Chereads / Kultivator Melampaui Langit: Warisan Pusaka Langit / Chapter 3 - Bab 3: Luka yang Membelah Takdir

Chapter 3 - Bab 3: Luka yang Membelah Takdir

Bayangan malam semakin gelap saat Lian Chen terus berlari, napasnya terengah-engah di antara pepohonan raksasa yang menutupi langit. Terdengar suara ranting-ranting yang patah di belakangnya—pemburu dari Sekte Kegelapan masih mengejarnya tanpa henti. Energi yang mengalir dalam tubuhnya setelah menyentuh Pusaka Langit terasa melimpah, tetapi juga tak terkendali. Perasaan cemas membebani pikirannya, namun tekad untuk bertahan tetap membara.

Di tengah pelarian, Lian Chen tiba di sebuah jurang kecil yang dikelilingi tebing curam. Jalannya terhenti. Ia memandang ke belakang, mendengar langkah-langkah yang semakin dekat.

"Tak ada jalan lagi untuk melarikan diri, anak kecil!" suara dingin pria berjubah hitam bergema, mengguncang malam. Dari balik bayangan pohon, pria itu muncul, diikuti oleh dua orang lain yang juga mengenakan jubah serupa. Aura mengerikan memancar dari mereka, menekan udara di sekitar.

Lian Chen memutar otaknya, mencari cara untuk lolos. Dia menatap ke bawah jurang, berharap menemukan celah, tetapi hanya kegelapan yang menyambutnya. Ketika dia mencoba mengerahkan energi untuk menciptakan perisai seperti sebelumnya, kekuatan itu terasa bergejolak di dalam tubuhnya, seolah menolak kendali. Dia menggeram frustrasi.

"Kau pikir kau bisa melarikan diri dari Sekte Kegelapan?" pria itu tertawa sinis. "Kekuatanmu hanyalah pemberian sementara. Tanpa kendali, itu lebih seperti kutukan!"

Salah satu pengikut pria itu maju, tangannya mengeluarkan pedang energi yang berwarna merah darah. "Serahkan pusaka itu, atau kau akan mati di sini!" ancamnya.

Lian Chen mundur selangkah, tangannya mengepal kuat. "Kalian tidak akan mendapatkan ini!" teriaknya, meskipun tubuhnya gemetar. Dia tahu tidak ada jalan keluar, tetapi menyerah bukan pilihan.

---

Pertarungan yang Tak Seimbang

Pria berjubah hitam itu memberikan sinyal, dan kedua pengikutnya menyerang sekaligus. Serangan mereka begitu cepat, membuat Lian Chen nyaris tak mampu menghindar. Salah satu pedang energi melesat ke arahnya, hampir mengenai lengannya, namun ia berhasil berguling ke samping. Tapi itu tidak cukup. Yang kedua datang dengan tendangan keras ke punggungnya, membuat tubuhnya terpental hingga membentur batu besar di tebing.

Lian Chen meringis kesakitan, darah mengalir dari sudut bibirnya. Energi dalam tubuhnya terasa kacau, seperti mengamuk tanpa arahan. Dia mencoba untuk berdiri, namun tubuhnya terlalu lemah.

"Kau hanya anak kecil yang kebetulan beruntung," pria itu berbicara sambil berjalan mendekat. "Kekuatan sebesar itu bukan untukmu."

Lian Chen memandang pria itu dengan penuh kebencian. "Pusaka ini bukan milikmu juga!" Dengan sisa tenaganya, dia mencoba menyerang, memusatkan semua energinya ke dalam tinjunya. Tapi serangan itu mudah dipatahkan. Salah satu pengikut pria itu menghantamnya dengan pukulan telak ke perut, membuatnya terjatuh sekali lagi.

---

Kehancuran yang Tak Terhindarkan

Pria berjubah hitam mengangkat tangannya, energi hitam pekat berkumpul di telapak tangannya, membentuk tombak panjang yang memancarkan aura kematian. "Aku akan memastikan pusaka itu tidak melawan kita lagi. Kau sudah selesai!"

Lian Chen, yang tergeletak tak berdaya, hanya bisa menatap dengan mata terbuka lebar. Saat tombak itu melesat ke arahnya, dia mencoba untuk menghindar, tetapi tubuhnya terlalu lambat. Tombak itu menembus dadanya, menghancurkan daging dan tulang dengan kekuatan brutal. Rasa sakit yang luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya saat darah memancar dari luka besar di dadanya.

"Aghhh!!" jeritan Lian Chen memenuhi udara malam, namun seketika terhenti ketika jantungnya hancur akibat serangan itu. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya bergetar, sementara pandangannya mulai mengabur.

Pria itu tersenyum puas, menarik tombaknya yang bersimbah darah. "Sudah kukatakan, kau hanyalah anak kecil yang bermain dengan api."

Tubuh Lian Chen terjatuh ke tanah, darah mengalir membentuk genangan di bawahnya. Dalam sekaratnya, bayangan hidupnya berlalu di benaknya—kenangan ibunya, kehidupan damainya di desa, dan tekad yang pernah ia rasakan untuk mengubah takdirnya, perlahan ingatannya memudar dan dalam sekaratnya diapun tidak sadarkan diri.