Chapter 1: Celestium dalam Kekacauan
Nathan Cole berdiri di balkon apartemennya, memandang ke arah gemerlap kota Celestium yang bercahaya di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan kilau hologram dari iklan-iklan melayang, sementara kendaraan antigravitasi berdesing melewati jalanan tanpa suara. Meski teknologi telah membawa umat manusia ke puncak peradaban, langit malam terasa berat, seperti menyimpan rahasia gelap yang tak terucapkan.
Nathan menghela napas panjang, tangannya bersandar pada pagar baja. Bahkan dalam keheningan ini, ia tidak bisa menenangkan pikirannya. Bayangan pertempuran masa lalu masih menghantuinya, dan malam ini perasaan itu kembali. Sebuah firasat yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang akan datang.
"Kenapa melamun seperti itu?"
Nathan menoleh, mendapati Lena berdiri di belakangnya. Rambut cokelatnya tergerai, matanya memancarkan kelembutan yang selalu membuat Nathan merasa tenang. Dia mengenakan pakaian rumah sederhana, tetapi senyumnya membawa kehangatan yang hanya Lena mampu berikan.
"Hanya merasa... tidak nyaman," Nathan menjawab singkat, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
Lena mendekat, menyentuh tangannya dengan lembut. "Nathan, kau sudah terlalu sering di medan perang. Kota ini aman sekarang. Tidak ada yang bisa menembus pertahanan kita."
Nathan ingin mempercayainya. Tetapi, sebagai seorang prajurit, ia tahu perasaan ini tidak pernah salah. Namun, sebelum dia bisa menjawab, ledakan keras mengguncang malam. Langit yang jernih tiba-tiba berubah oranye, diwarnai api yang menjalar dari kejauhan.
"Lena, masuk ke dalam!" Nathan berteriak, memeluknya sejenak sebelum mengarahkannya ke pintu.
Alarm darurat bergema di seluruh kota, menyusul suara otomatis dari sistem keamanan. "Status siaga satu. Semua personel militer segera ke markas."
Lena memandangnya, ketakutan terpancar di matanya. "Nathan..."
Nathan menggenggam bahunya erat, memastikan dia mendengarkan. "Tetap di sini, kunci pintu, jangan keluar apa pun yang terjadi."
Lena mengangguk meski dengan enggan. "Berhati-hatilah."
---
Nathan melesat keluar dari apartemen, mengenakan baju tempur hitam yang terpadu dengan pola energi biru menyala. Helmnya aktif, dan suara sistemnya berbicara dengan nada monoton.
"Sistem aktif. Kalimat diaktifkan dan siap digunakan. Status senjata: optimal."
Langkah Nathan membawa dia ke pusat kota yang kini dipenuhi kehancuran. Gedung-gedung runtuh, jalanan berantakan, dan jeritan warga menjadi latar suara yang tak henti-henti. Namun yang paling mencolok adalah para monster yang menyerang tanpa ampun—makhluk raksasa dengan tubuh bersisik dan mata merah yang bersinar. Beberapa berjalan di atas kaki-kaki panjang menyerupai laba-laba, sementara yang lain melayang di udara dengan sayap seperti kelelawar logam.
Di tengah kekacauan itu, Nathan bertemu dengan Rory Anders, rekan militernya. "Nathan! Ini lebih buruk dari yang kita duga!" serunya sambil menembak salah satu monster dengan plasma.
Nathan mengaktifkan senjatanya, sebuah suara berbunyi dari helmnya. "Senjata plasma siap. Perhatikan sasarannya. Kita tidak ingin kehabisan energi terlalu dini."
Nathan menembakkan plasma pertama, meluncur dengan kilatan biru dan menghancurkan salah satu makhluk menjadi serpihan. Tapi monster-monster itu terus berdatangan, jumlah mereka seakan tak ada habisnya.
"Kita tidak akan bisa menahan ini lama!" Rory berteriak.
Nathan menggeram, matanya terpaku pada seorang pria berjubah putih di tengah medan perang. Itu adalah Dr. Elric Vaughn, ilmuwan utama yang bertanggung jawab atas teknologi tempur mereka. Pria itu terengah-engah, jas putihnya berlumur darah.
"Dr. Vaughn!" Nathan memanggilnya. "Apa yang terjadi? Dari mana datangnya makhluk-makhluk ini?"
Dr. Vaughn menggelengkan kepala dengan panik, matanya liar. "Kita membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci! Teknologi ini... tidak seharusnya kita gunakan..."
Nathan tidak sempat bertanya lebih lanjut ketika seekor monster raksasa menyerang mereka. Dengan refleks cepat, Nathan menghindar dan menembak, tetapi makhluk itu terlalu besar untuk dilumpuhkan.
Sistem di helmnya berbicara lagi. "Kerusakan musuh: 25%. Serangan tambahan diperlukan. Jika mungkin, cobalah untuk tidak mati."
Dengan bantuan Rory, Nathan berhasil menjatuhkan monster itu. Namun sebelum makhluk itu mati, sesuatu yang aneh terjadi. Monster itu tidak hanya mengaum kesakitan, tetapi juga menatap Nathan dengan intens.
Dengan cakar yang bergetar, monster itu menggores tanah, meninggalkan jejak kata-kata dalam bahasa manusia: "Bukan kamu musuhnya."
Nathan berdiri membeku, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, sebelum ia bisa memproses kejadian itu, suara dari helmnya berubah nada—dari mekanis menjadi dingin dan menakutkan.
"Program pengendalian fase pertama selesai. Selamat datang di eksperimen."
---
Nathan kembali ke apartemennya hanya untuk menemukan pintunya terbuka. Ruangan itu berantakan, dengan tanda-tanda perlawanan kecil.
"Lena?" Nathan memanggil, tetapi tidak ada jawaban.
Ia menemukan sebuah perangkat holografik kecil di lantai, berkedip-kedip dengan pesan yang menunggu untuk diputar. Nathan mengaktifkannya, dan wajah Lena muncul di layar.
"Nathan..." suara Lena terdengar lemah, hampir berbisik. "Aku harus pergi. Jangan cari aku. Apa yang terjadi malam ini lebih besar dari yang kau tahu. Maafkan aku."
Pesan itu terputus, digantikan oleh simbol aneh—lingkaran dengan garis-garis kompleks yang tampak seperti kode kuno.
Nathan menggenggam perangkat itu erat, matanya menyala dengan determinasi. "Apa sebenarnya yang terjadi di dunia ini?"
---
"Akhir Chapter 1"