"Udah selesai nangisnya?"
Suara bariton tiba tiba muncul, tepat disamping perempuan usia pertengahan dua puluhan yang tengah berjongkok menenggelamkan wajah sambil terisak lirih.
Perempuan itu refleks mengangkat kepala, mendongak melihat siapa yang menghampirinya.
"Masih betah disini?" Pria pemilik suara itu lantas memberikan selembar tissue padanya.
Ariana, mengambil tissue itu lalu menyeka pipi basahnya perlahan. Sedetik kemudian, dia berdiri sejajar dengan pria disampingnya yang menatap lurus kedepan pada kesunyian lapangan basket menjelang larut malam itu.
"Thanks, kak" ucapnya.
"Hm" jawab pria itu singkat.
Anna menoleh sejenak menatap wajah pria yang hampir jarang tersenyum itu.
"Lo kenapa bisa disini?" tanyanya penasaran.
Pria itu mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku celana, mengotak atik sebentar, lalu menunjukkan roomchat bersama seseorang.
Anna menatap layar menyala ponsel, lalu membuang pandangan. Terdiam beberapa saat, dia kembali membuka suara tanpa menoleh lagi pada pria disampingnya.
"Gue mau tanya sesuatu kak" ucap Anna setengah ragu.
"Hm?" Lagi, pria itu hanya menanggapi singkat.
"Kenapa lo gak nyuruh gue putus juga?"
Pria jangkung itu bergeming, tak berniat menjawab. Meski tau, Anna kembali menatapnya serius.
"Lo mending balik, sebelum Ardan tau lo disini" ucapnya sembari berbalik memunggungi gadis itu dan melangkah pergi.
Anna menghela nafas, dengan langkah berat menyusul pria itu.
Sepanjang perjalanan, Anna hanya diam menikmati hembusan angin malam menerpa wajahnya. Hanya mengenakan dress diatas lutut, dibalut blazer crop beige membuatnya tampak agak menggigil.
Anna memeluk tubuhnya sendiri, dengan bibir yang sedikit bergetar menahan tangisnya agar tak pecah lagi. Pria itu memperhatikannya dari kaca spion, lalu menghentikan motor di tepi jalan.
Pria itu membuka helm, lalu melepas hoodie yang dia kenakan.
"Nih pake" ucapnya menyodorkan pakaian miliknya.
Anna menatap datar pemberian pria itu, tanpa mau mengambilnya.
"Pake Ann, ntar lo sakit. Kalo Ardan.." ucapannya tertahan saat perempuan dihadapannya itu menatapnya dengan sepasang netra berkaca kaca.
"Gue gak pengen pulang, kak" ucap Anna, bersamaan dengan isak tangis yang perlahan kembali luruh.
Anna menutup wajah dengan kedua telapak tangannya sambil sesegukan. Seperti tadi, saat dia sendiri di tepi lapangan sebelum pria itu datang menjemputnya.
Tangan pria itu perlahan bergerak ingin meraih lengan Anna dan membawanya kedalam dekapan, namun diurungkan.
"Lo harus pulang Ann. Lebih baik lo nangis dirumah daripada diluar begini. Ardan bakal khawatir" bujuk pria itu.
Anna sulit menghentikan tangisnya sendiri. Dadanya terasa sesak karena bayangan akan kejadian yang membuatnya sakit beberapa jam lalu terus melekat dalam kepalanya.
"Ann, kita pulang ya?"
Pria itu masih berusaha membujuknya. Tak ada satupun perkataan darinya yang bermaksud untuk menenangkan gadis yang lebih muda tiga tahun darinya itu, selain ajakan agar Anna mau pulang karena malam semakin larut.
Setengah jam berlalu, Anna perlahan tenang, mengusap air matanya sendiri.
"Lanjut kak" ucapnya bersuara serak.
Pria yang sejak tadi berdiri disampingnya itu, lantas memakai helm dan menaiki motornya kembali.
Namun dia tertegun sejenak, saat Anna tiba tiba melingkarkan tangan di pinggangnya.
"Maaf kak, kepala gue agak pusing. Gue takut jatuh" ucap Anna.
Pria itu kembali menyalakan motor. Pegangan Anna perlahan semakin erat, sambil menyandarkan kepala di punggung teman kakaknya itu.
