Kehangatan jubah yang Zea gunakan sebagai selimut kini telah menghilang, digantikan oleh udara dingin yang perlahan merambat masuk. Tubuhnya menggigil, dan Zea mengedipkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya. Di hadapannya, seorang anak kecil menatap wajah Zea dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Saat pandangan mereka bertemu, anak itu tampak terkejut, lalu mundur selangkah sambil menundukkan pandangannya. "Kamu sudah bangun," ucap Zea, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Dion mengangguk kuat, wajahnya memancarkan rasa malu.
"Dion?" panggil Zea, lembut.
"Ya?" jawab Dion. Perlahan, ia menarik jubah yang lebar untuk menutupi tubuh Zea kembali. "Maaf ya, aku ganggu Kakak tidur?" tanyanya dengan nada menyesal.
"Nggak juga," balas Zea dengan senyum lembut.
Zea pun duduk dan mengusap lembut kepala Dion. Kemudian ia berdiri, meregangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, melemaskan otot-ototnya yang kaku. "Kamu ngapain di tempat kemarin?" tanya gadis mata zamrud itu penasaran.
Dion menggigit bibirnya, menunduk sambil memainkan ujung bajunya. "Aku mau ke kota Leyra, dari pegunungan Siereneum. Kakakku ada di sana," katanya pelan.
"Kakakmu?" Zea menatap Dion, tampak bingung. "Kamu tahu dari mana kakakmu ada di sana?"
"Dari... Peta Lokasi Teman," jawab Dion dengan ragu, seperti menguji apakah Zea mengenal istilah itu.
Zea mengangkat alis, "Peta Lokasi Teman?"
Dion mengangguk lagi dengan kuat, lalu menggerakkan jarinya di udara seakan menekan tombol-tombol yang hanya bisa ia lihat. "Nah, Kakak bisa lihat ini?" tanya Dion sambil menunjuk ke arah yang tampak kosong di depan Zea.
Zea hanya menggelengkan kepala, bingung. "Eh?" gumam anak laki – laki itu heran.
Dion mencoba menjelaskan, "Coba, Kakak pergi ke pengaturan profil. Ada tombol berbentuk tiga garis di pojok kanan bawah, itu menu utama."
Mengikuti instruksi Dion, Zea akhirnya menemukan tombol tersebut, yang ternyata sudah ada sejak lama tanpa ia sadari. Fokus berlatih sihir dan terbang sepertinya membuatnya melewatkan banyak hal sederhana. "Astaga, benar-benar ada," gumamnya, sedikit terkejut dan merasa agak bodoh.
Pada layar peta yang muncul, titik-titik biru terlihat tersebar dengan nama-nama ID teman-temannya di atas setiap tanda. Bahkan Momo, teman terakhirnya yang sempat bertukar pesan, muncul di sana. Dari lokasi di peta, Zea menyadari bahwa Momo sedang berada di Hyjnore, Kota Kiere—mungkin karena Momo adalah seorang Ras Demi-God.
"Kalau kamu berasal dari pegunungan Siereneum, berarti kamu ras naga?" tanya Zea setelah selesai memeriksa lokasi teman-temannya.
Dion berdehem pelan dan mengangguk sekali lagi. "Iya."
"Level berapa?" lanjut Zea penasaran, sambil menekan ID Dion. Secepat itu, informasi detail tentang Dion muncul di layar dengan latar kebiruan, memberi Zea gambaran yang lebih jelas tentang identitas teman barunya ini.
[Nama : Dion23]
[Ras : Naga]
[Level : 8]
[Senjata Utama : Belati Racun]
"Level 8," jawab Dion tegas. Zea menghela napas sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. "Kenapa kakakmu ngasih kamu main Ras Naga?"
"Dia nggak izinin, kok," jawab Dion, memasang wajah cemberut. "Tapi aku suka Ras Naga. Lucu, kan?"
Zea hanya tersenyum, lalu mengambil jubah yang tergeletak di atas rumput dan mengenakannya. Ia menepuk-nepuk jubah itu untuk membersihkan rumput yang menempel. "Umur kamu berapa, sih?" tanyanya sambil membuka kotak penyimpanan sihir. Dari dalam kotak itu, Zea mengeluarkan jubah lain yang lebih kecil dan memakaikannya ke tubuh Dion. Suhu di Hutan Suci memang rendah, dan bagi Dion yang berada di level rendah, yang mungkin belum memiliki penahan suhu tubuh, udara dingin itu cukup terasa mengganggu.
