Semalam, Kenichi duduk di balkon kamarnya, merasakan kesendirian yang begitu lekat. Udara malam Jakarta terasa lembab, tetapi kehangatan itu tidak cukup untuk mengisi kekosongan dalam dirinya. Di tangannya, sebatang rokok yang sudah separuh terbakar, dihirupnya pelan-pelan. Asapnya mengepul, melayang ringan di udara sebelum menghilang di antara gemerlap lampu kota. Seperti dirinya, pikir Kenichi, yang juga terombang-ambing di antara hiruk-pikuk kehidupan Jakarta.
Dari kejauhan, pemandangan kota tak pernah tidur. Lampu-lampu gedung pencakar langit berkilauan, sementara mobil-mobil di jalanan sibuk memburu tujuan mereka masing-masing. Namun Kenichi merasa dirinya terputus dari semua itu. Ia hanyalah satu di antara jutaan orang, seorang yang terasing bahkan di kota yang dulu ia sebut rumah.
Tanpa dia sadari, dari celah pintu kamar, Kirana melihatnya. Dia terdiam, memperhatikan adiknya yang kini duduk termenung dengan rokok di tangan. Sesuatu dalam diri Kenichi telah berubah, dan Kirana bisa merasakannya. Adiknya yang dulu selalu ceria kini tampak berbeda—tatapannya kosong, wajahnya penuh dengan beban yang tak pernah ia ungkapkan. Kirana tidak berani menyela. Dengan hati-hati, dia menutup pintu kembali, membiarkan Kenichi tetap terkurung dalam dunianya sendiri.
.
Pagi itu, matahari mulai mengintip dari balik cakrawala. Kenichi terbangun dengan perasaan linglung. Seperti lirik lagu band legendaris Indonesia yang dulu pernah dia dengar, "Memandang ramainya Jakarta menyambut pagi," pikir Kenichi saat melihat ke luar jendela. Pemandangan dari kamar mewahnya memperlihatkan jalan utama kota yang mulai dipenuhi kendaraan, orang-orang yang bergegas menuju rutinitas mereka.
Tapi Kenichi merasa asing di tengah semua itu. Kepalanya masih sedikit berat, mungkin karena jetlag yang belum sepenuhnya hilang. Ketika ia memeriksa jam, baru pukul tujuh pagi, tapi di rumah ini seakan berjalan lebih awal.
Dengan rasa canggung, Kenichi akhirnya memutuskan untuk bergabung ke meja makan. Ketika ia tiba, Sayaka sudah menyiapkan sarapan seperti biasa, tetapi keheningan menggantung di udara. Kirana duduk di sebelah Ibrahim, yang kali ini tampak lebih banyak diam. Tidak ada percakapan yang berat, hanya obrolan ringan. Kirana mencoba tersenyum, meskipun Kenichi bisa merasakan sedikit kekhawatiran di balik senyumnya. Mungkin dia masih memikirkan apa yang dilihatnya semalam.
"Akhirnya bangun juga," kata Kirana dengan nada bercanda, meski nada khawatir tetap terlihat.
Kenichi tersenyum tipis. "Jetlag masih terasa."
Sayaka menghampiri meja, membawa secangkir kopi yang ia letakkan di depan Kenichi. "Kamu mau kopi, Nak?"
Kenichi mengambil cangkir itu, menghirup aroma kopi yang hangat. "Tentu saja, Ma. Terima kasih."
Ibrahim, yang sejak tadi duduk diam, memecah keheningan. "Jadi, Ken... kamu sudah ada rencana untuk kuliah nanti? Mau ambil jurusan apa?"
Kenichi berhenti sejenak, berpikir. Pertanyaan ini sebenarnya sudah muncul di kepalanya berkali-kali, tapi dia selalu menunda jawabannya.
"Mungkin arsitektur atau hubungan internasional" jawabnya akhirnya.
Ibrahim mengangguk, tampak setuju meski tak ada antusiasme yang berlebihan. "Pilihan yang bagus Nak."
Kirana dan Sayaka tersenyum mendukung sepenuhnya keinginan Kenichi.
Obrolan itu mengalir ringan, meski Kenichi masih merasakan canggung di baliknya. Tidak ada pembicaraan mendalam tentang masa depan atau perasaan-perasaan lama yang tersisa, hanya pertanyaan-pertanyaan ringan tentang jurusan kuliah dan rencana-rencana ke depan.
Setelah sarapan, Kenichi kembali ke kamarnya. Hari ini, dia memutuskan untuk tidak terlalu banyak bergerak. Tubuhnya masih merasakan efek dari penerbangan panjang, dan meski pikirannya ingin melakukan banyak hal, fisiknya memintanya untuk beristirahat. Ia tahu Sayaka harus kembali ke kantornya, dan Kirana juga sibuk dengan proyek-proyeknya. Sementara itu, Ibrahim lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, mengurus bisnis.
