Dalam gelapnya malam, di tengah hutan yang lebat dan sunyi, sang tokoh utama tiba-tiba membuka matanya. Tubuhnya terbangun dengan refleks, napasnya memburu, seperti baru saja terlepas dari mimpi buruk yang mencekam. Ia melihat ke sekeliling, mendapati bayangan pepohonan yang menjulang di bawah cahaya samar bulan, udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.
Saat ia melirik tubuhnya sendiri, ia tersentak. Yang ia lihat bukan lagi tubuh dewasanya—melainkan tubuh mungil seorang anak kecil, mungkin tak lebih dari enam tahun. Pakaiannya begitu berbeda, jubah kecil yang tampak mahal dengan bordiran halus, kain yang hanya pernah ia lihat di pakaian para bangsawan dalam buku sejarah. Kebingungan menyergap, dan tanpa sadar ia berteriak, "Waaa!"
Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, seorang wanita paruh baya berlari dan langsung mendekapnya erat. Pakaian yang ia kenakan seperti seragam pelayan, dan air mata membasahi wajahnya yang penuh rasa kehilangan.
"Tuan muda…" suara wanita itu bergetar, dan meskipun kata-katanya terhenti, ada kehangatan dalam pelukan itu yang tak mampu ia jelaskan.
Hatinya yang kecil tiba-tiba terasa sakit. Perasaan asing, namun familiar, menghampirinya—sebuah rasa sakit yang ia kenal baik, rasa kesepian dan kesedihan yang menusuk. Tidak ada ingatan tentang wanita ini, namun entah bagaimana, tubuh kecilnya seperti memiliki ikatan yang mendalam dengan sosok tersebut.
Diliputi emosi yang aneh, ia memeluk balik wanita itu. Pelukan kecilnya perlahan menghapus rasa sakit di dada, membuat perasaan sepi itu memudar, menyisakan kehangatan yang menenangkan di tengah malam yang dingin dan sunyi itu.
Malam yang lelah dan penuh kehangatan perlahan menutup mata mereka berdua. Dean, dengan tubuh kecilnya yang letih dan rasa sakit yang samar, akhirnya tertidur dalam dekapan hangat wanita paruh baya itu.
***
Pagi menjelang, sinar matahari menembus sela-sela dedaunan yang tinggi, menyinari wajah kecilnya yang masih tertidur. Dean perlahan membuka mata, lalu mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. Matanya menatap tubuh kecilnya dengan lebih tenang kali ini, dan meskipun rasa kaget masih menyelimuti, ia berusaha menenangkan diri. Mentalitas orang dewasa dan ketenangan yang ia bangun selama bertahun-tahun membawanya untuk tetap bijaksana, bahkan dalam situasi yang tak terpahami seperti ini.
Ia memandang sekeliling, melihat pepohonan hutan yang tinggi dan rindang, serta wanita paruh baya yang tidur di sampingnya. Wanita itu perlahan terbangun juga, dan begitu melihatnya terjaga, ia segera duduk tegak dan membungkuk sedikit hormat, meskipun di wajahnya masih tergurat kekhawatiran. Dengan lembut, wanita itu menyentuh bahu kecilnya dan memeriksa tubuhnya.
"Mohon maaf, Tuan Muda Ronan. Apakah Anda terluka? Apakah Anda baik-baik saja? Saya takut Anda mengalami mimpi buruk," katanya dengan suara penuh kekhawatiran, matanya menatap lekat seolah masih memikirkan kejadian semalam.
"Ronan?" pikirku, hatiku mencengkeram rasa penasaran. Namun begitu aku mencoba mengingat atau memahami lebih dalam tentang nama itu, rasa sakit yang tajam dan menusuk tiba-tiba menyerang kepalaku. Rasa sakit yang begitu kuat membuat gigiku bergemeretak dan mataku melebar, sementara tubuh kecilku meringkuk menahan rasa sakit yang menyiksa. Tanganku meremas kepala, berusaha menahan gejolak nyeri yang seakan membanjiri pikiranku.
