"untuk sementara ini adalah kamarmu Dieora." Dermentian memberikan sebuah kunci.
Dieora mengambil kunci itu. "Apa itu artinya aku diterima disini?"
"Itu semua tergantung pada kepala akademi. Aku akan coba berbicara dengannya. Untuk sementara kau beristirahatlah."
Dermentian pergi. Lucia masih berada disana. Lucia tersenyum dan melambai sebelum akhirnya pergi menyusul Dermentian.
Dieora segera masuk. Dia menutup pintu itu dan segera menuju ke tempat tidur yang ada dihadapannya. Dia melihat sekeliling. Banyak sekali barang-barang.
Sebuah peta yang tercetak 3 dimensi. Sebuah bola sihir yang menyala, karpet merah dilantai dengan bentu melingkar.
Dieroa mencoba merebahkan tubuhnya di kasur itu. Empuk sekali. Dia bisa-bisanya terlelap seketika karena kenyamanan ini.
Sial, rasa kantuk semakin kuat. Dieora tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Mata Dieora akhirnya terpejam. Dia tertidur.
Di sebuah tempat kosong. Hanya ada Dieora disana. Ada banyak sekali awan didekatnya. Sebenarnya dimana ini?
"Dieora."
Ada suara. Suara itu terdengar keras dan menggema. Dieora melirik kesana kesini. Tidak menemukan adanya pemilik dari suara yang memanggil namanya itu.
"Dieora, kau adalah orang terpilih. Bebaskan diriku maka akan ku bebaskan dunia mu."
Dieora masih mencari keberadaan dari si pemilik suara.
"Siapa itu?" Dieora akhirnya membuka suara.
"Dieora, perang besar akan terjadi dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Gunakanlah kristal itu dan bebaskan diriku. Maka akan ku bebaskan dunia mu."
"Siapa itu? Tunjukan wujud mu." .
Dieora berteriak. Sang pemilik suara masih tidak menunjukkan wujud bahkan tanda tanda keberadaannya.
Dieora berbalik. Ada banyak asap tebal berkumpul di satu tempat. Aliran petir kecil terlihat samar berada didalam gumpalan asap tebal itu.
Mata Dieora terbelalak. Dia tidak mempercayai pemandangan yang ada dihadapannya saat ini. Seseorang dengan rambut panjang berwarna putih. Tubuh pucat kering. Serta sayap besar yang menempel di punggungnya.
Tangannya diikat di sebuah rantai besar yang mengekang kedua lengannya di sisi kanan dan kiri.
Sosok itu mendongak. Menatap ke arah Dieora.
"Kristal itu, letakan kristal itu di altar penuh dosa ini. Dieora."
Sosok itu kembali menundukkan kepalanya. Dia mencoba mengambil nafas.
"Dunia yang indah ini tidak seharusnya kedatangan makhluk hina seperti mereka." Sosok itu kembali mendongak. Menatap Dieora.
"Kau pun berpikir begitu, bukan?"
Dieora menelan saliva. "Siapa kau? Apa kau yang membawaku kemari?"
"Dieora. Tidakkah kau tahu kekuatan besar yang ada pada dirimu itu?"
Dieora menggeleng. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sosok itu coba katakan padanya.
"Kau mempunyai kekuatan yang mampu mengubah dunia ini. Tepat setelah kau menyempurnakan kemampuanmu, kau akan sepenuhnya mengubah dunia yang kelam ini."
"Dieora, ingatlah satu hal ini. Kalian bertiga akan menjadi harapan terakhir dunia ini. Sampai hari itu tiba. Jadilah kuat untuk mengembalikan keadaan dunia."
Sosok itu memudar. Dia mulai hilang secara perlahan.
"Hey! Kau belum menjawab pertanyaan ku. Siapa kau sebenarnya. Mengapa kau muncul dan membawaku kemari." Teriak Dieora.
Sosok itu memejamkan matanya, "aku adalah Luemiah. Sang malaikat jatuh dari langit."
"Kalian bertiga adalah kunci untuk membuka dunia langit yang tersegel. Setelah aku terbebas, langit akan secara otomatis terbuka dan para malaikat lain mulai berdatangan ke bumi."
"Para malaikat? Jangan bercanda. Jika mereka semua datang, dunia akan terlebih dahulu hancur karena nya." Kata Dieora. Wajahnya terlihat tegang.
"Tidak jika aku disini."
Asap tebal mulai mengerumuni sosok itu. Dia menghilang. Tepat setelah sosok itu menghilang Dieora tebangun dari tidurnya.
Dieora mengusap wajahnya. Dia berkeringat. Mimpi barusan terasa begitu nyata. Apakah itu sebuah peringatan? Entahlah, Dieora terlalu pusing untuk memikirkan hal itu sepagi ini.
"Dieora, kau didalam?"
Itu suara Lucia. Dia mengetuk pintu kamar Dieora dengan pelan.
"Dermentian bilang kau harus segera bersiap. Kita harus menemui pak kepala akademi ini." Ucap Lucia lagi.