Kenichi merasa bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang, tapi ia tidak keberatan. Mungkin inilah kesempatan yang ia butuhkan—waktu untuk berpikir dan menyesuaikan diri kembali dengan rumah yang pernah ia tinggalkan.
Dia menarik napas panjang, duduk di tepi ranjangnya, memandangi dinding-dinding kamarnya yang terasa begitu asing meski ini adalah rumahnya sendiri. Jakarta mungkin telah berubah, dan begitu juga keluarganya. Tapi apakah dia sendiri sudah berubah? Atau, apakah luka-luka lama masih tertinggal dan akan selalu membayanginya ?
Sambil merebahkan dirinya ke atas ranjang, Kenichi memejamkan mata, membiarkan dirinya terserap kembali dalam ingatan-ingatan masa lalu. Ia tahu bahwa perjalanan untuk menyesuaikan diri baru saja dimulai, dan meski itu tidak akan mudah, dia akan mencoba.
.
.
Kenichi duduk bersandar di tempat tidurnya, namun matanya yang terbuka lebar menunjukkan bahwa dia tidak bisa tidur. Jam menunjukkan pukul 9 pagi, tapi tubuhnya masih terasa berat, bukan hanya karena jetlag, tetapi juga karena pikiran yang terus berputar. Dia bangun menuju meja komputer, mengakses internet mungkin bisa meringankan pikirannya sebentar.
Tapi dia jadi terpikir sebuah hal yang tak pernah dia pikirkan di Jepang. Hal pertama yang muncul di pikirannya adalah "Elang Group". Sejak kecil, dia tidak pernah mau tahu soal bisnis ayahnya. Setiap kali Ibrahim membicarakan pekerjaan, Kenichi selalu merasa jauh, seolah dunia bisnis itu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin dia sentuh. Tapi kali ini berbeda. Dengan jari yang sedikit gemetar, dia mengetik nama perusahaan itu di mesin pencari.
Layar besar monitor menampilkan banyak artikel, berita, dan laporan tentang Elang Group. Dia membaca dengan seksama, memperhatikan bagaimana ayahnya, Ibrahim, berhasil membangun jaringan bisnis yang begitu luas. Tidak hanya di bidang properti, Elang Group juga merambah ke sektor energi, infrastruktur, dan teknologi, bahkan taxi online bernama Red Eagle. Nama Ibrahim terlihat di berbagai media sebagai salah satu pengusaha sukses Indonesia yang sering kali menjadi pembicara di forum-forum bisnis internasional.
Kenichi tertegun. Ini pertama kalinya dia benar-benar mencoba memahami apa yang dilakukan ayahnya. Tidak lagi hanya mendengar cerita dari kejauhan atau obrolan singkat di meja makan, tapi sekarang dia bisa melihat dan mengerti seberapa sibuknya ayahnya. Mungkin, selama ini dia terlalu cepat menilai Ibrahim tanpa benar-benar memahami beban yang dipikulnya.
Setelah puas membaca tentang Elang Group, Kenichi beralih ke pencarian berikutnya: "The Say's." Butik milik ibunya, Sayaka. Sepuluh tahun yang lalu, ketika dia pindah ke Jepang, Sayaka memulai semuanya dari nol. Awalnya, itu hanya butik kecil yang menjual pakaian muslimah dan formal, tapi sekarang, The Say's telah menjadi salah satu brand fashion muslim yang sangat terkenal. Produk-produknya dipakai oleh tokoh-tokoh ternama, dan desain Sayaka sering kali tampil di berbagai peragaan busana internasional.
Kenichi tersenyum kecil. Dia ingat saat kecil, ibunya sering berbicara tentang impian besar menjadi desainer terkenal. Namun, waktu itu, dia tidak pernah mengira impian itu akan benar-benar terwujud. Sekarang, dia bangga, meskipun sedikit terlambat menyadarinya. Sayaka telah menciptakan sesuatu yang luar biasa, dan Kenichi tahu, itu semua tidak mudah.
Kemudian, dia mengetik nama terakhir yang membuatnya penasaran: "Kirana Ayu Rarasati." Nama Kakaknya, Kirana, muncul di banyak situs, terutama yang berkaitan dengan dunia sastra. Sebuah nama besar di dunia penulisan, Kirana adalah penulis berbakat yang karyanya sudah beberapa kali menjadi best seller. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "Merindukan Sakura," sebuah novel tentang cinta dan kerinduan yang terinspirasi dari pengalaman keluarga mereka saat tinggal di Jepang.