Refano mendadak gugup, merasakan debar kencang dalam dada. Sementara dibelakangnya Anna sudah tertidur lelap.
"Apa ini bakal jadi kesempatan pertama buat gue?" batin pria itu.
Setibanya di depan sebuah bangunan rumah mewah, Fano menghentikan motor.
"Ann, kita udah sampe" ucap fano.
Gadis itu perlahan menggeliat, melepaskan pelukan pada tubuh pria didepannya. Lalu dia turun dari motor, hendak membuka hoodie yang dikenakan tadi.
"Balikin besok aja" ucap Fano.
"Thanks ya, kak. Sorry kalo gue harus ngerepotin lo lagi" balas Anna lesu.
Gadis itu berjalan memasuki halaman rumah, dan perlahan menghilang dari balik pintu. Refano tak langsung pergi, memperhatikan salah satu jendela bagian atas rumah itu yang tadinya gelap, kini menyala terang karena cahaya lampu menandakan Anna sudah tiba dikamarnya.
"Ann, buka!"
Seseorang menggedor keras pintu kamarnya dari luar. Namun Anna memilih berbaring, menggunakan headphone berisi lagu.
"Buka sebelum gue dobrak!"
Ardan, kakak laki lakinya terus berseru diluar. Melihat Ann yang baru pulang dan bergegas menaiki tangga sambil setengah menutup wajah dengan telapak tangan menimbulkan rasa curiga.
"Lo diapain lagi sama tuh cowok brengsek, hah?!"
Meski volume musik yang didengar Anna sudah cukup nyaring ditelinga, namun teriakan Ardan diluar masih bisa terdengar jelas olehnya. Ann menyerah, sebelum kakaknya itu berhasil membuka kasar pintu kamar.
Sambil melepas headphone dan beranjak membuka pintu, Anna menyeka pipinya yang tadi sempat basah karena kembali menangis.
"Apa?" tanya Anna malas.
"Lo abis nangis kan?" tanya Ardan serius, dengan rahang menegang.
"Gak kok, apaansih lo bang" sanggah Anna bersungut kesal.
"Terus tadi kenapa ditelfon suara lo kaya nangis?"
Anna tak berani menatap lelaki dihadapannya lagi, mengedarkan pandangan ke segala arah.
"Udah ah, gue mau tidur" ketusnya mendorong Ardan, lalu menutup pintu kembali.
Anna duduk di tepi ranjang, memikirkan dirinya yang sial malam itu. Memergoki pacarnya dengan gadis lain tengah berpelukan didepan matanya sendiri, tentu membuat hatinya sakit.
Anna melirik foto dirinya bersama lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun ini, dalam sebuah frame putih berukuran sedang.
Dia lalu memasukkan benda itu kedalam laci, dan kembali berbaring. Anna memaksa dirinya untuk masuk ke alam mimpi agar sesak didalam dadanya setidaknya bisa berkurang malam itu karena mungkin besok rasanya akan lebih menyakitkan lagi.
Anna sengaja menonaktifkan ponsel saat perjalanan pulang kerumah tadi. Dia tak ingin pacarnya yang mengetahui dirinya ada disana melihat hal tadi, terus menerornya dengan permintaan maaf. Kenapa Anna bisa berfikir demikian? Karena tadi pun, kekasihnya itu memohon agar Anna mendengarkan penjelasannya dulu.
Namun karena kedatangan Refano, dia bisa kabur. Berulangkali pria itu membantunya dan hampir selalu ada untuknya di setiap masa sulit Anna.
Refano berteman dengan Ardan sejak kecil. Jadi tak mengherankan jika kakaknya itu sering meminta bantuan pada Fano yang satu kampus dengan Anna untuk menjaga adiknya.
Pria jangkung dan tampan itu sendiri belum memiliki kekasih. Fano cukup jarang membicarakan perempuan, bahkan hampir tak pernah. Meskipun ramah dan mudah akrab pada siapapun, Fano tak pernah berkeinginan sengaja menggunakan kelebihan dirinya hanya untuk menarik para gadis yang kerap mencari perhatiannya.
Perempuan dikampus yang dekat dengannya hanya Anna. Meski berbeda jurusan, Fano lebih sering menghampiri adik temannya itu duluan saat senggang. Kedekatan mereka sering menimbulkan kecemburuan pada gadis lain dikampus yang menyukai Fano.