"Ann, bangun! Jam berapa ini, lo gak kuliah?"
Pagi itu, seperti biasa Ardan mengetuk berulangkali pintu kamar adiknya, guna membangunkan agar Anna tak terlambat berangkat ke kampus.
Namun hampir ingin menggedor dengan keras seperti semalam, seorang wanita paruh baya berpenampilan sederhana menghampirinya.
"Adek kamu udah berangkat bang" ucap wanita itu.
Kening Ardan berkerut, menatap tak percaya pada sang mama.
"Masa sih ma? Berangkat sama siapa dia?" tanya Ardan.
"Katanya sih buru buru, ada janji sama dosen. Dijemput taksi sih mama liat" jelas Hana, ibu mereka.
"Yaudah, ayo sarapan" ucapnya lagi.
Setelah Hana melangkah meninggalkan Ardan menuju ruang makan, Lelaki itu merogoh ponsel di saku jaket untuk mengirim pesan pada seseorang.
Di sebuah taman yang masih tampak cukup sepi, hanya ada beberapa orang berlalu lalang memakai pakaian santai tengah berolahraga pagi. Anna duduk disalah satu bangku, menatap langit cerah pagi itu dengan wajah datar.
Dering panjang dari ponsel miliknya di genggaman, membuatnya setengah tersentak. Ardan meneleponnya, namun sengaja tak dia angkat.
Anna memilih mengaktifkan mode silent, agar suara berisik itu tak mengganggunya. Ternyata benar anggapan sehari setelah putus tidaklah menyenangkan. Kini Anna membuktikan sendiri hal itu.
Memang tak ada ucapan langsung, bahwa dia ingin mengakhiri hubungan dengan Anggala, kekasihnya. Tapi melihat apa yang terjadi semalam didepan matanya langsung, Anna berniat mengakhiri hubungan mereka.
Anna tau, tak mudah melepaskan hubungan yang terbilang cukup lama. Tapi bertahan bersama seseorang yang pernah berselingkuh itu salah, meski sudah diberi kesempatan untuk berubah.
Hati Anna masih terasa sakit, berulangkali dia menghela nafas untuk meringankan sesak di dada agar air matanya tak kembali jatuh di tempat umum seperti saat ini.
Sialnya Anna harus merasakan hal bodoh karena terus bertanya dalam hati, apa yang kurang dengan dirinya sendiri? Apa dia harus menjadi seperti perempuan selingkuhan Gala, sapaan akrab kekasihnya itu.
"Ann, lo disini ternyata"
Suara yang tak asing itu, membuatnya refleks menoleh. Refano menemukan dirinya lagi, lalu duduk disampingnya.
"Ardan minta tolong gue nyari lo" ucap Fano.
Anna hanya mengulum bibir, kembali menatap datar ke depan. Sesuai dugaannya, Fano mencarinya karena Ardan menyuruhnya. Bukan hal yang asing lagi, jika pria disampingnya itu kerap berhasil menemukan dirinya dalam keadaannya saat ini.
"Nih buat lo" ucap Fano, menyodorkan sebungkus roti lapis.
Anna mengambil makanan itu. Ingatan saat Gala sering memberinya makanan yang sama, terlintas di dalam kepala.
"Makan Ann, Lo boleh sedih tapi jaga kesehatan juga" ucap Fano.
Perkataan pria itu, tak berpengaruh apapun pada Anna. Anehnya, tubuhnya pagi ini tak merasakan lapar seperti biasa. Jika biasanya Anna akan menghabiskan dua potong sandwich, dia belum mengunyah apapun sejak keluar dari rumah tadi.
Mereka saling terdiam beberapa saat, hingga Anna melirik layar ponsel menyala tanpa suara miliknya di tangan. Teman sekelasnya mengirimkan pesan yang membuatnya buru buru beranjak.
"Kak, gue duluan ya. Thanks sarapannya" ucap Anna sembari melangkah cepat.
Taman itu, berada 10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki ke kampus mereka. Setiba didepan gedung fakultas jurusannya, Anna menghentikan langkah. Dari kejauhan dia melihat Gala nampak tengah celingukan mencari keberadaan seseorang. Anna berbalik, karena tak ingin terlihat oleh lelaki itu. Namun usahanya gagal, karena Gala dengan cepat mengenalinya meskipun tampak belakang.
"Ariana!" Seru Gala, berlari kearahnya.