"Aku akan bersiap sebentar lagi." Kata Dieora.
"Baiklah. "
Sepuluh menit berselang. Dieora membuka pintu kamarnya. Dia mendapati Lucia yang sedang bersandar di samping pintu.
"Kau menungguku?" Tanya Dieora.
"Tentu, memangnya kau tahu dimana letak persis ruangan kepala akademi ini?"
Lucia jalan terlebih dahulu, Dieora menyusul dari belakang.
"Apa pakaian itu pas untukmu?" Tanya Lucia. Dia memperhatikan penampilan baru Dieora dengan pakaian akademi Luiotra ini.
"Ini lumayan pas untukku. Pak Dermentian yang memberikannya padaku malam tadi."
"Itu cocok denganmu." Kata Lucia tersenyum.
"Omong omong, apa benar kau adalah orang terpilih yang dikatakan ramalan dua ribu tahun lalu?"
Lucia membalikkan badannya. Dia bejalan mundur menatap Dieora dengan kedua lengannya yang dia letakan dibelakang.
"Aku tidak tahu pasti akan hal itu. Tapi malam tadi aku bermimpi hal aneh."
"Mimpi apa?" Lucia terlihat tertarik. Matanya melebar, ingin mendengar lebih lanjut tentang mimpi aneh yang Dieora alami.
"Aku bermimpi tentang sosok aneh yang mengakui dirinya sebagai malaikat jatuh."
Lucia semakin tertarik. "Lalu, apalagi setelahnya?"
"Dia mengatakan padaku untuk menjadi lebih kuat agar aku bisa membebaskan dirinya dari altar. Dan sebagai gantinya dia akan membebaskan dunia ini dari para iblis."
"Dan...."
Mata Lucia semakin melebar, dia sudah tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya."
"Bisakah kau mundur sedikit? Wajahmu terlalu dekat."
Lucia tidak sadar akan hal itu. Rasa ingin tahunya yang besar membutakan sekilas perilakunya.
Lucia berdehem, "maaf akan hal itu. Kau bisa melanjutkannya."
"Yah, dia bilang padaku setelah aku membebaskannya dunia langit yang saat ini sedang tersegel akan secara otomatis terbuka. Para malaikat akan turun ke dunia ini." Kata Dieora dengan begitu jelas.
"Para malaikat? Bukankah itu hal keren?! Kita bisa melihat ras malaikat. Ras malaikat!!"
Lagi-lagi wajahnya sangat dekat dengan Dieora. Tangan Dieora mendorong pelan wajah gadis itu.
"Keren apanya? Justru jika mereka datang bukankah dunia kita akan hancur karena tekanan besar yang mereka bawa?"
Lucia mengangguk, "kau ada benarnya juga. Tetap saja itu terdengar sangat keren."
"Kau aneh."
"Banyak yang mengatakan hal serupa."
Mereka akhirnya sampai. Di depan sana sudah ada Dermentian yang sedang mengobrol dengan seseorang. Itu kepala akademi.
"Dermentian kami datang." Lucia melambaikan tangannya.
"Dasar bocah nakal, jangan panggil aku dengan namaku. Meskipun begini aku tetaplah seorang guru disini."
Dermentian berjalan ke arah mereka. Begitu juga kepala akademi.
"Jadi, apa anak ini yang bernama Dieora?" Tanya kepala akademi.
Dermentian mengangguk, "benar sekali, dia adalah anak yang dikirim langsung oleh Harres kemari."
"Harres yang mengirim anak ini?" Tanya kepala Akademi, dia terkejut.
"Benar. Menurut surat yang saya baca, Harres mengatakan bahwa anak yang bernama Dieora ini adalah orang terpilih dari ramalan dua ribu tahun lalu." Kata Dermentian.
Kepala akademi mengusap janggut panjangnya. "Baiklah Dieora. Bisakah kau menunjukkan padaku kristal Zhypon itu?"
Dieora mengangguk. Dia meronggoh saku celananya dan mengeluarkan batu kristal itu.
Kepala akademi mengambil kristal itu, dia membenarkan posisi kacamatanya dan mulai melihat dengan seksama.
"Ini asli. Material kristal ini bukan berasal dari dunia kita."
Kepala akademi memegang pundak Dieora. Dia berkata, "Dieora, jika kau tidak keberatan. Bolehkah aku memeriksa mu sebentar?"
Dieora mengangguk. Dia membiarkan Kepala akademi memegang kedua pundaknya. Matanya mulai terpejam, kepala akademi masuk kedalam inti sihir Dieora.
"Seorang penyihir...." Kata kepala akademi tidak percaya.
Hal itu membuat Lucia dan Dermentia terkejut. Mereka sudah lama tidak mendengar kasus tentang seorang dengan bakat penyihir yang masuk kedalam akademi ini.
Terakhir kali hanya ada satu orang yang saat ini sudah mendapatkan gelar osis di akademi ini.
Meskipun Akademi Luiotra terdengar memiliki banyak ahli sihir berbakat, hanya segelintir orang saja yang menjadi penyihir murni.