Chereads / The Crimson Reign: Born from Ruin / Chapter 2 - Bab 2: Blood of the Fallen

Chapter 2 - Bab 2: Blood of the Fallen

Langit masih gelap, seolah matahari enggan bangkit untuk menyinari kehancuran yang terus merajalela. Aether berjalan tanpa arah, hanya pedang hitam di tangannya yang memberi arti pada langkahnya. Dunia ini tidak lagi mengenal belas kasih, dan ia, lebih dari siapapun, tahu itu dengan baik.

Namun, pikirannya terusik. Wajah wanita yang ia biarkan hidup tadi masih terlintas dalam bayangannya. Sesuatu tentang tatapan penuh ketakutan itu menusuk lebih dalam dari luka fisik mana pun yang pernah ia rasakan. "Kenapa aku biarkan dia hidup?" gumamnya pelan. Tapi, ia menepis pikirannya. Perasaan seperti itu hanya membawa kelemahan, dan kelemahan berarti kematian.

Langkahnya membawanya ke hutan yang gelap dan penuh bisikan angin yang seperti suara orang mati. Pohon-pohon di sekitarnya tampak bengkok, seolah menderita di bawah beban dunia yang sudah lama kehilangan cahaya. Aether tahu bahwa tempat ini bukan sekadar hutan biasa.

"Sudah lama aku tak melihat seorang manusia masuk ke sini dengan kaki sendiri."

Suara itu muncul entah dari mana, serak, berat, dan penuh ejekan. Aether berhenti, matanya menyisir kegelapan di sekitarnya. Dia merasakan kehadiran sesuatu, sesuatu yang bukan manusia.

Dari bayang-bayang pepohonan, makhluk itu muncul. Tingginya dua kali lipat manusia biasa, tubuhnya dilapisi oleh kulit seperti baja hitam, dengan mata merah menyala yang memancarkan kebencian. Mulutnya yang penuh taring melengkung dalam senyum menyeramkan.

"Kau mencari mati, manusia?" suara itu melengking di antara desah angin.

Aether hanya menghunus pedangnya, tanpa kata-kata. Makhluk itu tertawa, suara yang menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. "Pedang itu… aku mengenalinya. Ah, kutukan yang indah, bukan? Kau pikir itu kekuatanmu, tapi pada akhirnya, itu hanya akan membuatmu kehilangan segalanya."

Aether tidak terprovokasi. Dia hanya maju, dengan langkah yang tenang namun mematikan. Makhluk itu menerjang, cakarnya yang besar menghantam tanah dan menciptakan ledakan debu. Tapi Aether sudah menghilang dari tempatnya berdiri, bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak manusiawi.

Pedangnya berkelebat, memotong udara dengan suara melengking. Makhluk itu meraung kesakitan saat salah satu lengannya terpotong, darah hitam mengalir seperti cairan pekat. Namun, makhluk itu hanya tertawa lebih keras.

"Kau pikir itu cukup untuk membunuhku?" raungnya, sebelum menyerang dengan kekuatan yang jauh lebih besar.

Pertarungan itu berlangsung sengit. Setiap serangan makhluk itu seperti gempa kecil, menghancurkan tanah dan pohon di sekitarnya. Tapi Aether tetap tenang, menghindari setiap pukulan dengan gerakan yang presisi. Dia tahu bahwa dia tidak bisa bertarung terlalu lama. Pedang hitam itu memiliki harga, dan setiap kali dia menggunakannya, dia merasakan sedikit dari dirinya yang terkikis.

Akhirnya, dengan satu tebasan yang menentukan, pedang Aether menusuk tepat ke jantung makhluk itu. Raungannya menggema di seluruh hutan, sebelum akhirnya terdiam. Tubuh besar itu ambruk, tanah bergetar saat jatuh.

Aether menarik pedangnya, darah hitam mengalir dari bilahnya. Dia menatap makhluk yang sekarang tergeletak mati di hadapannya, tapi pikirannya terganggu oleh kata-kata terakhirnya. "Pedang itu hanya akan membuatmu kehilangan segalanya…"

Namun, sebelum dia bisa merenung lebih jauh, suara langkah kaki kembali terdengar di belakangnya. Kali ini, langkahnya tidak gemetar seperti wanita tadi.

"Aku tahu kau ada di sini," suara itu tenang, namun penuh ancaman.

Aether berbalik, matanya menyipit. Dari balik bayangan, seorang pria muncul. Tubuhnya kurus, namun penuh bekas luka yang menunjukkan pengalaman bertempur. Di pinggangnya tergantung sepasang pedang kecil, dan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan.

"Kau yang mereka sebut sebagai pembawa kehancuran, bukan?" kata pria itu, dengan senyum tipis yang penuh penghinaan.

Aether tidak menjawab. Dia hanya menggenggam pedangnya lebih erat, bersiap menghadapi musuh baru yang mungkin lebih mematikan daripada makhluk yang baru saja dia kalahkan.

Namun pria itu tidak menyerang. Sebaliknya, dia berkata, "Kalau kau ingin tahu siapa yang benar-benar menghancurkan rumahmu… ikutlah denganku. Aku punya jawaban yang kau cari."

Aether terdiam, pedangnya tetap terhunus. Namun dalam hatinya, kata-kata itu membangkitkan rasa ingin tahu yang bercampur dengan kemarahan.

Dan di sinilah perjalanannya benar-benar dimulai.