Tanpa pikir panjang, Anna memilih jalan lain untuk masuk ke kelas. Dan cara itu berhasil membuat Gala kalah cepat, dan menghentikan langkah dengan nafas tersengal.
"Gal, kenapa lo? Pagi pagi udah keringetan aja" celetuk seorang lelaki yang baru muncul, disusul seorang lagi.
"Lah iya. Rajin banget olahraga pagi lo gal" sahut lelaki satunya.
"Gue gak olahraga anjir, gue ngejar Anna" jawab Gala kesal.
Abian dan Keano saling pandang seraya mengerutkan kening
Anna masih dengan langkah cepat, berhasil masuk ke ruang kelas. Buru buru duduk dibangkunya, hingga membuat seorang teman disampingnya agak kaget.
"Lo kenapa Ann? Muka lo kaya abis liat setan" tanya gadis berkacamata oval disampingnya.
"Iya emang, ini lebih dari setan" ketus Anna.
Kelas pagi itu berlangsung setelah seorang dosen masuk. Namun pikiran Anna tak bisa menyerap materi yang dibahas, meski pandangannya fokus kedepan.
Rasanya dia tak ingin mengikuti kegiatan perkuliahan hari ini, namun Anna tak akan bisa mengelabui Ardan. Kakaknya itu selalu sensitif akan hal apapun yang terjadi padanya. Anna hanya tak mau memperkeruh masalah pribadinya dan melibatkan oranglain meskipun itu kakaknya sendiri.
Sejak awal hubungannya dan Gala, Ardan memang kurang menyetujui. Sebesar apapun usaha Anna meyakinkan kakaknya itu, Ardan tetap tak bisa melihat sisi baik Gala.
Namun, menentang keputusan Anna untuk tetap bersama Gala memang bukan haknya. Selama Anna merasa bahagia dengan pilihannya, Ardan juga turut senang.
Setelah waktu berganti sore, Refano menunggu Anna di parkiran. Selain karena permintaan Ardan, dia sendiri akan senang hati mengantar gadis itu.
Fano memegang dua tiket bioskop di tangannya sembari tersenyum tipis. Dia berniat akan mengajak Anna nonton lebih dulu, sebelum mengantarnya pulang.
"Jangan sia siain kesempatan kali ini, lo harus berhasil" batin Fano.
Karena kelasnya berakhir lebih dulu sebelum Anna, dia bisa santai menunggu gadis itu disana.
Sementara Anna saat ini tengah menyusup masuk kedalam kerumunan teman teman yang lain, keluar dari kelas agar tak ketahuan oleh Gala.
Lagi, usahanya gagal karena seseorang dengan cepat menariknya dari kerumunan itu. Pelakunya tentu kekasih. Ah ralat! Bagi Anna, lelaki itu sudah menjadi mantannya.
"Kita harus ngomong" tegas pria dengan tinggi 180 cm dihadapannya.
"Lepasin" sungut Anna menarik paksa tangannya.
Jika biasanya Anna akan sedikit mendongak menatap lelaki itu, kali ini tidak.
"Gak ada lagi ya lo narik narik gue gini, Kita udah putus" tukas Anna.
Gala hanya tersenyum mendengar ocehan gadis setinggi dadanya itu, yang sengaja berbicara namun tak mau menatapnya.
Anna mematung saat tiba tiba kedua tangan Gala menangkup wajahnya, diarahkan menatap lelaki itu. Terlebih, Gala tertawa kecil menatap dirinya.
"Ngomong apasih, lo? Kalo ngomong sini liat orangnya. Apa? Putus?" Gala tertawa sinis.
Anna mengerutkan kening, ingin melepaskan diri namun Gala beralih mendekapnya. Cukup erat hingga dia tak bisa berkutik.
Fano yang mulai jengah menunggu, memutuskan menyusul Anna kedalam. Langkahnya terhenti melihat adegan itu. Tiket ditangannya terpaksa remuk karena kepalan erat genggaman tangannya sendiri. Dada Fano mendadak panas, melihat hal itu.
Dengan perasaan memendam emosi yang tertahan, Fano memutuskan pergi.
Gala perlahan melepas pelukan, kembali menangkup wajah Anna yang semakin bersungut kesal.
"Gede juga nyali lo, mutusin gue duluan"
Tersenyum mengangkat sebelah sudut bibir, Gala setengah membungkuk mensejajarkan tatapan mereka.
"I won't never let you go" ucap Gala.