Bahkan lebih dari itu, Kenichi menemukan bahwa Kirana sedang dalam proses membuat film pertamanya, yang diadaptasi dari novel "Merindukan Sakura." Ia tidak percaya betapa besarnya pencapaian yang telah diraih oleh kakaknya. Kirana yang ceria dan sering bercanda dengannya di masa kecil kini telah menjadi sosok yang diidolakan banyak orang.
Kenichi memandangi layar ponselnya dengan rasa takjub dan sedikit rasa bersalah. Bagaimana bisa dia begitu jauh dari keluarganya? Bagaimana mungkin dia tidak tahu semua hal luar biasa ini tentang orang-orang yang seharusnya paling dekat dengannya? Rasa bersalah itu muncul perlahan, tetapi diiringi dengan tekad yang kuat. Dia ingin berubah. Dia harus lebih peduli, lebih terhubung dengan keluarganya. Mereka telah melakukan banyak hal besar, dan dia tidak boleh terus berada di luar lingkaran itu.
Sambil menyeruput kopi yang hampir dingin, Kenichi menyadari bahwa hidup di Jepang membuatnya merasa seolah-olah dia tidak punya tempat lain selain di sana. Tapi sekarang, kembali ke Indonesia, dia menyadari bahwa keluarganya telah berjalan maju dengan cara mereka sendiri. Ini adalah waktunya untuk mengejar ketertinggalannya.
Saat Kenichi masih termenung, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor ibunya.
"Ken," suara lembut Sayaka terdengar dari seberang telepon, "Mama mau ajak kamu keluar. Kita akan belanja sedikit, mungkin kamu butuh beberapa pakaian baru. Kakakmu juga ikut."
Kenichi merenung sebentar, biasanya dia akan mencari alasan untuk menolak ajakan semacam ini. Tapi kali ini, ada rasa ingin terlibat lebih dalam, mencoba memulai hubungan baru yang lebih baik dengan keluarganya.
"Baik, Ma. Aku siap-siap dulu," jawabnya dengan nada lembut.
Setelah menutup telepon, Kenichi segera bangkit dari tempat tidurnya dan bersiap. Ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya, seolah-olah ini adalah awal dari sesuatu yang baru—sebuah kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang selama ini terasa renggang. Hari ini, dia tidak akan menyia-nyiakannya.
.
.
Kenichi bersiap di depan rumah, menunggu jemputan Pak Soni, supir keluarga yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk keluarganya. Sesekali, ia melirik ponselnya, memastikan waktu. Hatinya bercampur aduk antara antusiasme dan sedikit kecanggungan untuk kembali menghabiskan waktu bersama keluarganya setelah sekian lama terpisah.
Tak lama kemudian, mobil hitam yang sudah familiar berhenti di depan rumah. Pak Soni, dengan senyum ramahnya, keluar dari mobil dan membuka pintu untuk Kenichi. "Selamat pagi, Tuan Muda Kenichi. Maaf menunggu lama, jalanan Jakarta mulai padat pagi ini," katanya sopan.
Kenichi tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Pak. Saya juga baru siap."
Mereka segera berangkat menuju mal. Sepanjang perjalanan, Pak Soni mulai bercerita dengan semangat, mengingatkan Kenichi pada masa kecilnya. Ia berbicara tentang perubahan Jakarta yang semakin modern dan bagaimana kondisi jalanan saat ini. Kenichi menanggapi dengan ramah, meskipun banyak kata-kata yang terasa asing di telinganya setelah sekian lama tinggal di Jepang.
Saat melihat ke luar jendela, Kenichi terkejut melihat banyak taksi "Red Eagle" di jalan. Taxi dengan logo elang merah itu adalah milik perusahaan keluarganya, Elang Group. Pak Soni pun bercerita tentang perkembangan bisnis transportasi itu.
"Red Eagle sekarang sudah jadi salah satu penyedia taksi online terbesar di Jakarta, Tuan Muda. Banyak pelanggan suka, karena pelayanannya bagus dan tarifnya bersaing."
Kenichi hanya mengangguk sambil memperhatikan deretan taksi Red Eagle yang melintas di samping mobil mereka. Dalam hati, ia merasa kagum pada bagaimana ayahnya, Ibrahim, mampu mengembangkan bisnis sebesar itu, bahkan merambah hingga ke sektor transportasi. Meskipun selama ini dia tidak pernah tertarik dengan bisnis keluarga, kenyataan bahwa perusahaan itu begitu besar mulai menyadarkannya bahwa ada tanggung jawab besar di balik kesuksesan itu.
Perjalanan bersama Pak Soni terasa nyaman dan santai. Kenichi menikmati obrolan ringan, meski sesekali ia terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ketika mereka hampir tiba di mal, Pak Soni bertanya,
"Tuan Muda, apa ada yang ingin saya sampaikan ke Tuan Ibrahim nanti?"
