Lilly
"Lilly," suara serak mendalamnya berderak dan itu menghentikan langkahku, memberi kegigilan di tulang punggung dengan hanya satu kata- satu kata yang diucapkan dalam kesedihan, tebal dengan rasa bersalah.
Mengambil nafas dalam-dalam, aku berhenti, tanganku masih di gagang pintu dan mata menatap kayu pintu depan yang dicat putih saat aku tetap diam, menunggu kata-katanya keluar.
Jika dia pikir aku akan berbalik untuk menghadapinya, dia salah.
Dia layak mendapatkan punggungku.
Selamanya.
"Maaf, aku sangat-sangat minta maaf Lilly," dia mengeluarkan kata-kata itu dan suaranya pecah dengan kesakitan dan aku bisa mendengar air mata memecahkan batasannya melalui kata-katanya ketika aku berbalik perlahan, penasaran apa yang dia minta maafkan.