Setelah kelas Matematika yang penuh kekacauan, Axkis dan teman-temannya segera menuju kantin. Seperti biasa, Axkis selalu jadi pusat perhatian dengan gayanya yang heboh dan dramatis.
"Bakso super pedas tiga porsi, Bang! Satu buat gue, satu buat Dina, satu lagi buat Tari. Tambahin sambalnya banyak, biar hidup kita makin seru!" seru Axkis dengan semangat, membuat si penjual bakso hanya bisa menggelengkan kepala.
"Kis, lo yakin? Itu sambal pedes banget, lho," Tanya Tari dengan ragu sambil melirik bakso yang porsinya kelihatan seperti jebakan maut.
"Tenang aja, perut gue kuat. Pedas ini ibarat cobaan hidup, harus dihadapi dengan keberanian!" jawab Axkis penuh percaya diri.
Namun, baru satu suapan pertama, wajah Axkis langsung berubah. Matanya melotot, bibirnya bergetar, dan air mata mulai mengalir tanpa permisi.
"UHUK UHUK! Kok ini kayak lava Gunung Merapi masuk ke tenggorokan gue?!" serunya sambil memukul-mukul meja, membuat orang-orang di kantin tertawa melihatnya panik.
"Ya ampun, Kis! Lo lebay banget sih. Gue yakin itu nggak separah yang lo bilang," Dina tertawa, tetapi matanya membelalak ketika Axkis tiba-tiba terdiam.
"Woy, lo kenapa? Jangan mati gara-gara bakso, ya!" teriak Tari panik.
Axkis tidak menjawab. Matanya mulai kabur, dunia terasa berputar, dan suara kantin terdengar semakin jauh. Dia jatuh ke lantai dengan dramatis, dan semuanya menjadi gelap.
---
Ketika Axkis membuka mata, hal pertama yang dia rasakan adalah dinginnya lantai yang kasar. Suara riuh di kantin menghilang, digantikan oleh suara tawa meremehkan.
"Aduh, kepala gue... Apa tadi gue mati gara-gara sambal?" Axkis bergumam sambil mencoba duduk.
Namun, ketika dia melihat sekeliling, semuanya berbeda. Ruangan itu kecil, hampir kosong, dengan dinding kusam dan pakaian-pakaian lusuh tergantung di satu sudut. Axkis menatap cermin kecil di meja, dan yang dia lihat bukanlah dirinya.
"Siapa ini?! Wajah gue kok jadi kayak habis kena uji coba kimia?! Apa ini efek samping bakso tadi?!" Axkis menjerit sambil memegang wajahnya.
Di tengah kebingungannya, pintu kamar terbuka, dan seorang wanita muda dengan tatapan penuh simpati masuk
"Arlena, kenapa kamu teriak-teriak lagi? Jangan bikin masalah, ya. Kamu tahu kan, kita nggak punya uang untuk beli makanan kalau kamu nggak kerja keras."
"Arlena? Siapa itu? Gue kan Axkis!" balas Axkis spontan.
Namun, wanita itu hanya menggelengkan kepala dan pergi, meninggalkan Axkis yang semakin bingung.
"Oke, tenang, Kis. Ini pasti mimpi. Gue cuma kebanyakan sambal, nanti juga bangun," katanya sambil mencubit pipinya sendiri.
Sayangnya, dia tidak bangun. Semua ini nyata.
---
Ketika malam tiba, Axkis kembali pingsan karena terlalu lelah mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, kali ini dia berada di sebuah ruangan gelap dengan sosok gadis lain yang berdiri di depannya.
"Siapa lo?" tanya Axkis curiga.
"Aku Arlena, pemilik tubuh yang sedang kamu pakai," jawab gadis itu dengan suara pelan namun tegas.
Axkis langsung melotot. "Jadi lo yang bikin gue masuk ke tubuh ini?! Eh, gila ya lo! Gue nggak pernah minta jadi lo. Gue cuma mau makan bakso super pedas, terus tiba-tiba... ZAP! Gue ada di sini!"
Arlena tersenyum tipis. "Aku tahu ini membingungkan. Tapi aku butuh bantuanmu. Hidupku terlalu berat, dan aku tidak bisa melanjutkannya. Jadi, aku memberimu tugas untuk memperbaiki semuanya."
Axkis tertawa sinis. "Lo pikir gue dewa yang bisa ngubah takdir lo? Gue aja susah ngurus hidup gue sendiri. Eh, sekarang malah disuruh jadi lo?! Mimpi banget!"
Namun, ekspresi Arlena berubah serius. "Kamu tidak punya pilihan, Axkis. Hanya kamu yang bisa melakukannya. Tolong... selamatkan hidupku."
Sebelum Axkis sempat membalas, dia terbangun kembali di tubuh Arlena, kali ini dengan tekad yang mulai tumbuh di dalam dirinya.
"Baiklah, Arlena. Kalau ini yang lo mau, gue akan bantu. Tapi, gue bakal melakukannya dengan cara gue!" katanya sambil mengepalkan tangan, siap menghadapi dunia baru yang menantinya.