Di tepi mulut gua, tepat di atas jurang yang dalam, seorang gadis dengan rambut panjang terurai, berdiri tegak. Sayap di kiri dan kanannya dibuka lebar. Gadis itu, Zea, menghirup udara dalam-dalam dan dengan nekat melompat ke arah jurang.
Menutup matanya sejenak, ia merasakan adrenalin mengalir. Dengan tekad yang kuat, ia mengepakkan sayap-sayapnya, mencoba merasakan kebebasan di tengah terjangan angin.
Zea, seekor naga muda dengan mata zamrud yang berkilauan, melayang mengikuti arah angin menuju Hutan Terdalam. Di atas puncak pepohonan yang tak terhitung jumlahnya, ia terbang dengan tawa bangga memenuhi dadanya. Usahanya berlatih terbang di dalam gua selama seminggu penuh ternyata tidak sia-sia.
Saat fajar mulai menyingsing, Zea melayang di atas awan, menikmati angin pagi yang lembut menyapu kulitnya. Perasaan bebas menyelimuti Zea, dan ia terbang menuju Hutan Suci, tempat tersembunyi di mana Desa Elf berada. Harapan memenuhi hatinya, ingin bertemu makhluk lain dan kehidupan yang berbeda. Senyum cerah menghiasi wajahnya, memperlihatkan taring panjang yang berkilau, sementara ia menikmati deru angin yang menerpa tubuhnya.
Rasa senang Zea tidak berlangsung lama. Dari arah kirinya, seekor burung elang raksasa mendekat dengan kecepatan tinggi, sayapnya yang besar menghalangi sinar matahari. Dalam sekejap, ia berusaha menghindar dengan menukik ke dalam hutan yang lebat. "Sialan, aku tidak tahu ada musuh di atas!" pikirnya, teringat bagaimana ia lebih sering bermain sambil menjelajahi hutan dalam permainan video. Kini, kenyataan berbeda; ia tidak menyangka akan ada makhluk buas yang menyerang dari langit.
Setelah mendarat di atas rerumputan, Zea segera berlari menuju cekungan akar pohon raksasa untuk berlindung. "Sialan… Sialan… Sialan…" umpatnya berulang kali di dalam hati. Dengan kepalan tangan, ia memukul-mukul kayu akar, dan suara hantaman itu bergema di kesunyian hutan yang kelam.
Suasana mencekam menjadikan Hutan Kematian bukan sekadar nama; tempat itu terasa seperti sebuah neraka. Pepohonan kuno yang besar dan rimbun membuat cahaya matahari sulit menembus kedalaman hutan. Suara gemerisik dedaunan dan lari cepat hewan-hewan, ditambah suara auman yang menggema, semakin menambah kesan menyeramkan di tempat itu.
Zea mengeluarkan pedang dari kantong sihirnya dan meletakkannya di sarung yang terpasang di pinggang. Dengan merapal sihir Cahaya yang pernah ia pelajari di gua, cahaya itu mulai bersinar terang, menerangi jalan yang akan dilaluinya.
Ia melangkah dengan hati-hati mengikuti petunjuk peta, langkahnya tanpa suara, kaki telanjangnya bergerak cepat menuju utara, menembus Hutan Kematian. Tiba-tiba, ia mendapati seekor serangga raksasa beracun, yang menyerupai lipan, menghalangi jalannya. Tanpa berpikir panjang, Zea segera menghunus pedangnya dan menebas makhluk itu dengan satu gerakan cepat. Setelah memastikan serangga itu tewas, ia melanjutkan perjalanannya, tidak berani menoleh ke belakang.
"Mak, seram banget!" Zea bergidik ngeri di dalam hati. Meskipun demikian, ekspresi tegang di wajahnya tetap tak berubah, seolah ia berusaha menutupi rasa takut yang menggerogoti jiwanya.
Saat Zea bertemu dengan beast lain di tengah jalan, ia tidak ragu dan terus bergerak maju. Ia tahu bahwa ia harus mencapai Hutan Suci sebelum malam tiba agar bisa beristirahat dengan tenang. Dengan menggertakkan giginya, Zea berlari semakin cepat, seolah-olah dikejar oleh hantu, berusaha mencapai tepi Hutan Suci.
Setelah berlari sejauh 14 km dari tepi Hutan Suci, tiba-tiba Zea mendengar jeritan seorang laki-laki yang memecah kesunyian di dalam Hutan Kematian. "Tolong! Mamak, monsternya gede banget! Aaaa!"
