Chereads / Angin Musim Semi / Chapter 2 - DUA

Chapter 2 - DUA

Suasana bandara Soekarno-Hatta pagi itu ramai, suara roda koper menggema di antara lautan manusia. Kenichi baru saja tiba setelah penerbangan panjang dari Kyoto. Di luar jendela bandara, ia melihat wajah-wajah penuh kerinduan, keluarga-keluarga yang menunggu dengan harap-harap cemas. Lalu, di tengah kerumunan itu, ia melihat sosok yang tak asing baginya. Mama.

Kenichi menghentikan langkahnya sejenak, nafasnya terasa berat bukan karena perjalanan jauh, tetapi karena ingatan-ingatan masa lalu yang tiba-tiba menyeruak, mengaburkan pandangannya. Sepuluh tahun yang lalu, dia dan ibunya juga berdiri di bandara yang sama, tapi saat itu suasananya jauh berbeda.

Flashback

Ken masih kecil kala itu, mungkin baru berusia 8 tahun, ketika tangisan ibunya terdengar di sepanjang perjalanan menuju bandara. Sang ibu, Sayaka, baru saja menyatakan ingin membawa Ken ke Jepang. Ibrahim, memohon kepada Sayaka untuk tetap tinggal. Namun, pertengkaran yang sudah memuncak selama bertahun-tahun memaksa Sayaka untuk mengambil keputusan tegas.

"Dia tidak akan menjadi seperti yang kamu inginkan, Ken adalah anak kita, bukan pewaris perusahaanmu," ucap Sayaka tegas kala itu.

Ibrahim, meski marah, tak bisa berkata banyak. Bisnisnya tengah berkembang pesat, ambisinya untuk mengembangkan Elang Group telah menguras energi dan perhatiannya, hingga membuat hubungannya dengan Sayaka semakin renggang. Di tengah kebisingan itu, Ken kecil hanya bisa terdiam, tak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tapi bisa merasakan ketegangan di udara.

Ken hanya diam tidak ingin bertanya, tidak juga ingin tahu, dia tidak cukup mengerti kenapa orang dewasa bertengkar, apalagi di dalam pertengkaran itu namanya terucap.

Kembali ke Masa Kini

Kenichi tersadar, lebih tepatnya dia menyudahi lamunannya. Dia tidak ingin mengingat momen itu, terlebih dia sudah berhasil mengatasinya selama di Jepang, tapi sayangnya dia malah membawa luka baru di tempat dia pertama kali terluka.

Hal pertama yang Kenichi lihat adalah senyum hangat Sayaka, meskipun semburat kerutan di wajahnya tak bisa menyembunyikan perjalanan waktu. Berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu, sekarang wajahnya memancarkan kedamaian. Butik yang dulu hanya mimpi kini telah tumbuh menjadi salah satu brand fashion terkenal, dan dia telah menjadi seorang desainer yang dihormati.

"Ken, kamu sudah besar sekali sekarang," kata Sayaka sambil memeluknya erat.

"Tentu saja, Paman dan Bibi mengurusku dengan baik. Dan aku juga bisa mengurus diriku sendiri di Jepang," ucapnya sambil membalas pelukan Sayaka.

Sayaka menghela napas ringan, "Apa kamu tidak merindukan Mama? Kamu jarang sekali menelepon, chat saja jarang."

"Hehe, maafkan aku, Ma."

Sayaka tertawa, meski ada sedikit kegetiran yang tak dapat disembunyikannya. Dia melihat ke arah wajah Kenichi yang sekarang sudah begitu dewasa, tampan, dan terlihat kuat. Namun, sebagai seorang ibu, dia tahu ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam diri anaknya. Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju pintu keluar bandara, di mana udara panas Jakarta langsung menyergap mereka saat pintu otomatis terbuka.

Setelah menunggu sejenak di luar bandara, sambil mobil yang dijanjikan belum datang, Sayaka menawari Kenichi untuk makan terlebih dahulu. Namun, Kenichi menolak, "Aku ingin cepat sampai rumah saja, Ma. Udara Jakarta rasanya lebih pengap dari yang kuingat."

