Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Aneh

G1_Blue
--
chs / week
--
NOT RATINGS
627
Views
Synopsis
**Sinopsis** Setelah menutup bab kehidupannya sebagai lulusan sarjana dengan keinginan sederhana untuk pulang ke rumah kakeknya, sang tokoh utama justru mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya. Namun, alih-alih akhir dari segalanya, kecelakaan itu menjadi permulaan perjalanan baru yang penuh misteri. Ia terbangun di tengah malam yang sunyi, di hutan lebat yang asing—namun kali ini dalam tubuh seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Baju bangsawan yang dikenakannya tampak mewah, dan di sampingnya seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan menangis, memeluknya erat dengan panggilan penuh kasih sayang, “Tuan Muda Ronan…” Kebingungan menyelimuti dirinya saat ia menyadari bahwa dirinya kini memiliki identitas yang berbeda di dunia yang terasa seperti pedesaan Eropa abad ke-16. Namun di balik tubuh kecil ini, masih hidup jiwa dan pikiran seorang pemuda dewasa yang pernah menjalani kerasnya hidup dan kesepian. Terpaku oleh kenyataan baru ini, ia terpaksa menyelami kenangan dan kehidupan sosok Ronan kecil. Dari sini, ia harus memahami siapa dirinya di dunia ini, mengurai ingatan menyakitkan Ronan, dan mencari arti di balik kesempatan kedua yang misterius ini. Dapatkah ia menemukan kehidupan baru yang membawa kedamaian, ataukah kenyataan di balik dunia asing ini akan menyeretnya ke dalam konflik dan rahasia yang jauh lebih dalam? Di sinilah perjalanannya dimulai—di antara teka-teki kehidupan barunya dan bayangan masa lalunya yang perlahan terkuak.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Langit begitu cerah, biru jernih tanpa awan, hanya sapuan lembut sinar matahari pagi yang membuat segalanya tampak seperti lukisan hidup. Dean mengendarai motornya di jalan yang sepi, menghirup udara segar yang mengalir bebas tanpa hiruk pikuk kota yang begitu menyesakkan. Jalanan yang sunyi itu seolah mengisyaratkan kebebasan, mengundang dirinya untuk melaju dan terbenam dalam pikirannya.

Baru saja melewati tahap hidup yang dianggap banyak orang sebagai pintu menuju masa depan – wisuda. Namun, baginya kelulusan dan gelar sarjana itu terasa hampa. Di tengah gelombang pujian dan harapan dari orang-orang sekitarnya, dia justru merasa gamang. Tak ada motivasi untuk berkompetisi di kota, tak ada keinginan untuk mengejar gelar atau jabatan. Sebaliknya, hati kecilnya merindukan kesederhanaan, sebuah rumah di tepi desa, di mana ia bisa membangun sesuatu yang nyata dan sederhana. Keinginan itu membawanya pada satu keputusan, pulang.

Pulang ke rumah kakeknya, satu-satunya keluarga yang masih ada. Membangun bisnis kecil, sesuatu yang bisa menjadi penopang hidup tanpa harus meninggalkan desa. Dalam keheningan jalan yang membentang di hadapannya, ia membayangkan hari-hari yang dihabiskan bersama orang tuanya, sosok yang selalu ada di sisinya, memberi ketenangan dalam hidupnya yang kerap terasa sepi.

Gas motor ia putar perlahan, menikmati setiap detik yang terasa menggantung, tiap kilometer yang mendekatkannya pada tujuan. Ia melaju, membiarkan angin yang berhembus membawa pergi segala keraguan, berharap bahwa di ujung perjalanan ini, ia akan menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.

Motornya terus melaju, semakin cepat, seolah-olah setiap putaran roda menyatukan dirinya dengan jalan kosong yang membentang di depan. Ia begitu tenggelam dalam pikirannya, tak sadar kalau kecepatannya kini mencapai 120 km/jam. Perasaan ingin segera tiba di tujuan mendorongnya untuk bergegas, seakan angin yang menyambutnya adalah panggilan dari rumah yang jauh.

Namun, dalam sekejap, kesunyian itu pecah. Di tengah jalan, seekor anjing kecil berlari melintas dengan cepat, diikuti seorang anak kecil yang mengejarnya. Kaget, Dean secara refleks menarik rem dan memutar stang dengan panik, berusaha menghindari anak itu. Dalam kecepatan tinggi, motornya hilang kendali. Tubuhnya terpental jauh ke depan. Refleks tangannya yang kokoh mencoba melindungi kepalanya, namun gaya benturan keras itu terlalu kuat. Lengan kirinya terasa patah, dan kepalanya tetap menghantam keras ke aspal.

Pandangannya kabur saat tubuhnya terguling-guling di atas aspal. Rasa dingin menyelinap di dahinya, tubuhnya lemas, sementara sakit yang menusuk terasa di setiap bagian tubuhnya. Adrenalin menyebar, membuat jantungnya berdegup kencang. Tapi seiring waktu, segala yang ia rasakan mulai memudar. Napasnya terasa pendek dan suara di sekitarnya berubah menjadi dengungan samar.

Dalam sisa-sisa kesadarannya, ia melihat bayangan samar orang-orang mendekat, tapi ia tak bisa mendengar apa-apa lagi. Pandangannya kabur, namun ada satu hal yang tetap bertahan—keinginannya untuk hidup. Sebuah senyum pahit tersungging di wajahnya saat pikirannya melayang pada satu kenyataan yang pahit.

"Ah, lucu sekali. Apakah ini akhirnya?" pikirnya. Dengan napas yang tersisa, ia membisikkan harap terakhirnya.

"Kakek… maafkan aku. Sepertinya aku akan menemui Ayah dan Ibu. Tolong, maafkan aku."

Air mata mengalir dari sudut matanya, menitik sebelum akhirnya napas terakhir menghilang dari bibirnya. Cahaya di matanya perlahan pudar, dan di tengah kerumunan itu, jantungnya berhenti berdetak. Di jalanan yang dulu tenang itu, dia menghembuskan napas terakhirnya.