Kenichi tersenyum tipis. "Nggak ada, Pak. Terima kasih."
Tak lama kemudian, mereka tiba di mal. Pak Soni memarkir mobil di dekat pintu masuk, dan Kenichi turun dengan hati yang sedikit lebih ringan. "Terima kasih Pak Soni!" ucap Kenichi sebelum berjalan masuk.
"Selamat bersenang-senang Tuan Muda." balas Pak Soni dengan senyumnya yang tulus.
"Kakak, Ma," sapa Kenichi sambil tersenyum. Kirana segera menggandeng tangan Kenichi dengan ceria, sementara Sayaka hanya tersenyum hangat dari samping.
"Ken, kamu sudah siap belanja ?" ujar Kirana sambil tertawa kecil. Ia tampak sangat menikmati kesempatan menghabiskan waktu bersama adiknya setelah sekian lama.
Kenichi hanya tersenyum. Dia mengenakan outfit yang sederhana—jersey Yokohama F. Marinos dengan celana jeans hitam dan sepatu kets, tampak kontras dengan keramaian mall yang penuh dengan orang-orang berpakaian trendi. Namun, bagi Kirana, adiknya tetap menjadi pusat perhatiannya.
Banyak pengunjung mall yang mengenali Kirana. Sebagai seorang penulis terkenal, dia sering menjadi perhatian di tempat umum. Beberapa fans mendekat, meminta tanda tangan, bahkan foto bersama. Mereka sempat harus berhenti beberapa kali karena banyaknya orang yang ingin berbincang dengan Kirana.
Setelah beberapa saat berjalan di dalam mall, Sayaka membawa Kenichi ke salah satu toko elektronik ternama. Tanpa banyak bicara, ia langsung memilihkan ponsel terbaru lengkap dengan aksesorisnya untuk Kenichi. "Ini untuk kamu, Ken. Aku tahu kamu butuh yang lebih canggih," ucap Sayaka sambil tersenyum hangat. Kenichi hanya bisa mengangguk pelan, merasa takjub melihat betapa perhatian ibunya terhadap kebutuhannya.
Tak hanya itu, Sayaka juga membelikan Kenichi sebuah tablet pintar. "Ini juga bisa membantu kamu belajar nanti, terutama saat kamu mulai kuliah," lanjutnya. Kenichi tahu ibunya ingin yang terbaik untuknya, dan meskipun ia tidak terlalu terbiasa dengan hadiah-hadiah mahal seperti itu, dia merasa tersentuh.
Setelah selesai di toko elektronik, mereka melanjutkan perjalanan ke toko pakaian. Meskipun Kenichi sebenarnya tidak begitu tertarik dengan berbelanja pakaian, ia tetap mengikuti Sayaka dan Kirana yang tampak antusias. Sebagian besar baju yang dibeli justru untuk Sayaka dan Kirana, sementara Kenichi hanya mengangguk setuju ketika mereka memilihkan beberapa pakaian untuknya.
Suasana di toko pakaian terasa riuh. Banyak fans Kirana dan Sayaka yang mengenali mereka dan mendekat untuk menyapa. Kirana yang penuh senyum dengan ramah melayani setiap sapaan, begitu pula Sayaka. Mereka bahkan tidak segan-segan menerima ajakan foto bersama dari para penggemar.
Namun, tanpa mereka sadari, di antara keramaian itu ada seseorang yang diam-diam memotret kedekatan Kenichi dan Kirana. Orang tersebut sepertinya salah paham, mengira Kenichi adalah pasangan Kirana karena mereka tampak begitu akrab. Foto-foto itu kemungkinan besar akan menjadi bahan gosip, padahal mereka adalah saudara kandung.
Setelah puas berbelanja, mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran yang menyajikan masakan Indonesia, khusus dipilih oleh Sayaka dan Kirana untuk Kenichi. "Ini spesial untuk kamu Ken, supaya kamu tidak lupa dengan makanan Indonesia," ujar Kirana sambil menyodorkan menu kepada adiknya.
Kenichi tersenyum, merasa dihargai oleh perhatian kakak dan ibunya. Saat mereka makan bersama, suasana terasa begitu hangat, seperti masa-masa ketika mereka dulu sering berkumpul di rumah. Restoran itu dipenuhi dengan aroma makanan khas Indonesia yang membuat Kenichi merasa sedikit lebih terhubung dengan tanah airnya, meski masih ada perasaan asing yang menggelayut di hatinya.
Selama makan, Sayaka dan Kirana berbagi cerita tentang aktivitas mereka, sementara Kenichi lebih banyak mendengarkan. Perlahan, ia merasa mulai bisa menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru di Jakarta.