Sayaka tertawa kecil, "Sepuluh tahun itu waktu yang lama. Lihat saja gedung-gedung ini, banyak yang baru, dan kemacetan mungkin bahkan lebih parah dari sebelumnya."

Kenichi mengangguk pelan sambil memandangi gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi di kejauhan. Perasaan campur aduk menguasai dirinya Jakarta begitu asing, tapi sekaligus begitu familiar. Dulu, dia merasa kota ini seperti rumah. Tapi sekarang? Dia merasa terasing.

"Mama, apa Mama baik-baik saja?" tanya Kenichi, nadanya sedikit canggung, meskipun dia berusaha terdengar wajar.

"Tentu saja. Mama sedang bahagia karena kamu pulang ke Indonesia," jawab Sayaka, senyum yang tulus kembali menghiasi wajahnya.

Kenichi mengangguk paham. "Lalu bagaimana dengan Papa? Apa Papa baik-baik saja?"

"Papamu tidak bisa menjemput karena sedang ada urusan bisnis. Dia minta maaf. Hubungan kami baik-baik saja, Ken. Sudah sepuluh tahun berlalu, kami belajar banyak satu sama lain, dan sekarang kami jauh lebih baik. Alhamdulillah."

Kenichi tersenyum tipis, tetapi di balik senyumnya, ada kegelisahan yang terus mengintai. Dalam hati kecilnya, dia masih kesal karena Papanya membuat Mamanya menangis, namun dia juga merasa tak berhak untuk menghakimi. Dia masih terlalu kecil waktu itu untuk mengerti, dan bahkan hingga sekarang, beberapa hal masih terasa samar. Dia menghela napas panjang dalam diam.

"Ah, aku lupa, bagaimana kabar Kakak?" tanya Kenichi, mencoba mengalihkan pikiran dari beban yang dia rasakan.

"Kakakmu mewujudkan impiannya menjadi penulis. Salah satu karyanya bahkan menjadi best seller, dan saat ini sedang dalam proses pembuatan film."

"Wow, aku tidak tahu dia seterkenal itu. Tapi dia memang sangat berbakat. Aku ingat dia sering menuliskan cerita tentang keseharian kita waktu kecil dulu."

"Ya, dia punya imajinasi yang luar biasa. Mama bangga padanya, seperti Mama bangga padamu." Sayaka menatap anaknya dengan penuh kasih.

Obrolan berlanjut seiring mobil yang dijanjikan, dengan Pak Soni di belakang kemudi, datang menjemput mereka. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Kenichi terus melihat keluar jendela, mengamati Jakarta yang begitu berbeda. Semuanya terasa begitu asing.

"Jakarta jauh lebih sibuk dari yang kuingat," gumamnya, lebih pada diri sendiri daripada pada ibunya.

"Ya, Sayang. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Kau bahkan tidak pernah ingin pulang, kan?" tanya Sayaka, tatapannya tajam tapi lembut, penuh pengertian.

"Hehe, di Jepang sangat nyaman, Ma. Maafkan aku," jawab Kenichi, dengan senyum sedikit canggung.

"Padahal kau selalu membenci musim dingin, tapi selama libur musim dingin kau juga tidak pulang. Justru Mama yang harus mendatangimu ke Jepang."

Kenichi hanya tersenyum. Dalam diam, dia tahu bahwa alasannya tidak ingin pulang bukan hanya karena kenyamanan di Jepang. Dia menghindari Indonesia, lebih tepatnya, dia menghindari sang Papa. Hubungan mereka tidak pernah membaik sepenuhnya, dan itu lebih seperti perang dingin yang berlangsung bertahun-tahun. Dia hanya akan bertemu Papanya jika sang Papa datang bersama Sayaka ke Jepang. Kenichi pun menghela napas panjang. Bagaimana dia bisa memperbaiki hubungan ini?

Mobil terus melaju, mencoba menerobos kemacetan Jakarta yang tak berujung, dan Kenichi kembali diam dalam lamunannya, memikirkan bagaimana perjalanan ini akan membawanya pada berbagai tantangan baru atau mungkin luka lama yang tak sepenuhnya sembuh.