Fragmen-fragmen kenangan yang bukan milikku mulai muncul, gambar demi gambar dari kehidupan anak laki-laki bernama Ronan ini memenuhi pikiranku, memaksaku melihat setiap detil kehidupan yang pernah ia jalani. Sementara itu, wanita paruh baya di sampingku tampak bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan, hingga akhirnya ia memelukku lagi sambil menangis. Namun, pelukannya hanya terasa jauh, tertutup oleh pusaran kenangan yang tak terbendung di dalam otakku—kenangan dari Ronan kecil ini.
Kenangan itu datang begitu deras, seperti air bah yang tak terhenti. Gambaran hidup Ronan, anak kecil yang kini mengisi tubuhku, merasuk ke dalam pikiranku, menguasai seluruh kesadaranku. Setiap detil dari kehidupan yang pernah dijalani Ronan terputar jelas dalam kepalaku—kenangan-kenangan yang seakan terpatri dalam tubuh kecil ini.
Ronan lahir sebagai putra seorang viscount di daerah perbatasan, hidup dalam keluarga yang keras dan penuh tekanan. Ayahnya, seorang ksatria terhormat, tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya. Ibu Ronan meninggal saat melahirkannya, dan kematian ibunya membuat ayahnya terpuruk. Hidupnya semakin kacau, tenggelam dalam alkohol dan kesendirian. Setiap hari, Ronan hanya merasakan dinginnya dunia yang tercipta karena kehilangan ibunya dan ayah yang mengabaikannya. Bahkan kakaknya, yang seharusnya menjadi pelindung, malah melampiaskan amarahnya pada dirinya. Tidak pernah ada tempat yang aman bagi Ronan kecil. Kakaknya bahkan enggan mengakui Ronan sebagai adiknya, menyebutnya sebagai penyebab semua malapetaka dalam keluarga mereka.
Di tengah-tengah kerenggangan itu, satu-satunya sosok yang ada untuk Ronan adalah Julie, seorang pelayan wanita paruh baya yang selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Meski Ronan sering diperlakukan seperti binatang oleh kakaknya, Julie tetap setia di sisinya, menjaga dan memberi kasih yang tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.
Namun kehidupan Ronan tak selalu penuh penderitaan. Segalanya berubah drastis saat kerajaan tetangga menyerang wilayah mereka. Ayahnya ikut berperang, dan gugur dalam pertempuran. Kakaknya, yang kini memikul beban sebagai kepala rumah tangga sementara, semakin keras hati terhadap Ronan. Ia mencaci dan menyalahkan Ronan atas segala malapetaka yang menimpa keluarga mereka, bahkan mengatakan bahwa Ronan adalah pembawa sial. "Sejak kau lahir, hidup kami tak pernah bahagia," kata kakaknya, dengan nada penuh kebencian.
Meski begitu, saat penyergapan besar terjadi dan kehancuran di ambang mata, kakaknya tetap berusaha melindungi Ronan. Namun kata-kata terakhir kakaknya, penuh kebencian, menghantam hatinya dengan keras. "Pergi kau, bangsat! Dasar pembawa petaka! Enyahlah selamanya dari hadapanku!" kata kakaknya sebelum terjatuh dalam pertempuran yang membawa kehancuran keluarga mereka. Kakaknya mengorbankan hidupnya untuk melindungi nama keluarga mereka, namun ia meninggal dengan kemarahan dan kebencian terhadap Ronan yang tidak pernah hilang.
Dengan penuh kesedihan, Ronan kecil melarikan diri bersama Julie. Tanpa ada lagi rumah, tanpa ada keluarga yang peduli, Ronan hanya bisa membawa diri dan mencari tempat untuk berlindung dari dunia yang telah menolaknya.
Sementara itu, kakaknya mati di medan perang, begitupun ayahnya, dan ibu yang seharusnya melindunginya sudah lama meninggal. Semua ini terputar dalam pikiranku dengan begitu jelas, seakan-akan aku merasakannya sendiri. Rasanya begitu sakit—kepalaku seakan meledak, sesak dan panas. Bukan hanya sakit fisik yang kurasakan, tapi hati kecilku merasakan rasa sakit yang begitu mendalam, seolah jiwaku mulai berasimilasi dengan jiwa Ronan.
Perasaan ini begitu kuat, begitu tak terbendung, hingga akhirnya aku kehilangan kesadaranku. Tubuh kecilku tak mampu menahan semua emosi yang datang, dan aku jatuh pingsan dalam pelukan Julie, yang tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya atau anak yang ia pelihara.