini hanya kata benci yang meluap. Ia benci orang tuanya, ia benci takdir yang menghampirinya, dan tentu saja ia benci Theo!
Laura terduduk di lantai beralaskan karpet mewah sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, berusaha meredam tangisan yang mulai keluar setelah sebelumnya berusaha ia tahan.
Keluarkan saja, Laura. Jika aku jadi kau pun, aku tidak akan bisa menahannya. Ayo, tumpahkan saja semuanya. Tenang saja, sepertinya kamar ini kedap suara. Tak akan ada yang mendengar tangisan pilu mu diluar sana.
.
.
Tok! Tok!
Theo menunggu dengan gelisah di depan sebuah unit apartemen bertuliskan 372 di pintunya. Ia kembali mengetuk tidak sabar berharap orang di dalam sana membukakan pintu untuknya. Di hari pernikahannya ia tega meninggalkan sang istri hanya untuk meluruskan sesuatu yang menurutku, sih, seharusnya ia selesaikan sebelum hari pernikahan.
"Leia—" Theo menahan pintu ketika sang empunya unit dengan gerakan cepat berusaha menutup kembali pintu ketika ia tahu siapa yang ada di hadapannya.
"Pergi, Theo!" Suara Leia meninggi, masih berusaha menahan Theo diluar sana meskipun akhirnya ia kalah karena tenaga seorang pria memang tidak sebanding dengannya.
Sekuat apapun Leia mencoba mendorong Theo, sekuat itu pula Theo memeluknya, "Aku mohon, Leia." Terus membawanya dalam dekapan hangat yang sangat Leia rindukan hingga ia meneteskan kembali air mata yang sedari tadi ia tahan.
"Pergi, Theo! Kita udah selesai." Perkataan yang terucap seringkali berbeda dengan kenyataannya. Sekuat tenaga Leia berusaha mendorong Theo menjauh, sekuat itu pula rasa rindu yang berusaha ia tekan.
Padahal ia sudah bertekad untuk tidak bertemu lagi dengan kekasih hatinya. Bertemu pun akhirnya akan begini, membuat keduanya kembali menderita, di iringi dengan air mata yang terus berjatuhan. Meskipun tembok yang menghalangi keduanya kini sangat tinggi, tetapi mereka masih saling merindukan satu sama lain.
"I still love you, Leia." Theo melepas pelukannya, menghapus air mata yang masih mengalir di pipi kekasihnya.
Leia menggeleng lemah, "Kamu nolak aku, Theo. Kamu udah pilih dia."
"Leia, kamu tahu kan kalau pernikahan ini—"
"Kamu bahkan gak bisa nolak pernikahan ini, Theo!" Teriak Leia frustasi. Ia kembali terisak, memukul dada bidang Theo berkali-kali, "Jangan bilang kamu cinta aku, Theo. Jangan bilang itu disini, itu ga akan memperbaiki apa pun!"
Theo kembali membawa kekasihnya kedalam pelukannya. Ia pun menyadari, pengabdiannya kepada orangtua lebih besar dari cintanya pada Leia. Ia tidak pernah bisa menolak semua hal yang sudah digariskan oleh keluarganya karena menurutnya semua itu sudah sempurna. Tetapi tetap saja, ia sama sekali tak bisa mengabaikan wanita yang sudah ia cintai selama lima tahun ini. Wanita yang selalu bersamanya dalam suka maupun duka, meskipun pada akhirnya mereka tetap tidak bisa bersama karena restu dari orang tua Theo. Menurut mereka, Leia yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja tidak setara dengan Theo. Menjalin hubungan dengan Leia dan jika mereka berdua menikah pun tidak akan berarti apa-apa untuk bisnis keluarga Wistara. Politik bisnis memang sejahat itu.
"Pergi, Theo! Kita berdua ga akan bisa." Tangisan Leia semakin kencang, membuat Theo benar-benar merasa bersalah.
Ibarat ketiganya terdampar disebuah pulau dan hanya ada perahu kecil yang bisa menyelamatkan mereka, tetap saja perahu itu akan tenggelam jika mereka menyebrang secara bersamaan. Tidak boleh ada orang ketiga dalam suatu hubungan, baik dalam hubungan Leia maupun hubungan Laura yang keduanya melibatkan Theo. Harus ada salah satu yang mengalah dan membiarkan salah satunya pergi.
Tetapi hanya diminta berpikir seperti itu saja, anak tunggal keluarga Wistara ini tak bisa. Betapa egois dirinya ketika memutuskan untuk tetap mempertahankan keduanya.
Dan aku yakin, kita semua pasti sedang menantikan perkembangan yang begitu dramatis dari kisah ini, kan?
.
.
to be continued