Zea segera menghentikan langkahnya dan mempertajam pendengarannya. Suara itu berasal dari hutan pepohonan di sebelah kirinya, tampaknya tidak jauh dari posisinya. Bagaimanapun, jika ia berbalik untuk membantu, ia khawatir tidak akan sempat mencapai tepi hutan sebelum malam tiba. Dalam kebingungannya, ia harus memutuskan antara menolong orang yang mungkin terjebak dalam bahaya atau melanjutkan perjalanan untuk keselamatannya sendiri.
Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Zea akhirnya mengambil koin emas dari simpanannya. Ia memutuskan untuk melemparkan koin itu ke udara; jika sisi yang terlihat di atas menunjukkan gambar tertentu, itu berarti ia akan berlari menuju tepi hutan. Jika sisi bawah yang terlihat, ia akan menolong pria yang meminta bantuan itu.
Dengan tegas, Zea melemparkan koin ke udara dan, sebelum koin itu jatuh ke tanah, ia sudah berlari secepat kilat menuju sumber suara.
Setibanya di tempat, Zea melihat seorang pria mengenakan zirah besi berwarna putih, yang bersembunyi di bawah akar pohon besar. Di dekatnya, seekor ular raksasa dengan ekor tajam seperti bilah pisau terus menghantam pohon, mengincar mangsanya.
Tanpa ragu, Zea menarik pedangnya dari sarung. Dengan merapal beberapa mantra, pedangnya bersinar terang, menarik perhatian ular tersebut.
Ular yang mirip kobra itu, terancam oleh cahaya, menghempaskan ekornya ke arah Zea. Dengan sayapnya, Zea melompat ke udara dan terbang tinggi. Ia mengarahkan ujung pedangnya ke pusat batu sihir di atas kepala ular dan terbang menukik dengan kecepatan tinggi, menikam kepala ular tepat di bagian batu sihir.
Seketika, ular raksasa itu terjatuh ke tanah, meninggalkan jejak darah kehijauan yang mencolok. Zea melangkah mendekati akar pohon, di mana seorang anak lelaki berambut merah dengan mata emas menatapnya, air mata mengalir di pipinya. "Ma—makasih… huwaa…" suara anak itu tersendat, seolah terjebak antara rasa syukur dan ketakutan.
Berdasarkan penampilannya, anak itu tampaknya berusia sekitar 10 hingga 12 tahun, seperti seorang bocah yang terjebak dalam permainan milik saudaranya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Zea lembut, berusaha menenangkan. Anak itu hanya menggelengkan kepalanya, tidak mampu mengucapkan kata-kata.
"Sini," Zea berkata sambil mengulurkan tangannya ke arah anak dengan ID nama "Dion23" yang tertulis di atas kepalanya. Dion menerima uluran tangan Zea, dan seketika ditarik ke dalam pelukan hangatnya.
Zea menggendong anak itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya kembali menyalakan sihir Cahaya. "Nama kamu siapa?" tanya Zea sambil berlari, tetapi Dion belum sempat mengatasi keterkejutannya dan menjawab dengan terbata-bata, "D-Dion."
"Pegangan erat ya," ucap Zea sambil tersenyum. Dengan cepat, ia mengeluarkan sayapnya yang megah dan terbang rendah, berusaha menghindari serangan dari beast langit yang mengancam. Gerakannya cepat dan lincah, berpindah ke kiri dan ke kanan untuk menghindari pepohonan yang menghalangi. Zea memeluk Dion erat-erat dalam gendongannya, memastikan bahwa anak itu merasa aman di dekatnya saat mereka meluncur melalui udara.
***
Saat memasuki Hutan Suci, waktu hampir menunjukkan tengah malam. Bulan melambung tinggi di langit, memancarkan sinar lembut yang menerangi sekeliling. Di dalam pelukannya, seorang anak laki-laki bernama Dion sudah tertidur lelap. Dengan hati-hati, Zea meletakkan tubuh kecil Dion di bawah pohon lebat, di atas rerumputan lembut yang menghampar.
Ia mengeluarkan jubah dari tempat penyimpanannya dan menyelimuti Dion dengan lembut, melindunginya dari udara dingin yang menusuk. Akhirnya, Zea bisa bernafas lega. Berdasarkan pengalamannya bermain di [Magic Kingdom], ia yakin bahwa tidak ada beast dengan level tinggi di sekitar sini.
Zea menyalakan mantra pelindung di sekitar mereka, menciptakan suasana aman dan nyaman. Meskipun terlintas dalam pikirannya untuk mencari ranting sebagai bahan bakar unggun, rasa lelah mengalahkan semua keinginan itu. Ia melangkah masuk ke dalam jubah, memeluk Dion erat-erat, dan akhirnya terlelap, membiarkan tubuhnya beristirahat setelah semua yang telah mereka lalui.
To Be Continue