Mobil perlahan memasuki kawasan perumahan mewah yang dikelilingi oleh pagar tinggi. Kenichi memandang takjub dari balik kaca, melihat rumah-rumah besar dengan halaman luas. Ketika mobil berhenti di depan sebuah rumah yang jauh lebih besar dari yang dia ingat, dia bahkan sedikit menahan nafas. Sebuah pos keamanan berdiri kokoh di gerbang masuk, lengkap dengan penjaga berseragam yang memberikan hormat saat mereka tiba.

"Ini... rumah kita, Ma?" tanya Kenichi tak percaya, meski dia tahu jawabannya.

Sayaka tersenyum tipis. "Iya, setelah bisnis Papamu berkembang, kami pindah ke sini. Lebih aman dan nyaman."

Setelah keluar dari mobil, Kenichi berdiri di depan rumah itu untuk beberapa saat. Di depan matanya, bangunan megah berdiri dengan gaya arsitektur modern, kaca-kaca besar dan halaman yang tertata rapi. Ukuran Kenichi prakirakan 4 kali lebih luar dari rumah Pamannya. Dia merasa sedikit asing, ini bukan rumah yang dia kenal saat kecil, tapi ada kehangatan yang sama yang ia rasakan dari kehadiran ibunya.

"Kemari, biar Mama tunjukkan semuanya," ajak Sayaka, sambil menggandeng Kenichi masuk ke dalam rumah.

Begitu melewati pintu masuk, mereka disambut oleh ruang tamu yang luas, dengan sofa mewah dan hiasan dinding minimalis. Kenichi bisa melihat jendela besar yang menghadap ke taman belakang dengan kolam renang di kejauhan.

"Wow, tempat ini... besar sekali," gumam Kenichi, masih merasa kagum.

"Mama dan Papa ingin kamu nyaman di sini. Oh, dan ini kamarmu." Sayaka membuka pintu ke salah satu kamar di lantai dua, menunjukkan ruang yang lebih besar dari kamar Kenichi di Jepang. Tempat tidur empuk, luas, dengan sprei biru dongker warna favoritnya, seperangkat PC gaming lengkap dengan 3 monitor terpasang elegan yang makin menambah kesan mewah.

Kenichi berdiri di ambang pintu, matanya mengamati setiap sudut. "Ini... terlalu banyak, Ma. Aku cuma butuh tempat tidur dan meja kecil, seperti di Jepang."

Sayaka tertawa kecil. "Mama tahu, tapi di sini kamu bisa lebih leluasa. Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal bilang."

Mereka kemudian melanjutkan tur singkat keliling rumah, ke dapur, ruang makan yang besar, dan ruang keluarga dengan TV layar lebar. Setiap sudut rumah terasa berkelas, jauh dari rumah sederhana mereka dulu. Kenichi merasakan sedikit canggung, seolah sedang berada di rumah orang lain, meskipun ini adalah rumah keluarganya.

Setelah tur selesai, Sayaka menepuk punggung Kenichi. "Kamu mungkin ingin mandi dulu setelah perjalanan panjang. Mama akan siapkan makan siang di bawah."

Kenichi mengangguk. "Baik, Ma. Terima kasih."

Setelah membersihkan diri di kamar mandi yang lebih mirip spa, Kenichi turun ke ruang makan. Meja makan sudah diatur rapi, dengan makanan-makanan favoritnya yang mengingatkannya pada Jepang, seperti chicken katsu, tempura, dan beberapa makanan ringan khas yang selalu disiapkan Sayaka dulu. Mereka makan dalam suasana yang hangat, meski ada jeda-jeda hening di antara obrolan.

"Kamu tahu, Mama sangat bangga padamu," ucap Sayaka sambil tersenyum. "Kamu sudah tumbuh menjadi pria yang mandiri."

Kenichi hanya tersenyum. "Aku hanya berusaha menjalani hidup, Ma."

Setelah makan, Sayaka memandang arlojinya dan mendesah pelan. "Maafkan Mama, Sayang. Mama harus kembali ke kantor untuk beberapa pertemuan sore ini. Kamu bisa beristirahat di rumah dulu. Nanti malam kita bisa makan malam bersama."