"13 tahun, Kak," jawab Dion semangat saat Zea memakaikan jubah padanya.
"Kelas 1 SMP, ya?" tanya Zea, yang langsung disambut dengan anggukan mantap dari Dion.
Dion lalu memandang Zea ragu-ragu dan bertanya, "Kak Kaei?" merujuk pada ID di atas kepala Zea.
"Itu L kecil, bukan i besar," kata Zea sambil mengoreksi dengan lembut. "Kael."
"Oh, gitu. Artinya apa, Kak? Kael gitu?" tanya Dion dengan penuh rasa ingin tahu, matanya berbinar-binar.
'Kipas Angin Elektrik,' batin Zea sambil menahan tawa. Tidak mungkin ia mengatakan arti nama itu pada Dion. Nama itu akan terdengar sangat konyol di telinga bocah ini. "Nggak ada artinya, cuma asal. Panggil aja Zea. Panjangnya Zeeana," jawab Zea sambil tersenyum.
"Kak Jea," ucap Dion sedikit kesulitan menyebutnya.
"Bukan J, tapi Z, Zea," koreksi Zea sambil tertawa kecil.
"Kak Zea," Dion mengulang dengan benar.
"Bagus!" Zea mengangguk puas.
Melihat langit mulai memerah pertanda matahari akan segera terbit, Zea memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Elf melewati Hutan Suci. "Kamu lapar?" tanyanya sambil mulai melangkah perlahan, diikuti langkah kecil Dion di belakangnya.
"Sedikit," jawab Dion jujur.
"Oke, kita cari sungai dulu, biar bisa minum air segar," Zea memutuskan.
"Oke," balas Dion seraya memegang ujung jubah Zea dengan jemarinya, Dion mengikuti langkah kaki kakak perempuan yang baru ia temui kemarin dengan penuh semangat.
Hembusan lembut angin fajar menyapu wajah Zea, memberikan kesegaran yang menenangkan. Dengan tinggi tubuhnya yang mencapai 172 cm, langkah-langkah jenjang Zea tampak sulit diimbangi oleh Dion. Bocah itu berusaha mengikuti, meskipun begitu kakinya yang kecil masih terseret-seret di belakang.
Menyadari hal itu, Zea tersenyum dan menunduk, lalu menggendong Dion dengan satu tangan. Dion yang tiba-tiba melayang memeluk bahu Zea erat-erat, membuat Zea tertawa kecil melihat ekspresi terkejut sekaligus lucu di wajahnya.
"Kakak tinggi banget!" ucap Dion dengan mata berbinar kagum.
"Sudah genetik, jadi dari sananya tinggi," jawab Zea sambil tersenyum kecil. Ia menambahkan dengan nada bercanda, "Tapi cewek tinggi kan nggak imut?"
Dion menggeleng mantap, membuat hati Zea sedikit tercekat meski ia tahu bocah itu tidak bermaksud meledek. Namun, senyum lembut Zea kembali muncul saat Dion berseru, "Tapi Kakak keren!"
"Keren?" tanyanya, memastikan.
"Iya, cewek tinggi itu keren!" sahut Dion tanpa ragu.
Saat tiba di tepi sungai sesuai peta, Zea menurunkan Dion dari gendongannya dan meletakkannya di atas batu besar. Sambil merapal mantra pelindung di sekeliling Dion, ia berpesan, "Tetap di sini, ya. Jangan kemana-mana." Dion mengangguk patuh.
Zea pun melangkah masuk ke dalam hutan, mencari ranting kering. Di antara pepohonan, ia menemukan beberapa tanaman berbuah. Dengan bantuan sistem panduannya, Zea dengan hati-hati memilah mana yang beracun dan mana yang aman untuk dimakan.
Zea kembali ke tempat Dion menunggu dengan tangan penuh ranting kering dan buah-buahan yang disimpannya dalam kotak penyimpanan sihir. Ia tersenyum, lalu bertanya, "Lama, ya?"
Dion menoleh, wajahnya sedikit pucat, tampak gelisah. "Sedikit," jawabnya pelan.
Zea menyipitkan mata, memperhatikan perubahan di wajah adiknya. "Kenapa? Ada apa?" tanyanya lembut.
