Dieora berusaha berdiri dan melirik sekeliling. Ia mengusap air yang mengahalangi penglihatannya dengan tangannya.
Merasakan sensasi rintikan hujan turun dari langit membasahi seluruh tubuhnya.
"Dimana ini?" Dieora mencoba berdiri.
"Apa ksatria itu menipuku?"
Kilat tiba-tiba saja menggelegar, menyilaukan sekitar dengan begitu terang.
Didepan sana, terlihat sebuah bangunan besar karena kilatan besar tadi.
"Apa itu akademi sihir yang ksatria aneh itu bilang?"
Dieora mencoba berjalan perlahan menuju bangunan besar yang ada dihadapannya. Kilatan besar terus muncul, seakan memberi penerangan pada langkah Dieora.
Dieora telah sampai di depan gerbang besar bangunan itu. Dia mendongak, tinggi gerbang ini sekitar tujuh kaki tingginya.
"Bagaimana aku harus masuk? Apa mereka akan mendengar ketukan ku di tengah badai yang besar ini?"
Dieora mencoba mengetuk tiga kali gerbang itu seraya berkata, "halo, apa ada orang disana?"
Tidak ada jawaban sama sekali. Hening. Yang terdengar di telinga Dieora saat ini hanyalah badai besar.
"Mungkin aku harus mendorong gerbang ini."
Tangan Dieora dia letakkan di gerbang itu. Menggunakan seluruh tenaga miliknya untuk membuka gerbang besar ini.
Nihil. Usahanya tak membuahkan hasil nyata.
"Sialan! berat sekali gerbang ini."
Tiba-tiba saja kalung milik Dieora bersinar. Itu melayang-layang. Dieora menunjukkan wajah tak mengerti.
Sebuah belati tiba-tiba datang dengan begitu cepat. Dieora dengan segera menghindar.
"Sialan kali ini apa?!"
Sebuah asap muncul. Dari dalam asap itu ada seseorang yang berbicara.
"Siapa disana?"
"Seharusnya itu pertanyaan ku. Siapa kau? Dan kenapa kau menyerang ku?"
"Manusia?" Orang itu kembali berucap.
"Apa kau benar-benar manusia?"
Orang yang ada dibalik asap itu muncul. Dia menunjukkan wujudnya. Meskipun samar samar karena kurangnya pencahayaan ditengah badai yang gelap, Dieora tahu bahwa orang yang ada dihadapannya adalah seorang gadis.
"Apa kau sungguh manusia?" Gadis itu kembali bertanya.
"Pertanyaan bodoh apa yang kau lontarkan? Tentu saja aku seorang manusia. Apa matamu itu tidak berfungsi?" Cetus Dieora.
"Maaf, aku kira kau adalah iblis. Sesaat aku merasakan kehadiran tak biasa–karena itulah."
"Sebelum itu, apa bisa aku masuk terlebih dahulu? Dingin sekali rasanya disini."
Gadis itu mengangguk. Dia dengan perlahan mendorong gerbang itu menggunakan satu tangannya.
Dieora tertegun, seorang gadis dengan satu tangannya yang kecil itu bisa mendorong gerbang besar yang bahkan Dieora sendiri tidak bisa membukanya.
"Baiklah, apa yang membawamu kemari?" Tanya gadis itu.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi seorang ksatria aneh menggunakan sihir teleport miliknya dan memindahkan ku ke tempat ini."
Dieora mengusap rambutnya yang basah karena air. Dia terus berjalan bersama gadis disampingnya.
Gadis itu menyilangkan kedua tangannya kebelakang. "Mungkin dia punya tujuan tertentu?"
"Yah, dia bilang aku harus pergi ke akademi sihir Luiotra. Ditempat itulah aku harus meningkatkan kekuatan sihir milikku."
Dieora melirik gadis itu. "Ngomong ngomong dimana ini? Apa ini sebuah penginapan?"
Gadis itu terus berjalan sembari menunjukkan wajah tak mengerti.
"Apa yang kau bicarakan? Ini adalah akademi sihir Luiotra."
Dieora seketika menghentikan langkahnya. ksatria itu benar-benar mengirim Dieora ke akademi sihir. Wajahnya seakan menunjukkan ketidakpercayaan.
"Apa kau tidak apa-apa?" Tanya gadis itu saat melihat wajah aneh Dieora.
Dieora diam, kepalanya dipenuhi pertanyaan tentang ramalan, orang terpilih, dan nasib nya sendiri. Ia masih sulit percaya pada semua yang terjadi.
dia masih tidak percaya dengan semua hal ini. Ternyata kata-kata ksatria itu bukanlah omong kosong.
Gadis itu mencoba menjentikkan jarinya. Dieora dengan segera tersadar dari lamunannya.
"Kau baik-baik saja?"
Dieora mengangguk. Dia mencoba mencerna semua hal barusan.
Mereka kembali berjalan. Tidak ada percakapan setelahnya. Pintu masuk sudah ads dihadapan mereka. Gadis itu hendak membukanya, akan tetapi ada seseorang yang muncul secara tiba-tiba.
"Lucia, siapa orang asing yang kau bawa masuk itu?" Tatapan matanya mengarah tepat ke arah Dieora.
"Ah! Kepala keamanan Dermentian, perkenalkan. Dia adalah..."
Lucia menjeda sebentar perkataannya dan kemudian bertanya.
"Siapa namamu?"
"Dieora. Namaku Dieora."
"Dieora." Ucap Lucia tersenyum kepada kepala keamanan Dermentian
"Baiklah Dieora. Apa yang membawamu kemari?"
Ekspresi wajah Dermentian begitu dingin. Wajahnya tidak terlihat bersahabat. Satu kacamata di mata kanan. Jubah dengan perpaduan warna hitam dan putih – ada sedikit garis kuning ditengah jubahnya.
"Dia bilang ada seorang kstaria aneh yang memindahkan dirinya ke tempat ini." Lucia yang menjawab.
"Jadi maksudmu kau dikirim oleh ksatria itu kemari?" Tanya Dermentian kepada Dieora.
"Aku tidak begitu yakin. Tapi kurasa iya."
Saku milik Dieora tiba-tiba bergerak, seolah ada sesuatu yang hendak keluar.
Itu kertas.
Kertas itu terbang secara perlahan menuju Dermentian. Dermentian membenarkan posisi kacamata sebelum membaca kertas itu.
Setelah huruf demi huruf ia baca, wajah dinginnya berubah menjadi terkejut. Dia melihat sekilas ke arah Dieora lalu beralih ke arah kalung yang dikenakan Dieora.
"Nak Dieora. Apa benar kalung yang kau kenakan itu adalah kristal Zhypon?"
"Begitulah. Memang kenapa?"
Dermentian memperhatikan Dieora dengan seksama, sesekali dia menyipitkan matanya. Ekspresinya berubah menjadi tak percaya.
"Harres, kau membawa sebuah berlian kemari."
Lucia dan Dieora saling menatap, keduanya terlihat bingun dengan ekspresi Dermentian yang tiba-tiba.