"Tidak apa-apa, Ma. Aku juga butuh istirahat. Lagi pula, aku butuh waktu untuk beradaptasi dengan suasana di sini," jawab Kenichi sambil tersenyum.

Sayaka berdiri dan mencium kening Kenichi. "Baiklah. Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal hubungi Mama, ya."

Kenichi mengangguk, lalu melihat ibunya pergi. Setelah pintu depan tertutup, suasana rumah tiba-tiba terasa sepi. Dia kembali ke kamarnya, mencoba memeriksa pesan-pesan di ponselnya, tapi tidak ada yang penting. Matanya mengarah keluar jendela, memandangi langit Jakarta yang mulai memudar menjelang sore.

Di dalam Kamar.

Lampu kamar yang redup memantulkan bayangan lembut di dinding, sementara suara angin yang pelan terdengar dari balik jendela kaca besar yang menghadap ke langit Jakarta yang mulai diselimuti kegelapan. Kamar ini begitu sempurna, begitu tenang, namun Kenichi merasa dirinya masih jauh dari itu. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa digantikan oleh kasur empuk atau pemandangan kota yang gemerlap.

Baru saja ia memejamkan mata ketika suara pintu dibuka keras mengejutkannya. Sebelum ia sempat sepenuhnya bangun, tubuh seseorang sudah melompat ke ranjangnya, memeluknya erat.

"Bangun, adikku yang tampan! Akhirnya kau pulang juga!"

Kenichi tertawa kecil, masih mencoba mengatur nafas setelah kejutan itu. Suara ceria, tawa riang itu, dia mengenalinya dengan sangat baik.

"Kak Kirana?" ucapnya setengah tertawa, mencoba menarik tubuhnya dari pelukan. "Kamu belum berubah, selalu menyerang tanpa peringatan."

Kirana tertawa keras, duduk di pinggir ranjang, rambut panjangnya berayun saat ia mengamati Kenichi dengan mata bersinar cerah. "Tentu saja aku tidak berubah. Aku hanya memastikan kau ingat siapa kakakmu yang paling keren ini. Lagi pula, kau yang jarang pulang! Jadi aku harus menjemputmu dengan gaya."

Kenichi tersenyum. Kehangatan dan keceriaan Kirana selalu bisa mengubah suasana hati. Rasa kantuk yang sempat menguasai dirinya menghilang begitu saja. Meski sikap kakaknya kadang terlalu berlebihan, ia selalu membuat Kenichi merasa nyaman, seperti tak ada yang benar-benar berubah meski bertahun-tahun telah berlalu.

Kirana merangkul Kenichi lagi, kali ini dengan lebih lembut. "Aku sangat merindukanmu, Ken. Kau tahu itu, kan?"

Kenichi membalas pelukannya. "Aku juga, Kak. Maaf aku jarang pulang."

Setelah beberapa saat, Kirana menarik diri, memperhatikan wajah adiknya dengan tatapan penuh rasa sayang. "Jadi, bagaimana Jepang? Kau menikmati hidup di sana?"

Kenichi menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Lumayan. Nyaman, tenang... tapi kadang aku merindukan ini, suasana rumah dan keluarga."

Mata Kirana sedikit menyipit, seakan meneliti lebih dalam. "Jepang membuatmu banyak berubah, ya. Kamu lebih dewasa, tapi juga lebih... tertutup. Apa ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku?"

Kenichi tertawa kecil, berusaha mengalihkan perhatian dari pertanyaan itu. "Tidak ada yang terlalu istimewa, Kak. Hidup berjalan seperti biasa. Aku belajar, bekerja, beradaptasi. Sama seperti yang lainnya."

Namun, meski tawa Kenichi terdengar santai, Kirana merasakan sesuatu yang berbeda. Ada jarak, sesuatu yang tak kasat mata tapi jelas terasa. Adiknya ini memang selalu pendiam, tapi kali ini ada lebih banyak yang ia sembunyikan. Kirana ingin bertanya lebih jauh, tapi ia menahan diri, tak ingin mendesak.

"Kalau begitu, semoga kamu bisa menikmati waktumu di sini. Rumah kita sudah berbeda, ya? Sepertinya kamu butuh waktu untuk terbiasa."