"Tadi ada hewan besar lewat," jawab Dion dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca. Perlahan, ia mengulurkan tangan mungilnya ke arah Zea, mencari kehangatan. Zea segera memeluknya erat dan mengusap punggungnya dengan lembut, berusaha menenangkan bocah itu.
"Ganggu, ya?" tanya Zea sambil terus mengusap lembut.
"Iya, hewannya nabrak-nabrak pelindungnya," kata Dion sambil bersandar penuh di pelukan Zea, rasa takutnya mulai mereda.
Zea tersenyum menenangkan, "Pelindungnya kuat, kok. Tenang aja, ya? Hewan-hewan seperti itu gak bakal bisa nembus. Oke?" katanya penuh keyakinan.
Sebagai seorang pemain dengan level setara 200 ke atas, Zea tahu bahwa makhluk di bawah level itu bukanlah ancaman baginya. Sedangkan jika berada di Hutan Kematian, di mana beast bisa mencapai level 250, Zea tidak akan pernah meninggalkan Dion sendirian tanpa pengawasan.
"Tetap di dalam lingkaran pertahanan, aku mau membersihkan peralatan untuk masak air dulu," kata Zea sambil melepaskan pelukannya pada Dion. Setelah meletakkan ranting-ranting kering di tanah, ia berjalan menuju tepi sungai, menyingsingkan lengan bajunya dan menaikkan ujung celana panjangnya agar tak basah. Ia melangkah hati-hati ke genangan air dangkal di tepi sungai.
Dengan cekatan, Zea mengeluarkan perisai sihirnya yang berbentuk cekung, lalu membersihkan sisi dalam perisai itu hingga bersih. Setelah itu, ia mengisi perisai dengan air jernih dari sungai, lalu kembali ke daratan sambil membawa air di dalamnya.
Di tepi sungai, Dion dengan sigap mengumpulkan beberapa batu dan menyusunnya menjadi kompor sederhana. Zea pun meletakkan perisai berisi air di atas tumpukan batu yang telah dipersiapkan Dion. Ia memasukkan ranting-ranting kering di bawahnya dan, dengan sekejap sihir, menyalakan api.
"Kenapa nggak minum airnya langsung, Kak?" tanya Dion penasaran.
Pertanyaan itu membuat Zea teringat akan kejadian di dalam gua, saat ia pernah meminum air dari mata air di sana dan akhirnya sakit perut seharian. "Air di sini mungkin bersih, tapi tubuh kita nggak terbiasa dengan sumber air di dunia ini. Jadi lebih baik kita masak dulu," jelas Zea sambil tersenyum.
"Oh…" Dion manggut-manggut, menerima penjelasan Zea.
"Mau sarapan apa? Ikan?" tawar Zea.
Dion langsung mengangguk penuh semangat. "Ikan!" serunya dengan nada khas anak kecil.
"Oke," balas Zea sambil tertawa kecil, lalu bersiap mencari ikan di sungai untuk sarapan mereka.
Zea menghunus pedangnya dan berjalan perlahan kembali ke dalam air. Dengan sikap tenang dan fokus, ia menunggu hingga beberapa ikan berenang melintas dengan cepat di sekitarnya. Dalam satu gerakan terampil, ia menusukkan ujung pedang ke arah ikan-ikan itu dan berhasil menangkap lima ikan sekaligus. Setelah kembali ke daratan, Zea membersihkan sisik dan bagian perut ikan-ikan tersebut. Kemudian, ia menusukkan setiap ikan pada ranting panjang dan menempatkannya di sekeliling perisai cekung yang ia gunakan sebagai kuali.
"Kakak mau mandi dulu. Kamu awasi ikan-ikan ini ya, jangan sampai gosong," kata Zea sambil tersenyum.
"M-mandi?" Dion tersipu, rona merah menghiasi pipinya.
"Iya, kenapa? Mau ngintip?" Zea bercanda dengan nada menggoda, membuat Dion semakin salah tingkah. "Wah, Dion mesum!"
"Nggak mungkinlah!" Dion segera membela diri. "Aku bakal lihat ke sini aja." Ia menunjuk ikan yang sedang dipanggang dan air yang mulai mendidih, lalu menegaskan dengan nada tegas, "Aku gak bakal ngintip, aku gentleman."
