Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Crimson Reign: Born from Ruin

reachell
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
0
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1: The Birth of Ruin

Aether berdiri di atas puing-puing kota yang hancur, matahari terbenam dengan cahaya darah di langit, seakan menyatu dengan warna dunia yang sudah lama mati. Di kejauhan, bau anyir darah masih menggantung di udara, berbaur dengan asap yang mengepul dari reruntuhan bangunan yang terbakar. Sesekali terdengar raungan hewan buas yang mengisi kehampaan yang seharusnya diisi oleh kehidupan.

Tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari luka-luka yang telah terbiasa menorehkan kenangan pahit di kulitnya. Namun, Aether tak peduli. Dia sudah terbiasa dengan rasa sakit. Lebih dari itu, rasa sakit sudah menjadi teman sejatinya. Tak ada lagi yang bisa dia rasakan, kecuali dorongan untuk terus maju, untuk terus membunuh, untuk terus mencari sesuatu yang entah apa. Balas dendam? Penebusan? Atau sekadar pelarian dari kegelapan yang semakin menyelimuti dunia ini?

"Aku tidak akan berhenti," gumamnya pelan, menatap ke depan, ke arah kota yang telah terjatuh ke tangan musuh.

Kota ini adalah rumahnya, dulu. Namun sekarang, setelah pasukan bayaran menyerbu dan menghancurkan semuanya, tidak ada lagi yang tersisa. Keluarganya telah lama terkubur dalam api yang melahap seluruh peradaban. Di balik kehancuran ini, ada satu wajah yang selalu muncul dalam pikirannya. Wajah yang terhapus dari dunia, wajah yang menyiratkan kebohongan dan pengkhianatan. Wajah yang telah membuatnya menjadi makhluk ini—seorang pembunuh tanpa hati.

Aether menggenggam pedang hitam legam yang telah menjadi bagian dari dirinya. Senjata ini bukanlah benda biasa. Itu adalah peninggalan dari masa lalu yang kelam, dan dengan setiap tebasan, senjata itu menyerap darah, menyerap jiwa, dan mengubah penggunanya menjadi sosok yang lebih jauh dari manusia.

Ia berjalan melewati puing-puing kota, langkahnya pasti. Setiap jejak kaki yang ia tinggalkan seolah meninggalkan jejak kekosongan. Dia tak peduli siapa yang berada di hadapannya. Musuh? Teman? Semua akan jatuh pada pedangnya. Tidak ada yang bisa menghentikannya, karena Aether sudah mati lama sebelum dunia ini menghadapinya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Langkah yang ringan, tak terdeteksi—tapi Aether tahu, dia bukan satu-satunya yang bertahan hidup di dunia yang hancur ini. Aether berbalik, pedang terhunus, siap untuk membunuh.

Namun, yang muncul bukan musuh. Seorang wanita muda berdiri di sana, matanya penuh ketakutan. Wajahnya kotor, pakaiannya compang-camping, dan tubuhnya gemetar. Di tangannya, dia memegang sepotong kayu yang digunakan sebagai senjata, namun itu jelas tak akan cukup.

"Jangan... Bunuh aku," suara wanita itu bergetar, berusaha menahan air mata. "Aku tidak tahu apa-apa…"

Aether menatapnya tanpa ekspresi. Wanita ini bukan bagian dari masalahnya. Tetapi Aether juga tahu, dia tidak bisa lagi mempercayai siapapun. Semua orang hanya akan mengecewakan, atau lebih buruk lagi, mengkhianatinya.

Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Mungkin karena wanita ini mengingatkannya pada dirinya sendiri—seorang anak yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini, yang hanya ingin bertahan hidup, namun dunia ini sudah lebih dulu membunuhnya.

"Pergi," katanya akhirnya, suara seraknya menggema di udara sepi. "Aku tidak punya waktu untukmu."

Wanita itu, meskipun tampak bingung dan ketakutan, berlari menjauh, melarikan diri ke dalam kegelapan yang menunggu.

Aether menatap ke langit, yang kini semakin gelap, seakan mendung menyelimuti dunia yang hampir mati ini. Di dalam dirinya, perasaan yang asing mulai tumbuh—sesuatu yang tidak bisa dia pahami. Namun satu hal yang pasti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.