Kenichi hanya mengangguk, sedikit tersenyum. Di balik keceriaan Kirana, dia tahu ada hal lain yang disembunyikan. Kirana mungkin selalu terlihat ceria di luar, tapi siapa tahu apa yang dia simpan di dalam.

Setelah mereka saling bertukar cerita dan bercanda tentang kehidupan masing-masing, Kirana akhirnya berdiri. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lebih lama. Istirahatlah dulu sebelum makan malam. Mama dan Papa pasti ingin melihatmu nanti," ucapnya sambil mengedipkan mata. "Dan ingat, aku selalu ada untukmu."

Kenichi hanya mengangguk lagi, tapi begitu Kirana menutup pintu dan meninggalkannya sendirian, perasaan campur aduk kembali muncul. Dia tahu Kirana menyembunyikan sesuatu, dan mungkin suatu hari nanti dia harus menghadapi itu.

Malam hari tiba, akhirnya setelah sekian lama Kenichi akan makan bersama keluarga nya, bersama Mama, Papa, dan Kirana. Namun sebelum itu, saat Kenichi masih di kamarnya, sebuah ketukan lembut terdengar dari pintu.

"Ken, boleh Papa masuk?"

Suara yang begitu akrab, tapi juga membawa beban tersendiri. Kenichi menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu. Di sana, berdiri Ibrahim—ayahnya—dengan ekspresi yang lebih lembut dari biasanya.

"Tentu, Pa. Silakan masuk," jawab Kenichi, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Ibrahim duduk di salah satu kursi di dekat jendela, sementara Kenichi memilih berdiri agak jauh. Ada keheningan di antara mereka, keheningan yang terasa lebih berat daripada kata-kata.

"Ken," Ibrahim memulai dengan pelan, "Aku ingin minta maaf. Untuk semua yang terjadi di masa lalu. Mungkin aku terlalu keras pada dirimu dan juga ibumu. Aku hanya... ingin yang terbaik untuk kita semua."

Kenichi terdiam sejenak, kata-kata ayahnya menggema dalam pikirannya. "Maaf"—kata yang sudah lama ia tunggu, tapi sekarang terasa menggantung di udara, tidak sepenuhnya menyentuh hatinya.

"Aku mengerti, Pa. Dan aku sudah lama memaafkan. Tapi... mungkin butuh waktu bagi kita untuk memperbaiki semuanya."

Ibrahim mengangguk, rasa lega dan sesal berbaur di wajahnya. "Ya, aku paham. Aku hanya berharap kita bisa mulai dari sini, perlahan-lahan."

Kenichi tersenyum tipis, mengangguk, meski hatinya masih merasakan ada jarak. Dia tahu perjalanan untuk memperbaiki hubungan ini tidak akan mudah. Setelah beberapa menit berbicara singkat, Ibrahim berdiri dan meninggalkan kamar, memberi Kenichi ruang untuk bersiap-siap makan malam.

Sayaka menyiapkan hidangan terbaiknya, Kirana membawa suasana dengan ceritanya yang lucu, sementara Ibrahim tetap lebih banyak diam, mungkin masih memikirkan percakapan mereka tadi. Meskipun begitu, kehangatan keluarga terasa kental. Kenichi merasakan kerinduan yang selama ini dia pendam perlahan terobati.

Selama makan malam, berbagai emosi bercampur di dalam dirinya. Dari kehangatan ibunya, canda tawa Kirana, hingga rasa dingin yang masih tersisa antara dirinya dan ayahnya. Namun, di balik itu semua, Kenichi merasakan tekadnya semakin kuat. Dia tahu, meski perlahan, dia bisa menghadapi semua ini. Keluarga mereka bisa diperbaiki, satu langkah demi satu langkah.

Malam itu, setelah semua selesai, Kenichi memandangi langit Jakarta dari balik jendela kamarnya. Lampu-lampu kota yang berkilauan seolah mengingatkannya pada perjalanan panjang yang masih harus ditempuh. Begitu banyak yang telah berubah, tapi Kenichi tahu satu hal: kali ini, dia tidak akan lari lagi.