Chereads / EZORA -Myosotis Forever- / Chapter 9 - -Mata yang Menembus Segalanya-

Chapter 9 - -Mata yang Menembus Segalanya-

Berhari-hari telah berlalu sejak Ezora dan Asharu memulai pelatihan mereka di markas Lost. Setiap hari terasa berat, namun mereka mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ezora, selain pelatihan fisik, juga mendapatkan pemeriksaan, penelitian, dan pelatihan khusus mengenai kekuatan matanya. Magi dan Lina ikut terlibat dalam penelitian tersebut. Saat data mereka terkumpul, sebuah fakta mengejutkan terungkap: mata Ezora memiliki hubungan dengan masa lalu, dengan sejarah kelam yang melibatkan iblis.

Dalam catatan sejarah, mata itu pernah dimiliki oleh seorang putri yang rela menyerahkan dirinya pada Raja Iblis demi menciptakan perdamaian antara dunia manusia dan dunia iblis. Mata itu tidak hanya simbol pengorbanan, tetapi juga kekuatan luar biasa. Magi menjelaskan bahwa mata itu mampu melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa, seperti menembus sihir, ilusi, dan kebohongan.

"Luar biasa," gumam Lina, matanya berbinar sambil mempelajari data yang ditampilkan Magi di layar holografik. "Mata ini benar-benar unik. Tapi… kenapa mata ini bisa ada pada Ezora?"

Magi, dengan wajah serius seperti biasanya, hanya menjawab singkat, "Itu yang sedang kita coba temukan."

Namun, meski Magi sering menunjukkan sikap dingin dan misterius yang nggak jelas, dia mulai sedikit melunak ketika berada di sekitar Ezora, Asharu, Light, dan Lina. Hubungan mereka berlima semakin erat seiring berjalannya waktu. Ezora mulai merasa bahwa mereka seperti keluarga kecil yang selalu mendukung satu sama lain.

Suatu malam, setelah sesi latihan yang melelahkan, Asharu mendekati Ezora di salah satu balkon markas. Ezora sedang duduk sambil memandangi langit malam, menikmati ketenangan setelah seharian penuh latihan. Asharu berdiri canggung di belakangnya, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bicara.

"Ezora…" panggil Asharu pelan.

Ezora menoleh, sedikit terkejut melihat Asharu yang tampak gugup. "Ada apa, Asharu?" tanyanya, memiringkan kepalanya.

"Ada sesuatu yang ingin aku katakan," ucap Asharu, menunduk. "Aku… aku ingin minta maaf."

Ezora mengerutkan kening, bingung. "Minta maaf? Untuk apa?"

Asharu menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelah Ezora. "Untuk semua hal yang aku lakukan padamu dulu. Untuk semua ejekan yang aku lontarkan. Aku tahu itu salah, tapi aku tetap melakukannya… karena aku iri padamu."

"Iri?" tanya Ezora, lebih bingung lagi. "Iri kenapa? Kamu punya segalanya, Asharu. Keluarga yang lengkap, rumah yang bagus…"

Asharu tersenyum pahit. "Itu yang terlihat dari luar. Tapi kenyataannya, orang tuaku selalu sibuk. Ayah dengan pekerjaannya, ibu dengan proyek-proyeknya. Aku selalu merasa sendirian di rumah, dan aku tidak tahu cara mengatasi perasaan itu. Melihatmu, yang hanya memiliki seorang ibu tapi begitu dicintai dan diperhatikan… membuatku merasa semakin kesepian. Jadi, aku melampiaskan rasa iri dan kesepianku dengan mengejekmu."

Ezora terdiam. Kata-kata Asharu membuatnya merenung. Setelah beberapa saat, dia tersenyum lembut dan meletakkan tangannya di bahu Asharu. "Aku memaafkanmu, Asharu. Aku tahu rasanya kesepian. Mungkin… kita bisa saling mendukung mulai sekarang."

Mata Asharu membesar, tidak menyangka Ezora akan semudah itu memaafkannya. "Kamu… benar-benar memaafkanku?"

"Tentu saja. Kita teman, kan?" jawab Ezora sambil tersenyum lebar.

Asharu tersenyum lega, untuk pertama kalinya merasa beban yang selama ini dia pendam mulai hilang. "Terima kasih, Ezora."

Percakapan itu menjadi awal baru bagi hubungan mereka. Malam itu, mereka berbicara panjang lebar, berbagi cerita dan tawa hingga akhirnya tertidur di balkon. Saat Lina menemukannya keesokan paginya, dia hanya tersenyum kecil dan menyelimuti mereka dengan jaketnya.

Light, yang sedang memimpin sesi latihan hari itu, tidak mengatakan apa-apa ketika melihat Asharu dan Ezora datang terlambat dengan wajah sedikit mengantuk. Namun, dia tersenyum kecil, merasa lega melihat hubungan mereka semakin akrab.

Sementara itu, Magi, meski tidak menunjukkan banyak emosi, diam-diam memperhatikan interaksi mereka dari kejauhan. Ada sesuatu yang hangat di balik tatapan matanya yang biasanya dingin.

Di tengah semua kesibukan pelatihan dan penelitian, mereka harus siap menghadapi apa pun yang akan datang di masa depan.