"Gentleman?" Zea tertawa ringan mendengar tekad Dion.
Dengan langkah mantap, Zea berjalan menuju sisi sungai yang lebih dalam. Ia melepaskan pakaiannya dan masuk ke dalam air dengan tubuh telanjang, merasakan kesejukan air yang mengalir. Mengambil selembar daun Clidemia hirta—dikenal juga sebagai Daun Sabun—yang ia temukan di Hutan Suci, Zea mulai menggosok tubuhnya. Daun ini lebih lebar dari jenis yang biasa ia temui di dunia asalnya dan menghasilkan busa yang melimpah, menjadikan ritual mandinya terasa menyegarkan di tengah alam bebas.
Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Zea meremas Daun Sabun di antara telapak tangannya, menghasilkan busa yang melimpah. Ia mengoleskan busa tersebut ke kepalanya sebagai sampo, memijat lembut kulit kepalanya. Aroma segar daun yang khas membuat Zea merasa rileks. Sekilas, ia melirik Dion yang duduk tegak dengan wajah dan leher belakang yang merah seperti tomat. Zea tersenyum kecil dan terkekeh pelan.
Begitu selesai, Zea menyelam ke dalam air untuk membilas tubuhnya. Ia kembali ke tepian dengan tubuh yang segar dan bersih, lalu mengenakan pakaiannya. Tanpa suara, Zea mendekati Dion yang sedang fokus pada ikan yang dipanggang. Tiba-tiba, Zea menepuk bahunya, membuat Dion tersentak kaget dan menjerit.
"Hahaha, astaga!" Zea tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Melihat reaksi Dion membuat tawanya semakin merdu.
"Sudah matang?" tanya Zea sambil melirik ikan-ikan yang kini berwarna cokelat keemasan.
"Sudah," jawab Dion sedikit malu.
Zea mengambil daun lebar sebagai alas, meletakkan ikan yang sudah matang di atasnya. Lalu, ia mengeluarkan mangkuk kayu dari kotak penyimpanan dan menuangkan air matang ke dalamnya. Memegang perisai panas dengan sobekan kain, Zea berjalan kembali ke sungai, mengambil air segar untuk dipanaskan lagi. Sebelum kembali, ia menyerahkan Daun Sabun kepada Dion.
"Mandi sana," ujar Zea dengan senyum menggoda, membuat Dion tertegun sejenak.
"Mandi? Di sana?" Dion menunjuk sungai yang terhampar tak jauh dari tempat mereka, matanya memandang Zea penuh keraguan.
Zea mengangguk mantap. "Iya. Kalau ada monster gimana?" tanya Dion sambil meremas ujung jubahnya dengan cemas.
Zea tersenyum menenangkan. "Gak akan ada monster. Kakak bakal jagain kok." Ia menatap Dion dengan penuh arti, membuat Dion mengerutkan alis. "Nggak mau," tolaknya dengan cepat.
Zea tertawa pelan. "Hahaha, tenang aja, gak ada beast di sini." Setelah ragu beberapa saat, akhirnya Dion mengambil Daun Sabun dan melangkah pelan ke arah sungai. Selama Dion mandi, Zea menajamkan pendengarannya, memastikan keadaan sekitar aman, dan memeriksa Dion setiap beberapa menit. Sambil menyiapkan sup dengan rempah-rempah yang dibawanya, ia tetap waspada hingga Dion selesai mandi.
Dion kembali dengan wajah segar. Saat itu, suhu air minum mereka sudah turun mejadi suam-suam kuku, dan sup telah matang. Zea mengambil dua mangkuk kecil dari penyimpanan sihirnya. Ia menyerahkan satu mangkuk berisi sup kepada Dion, lalu duduk dan mengambil porsi miliknya. Keduanya mulai makan dengan lahap, menikmati kehangatan sup di udara pagi yang sejuk.
Selesai makan, mereka membersihkan jejak, memastikan tidak ada yang tertinggal. Zea dan Dion pun melanjutkan perjalanan mereka menuju Desa Elf. "Ada yang ketinggalan?" tanya Zea sambil melirik sekelilingnya.
"Gak ada, Kak," jawab Dion sambil berjalan di sisi Zea, tangannya menggenggam ujung jubah Zea dengan erat. Mereka melangkah beriringan, menuju tujuan mereka yang berikutnya.
To Be Continue