Lilly
Aku menatap Zain yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, lukanya ditutup perban yang ternoda merah darah.
Lukanya perlahan sembuh tapi pasti akan sembuh.
Aku menatap dengan mata besar penuh ketakutan saat suara seraknya bergema dalam pikiranku...
"Ada yang ingin kukatakan padamu..."
Bibirku terbuka saat aku berusaha menahan bibir bawahku yang bergetar, kesedihan di matanya memberitahuku ini tak akan baik.
Berjalan masuk diam-diam, aku menutup pintu di belakangku dan mengambil napas dalam, aku bisa mencium bau kecemasan yang memancar darinya berombak-ombak.
Tubuhku sendiri memancarkan aroma yang sama.
Duduk di kursi di samping tempat tidurnya, aku memandang matanya yang biru bagai lautan yang murni.
Berduka.
"Lilly," bisiknya, suaranya serak.
"Kamu tak ingin aku di dekatmu lagi, kan?" tanyaku sembari meredam isakanku dan aku menoleh darinya.
Aku tak akan menangis, aku tak bisa.
"Lilly," panggilnya pelan. "Bukan itu, hanya saja... aku tak bisa membiarkanmu berada di dekat Dan lagi, itu menimbulkan masalah dengan serigalaku," katanya dan amarah pun bangkit dalam diriku seperti feniks yang siap terbakar menjadi bara.
Aku merasakan dengusan rendah di dadaku saat kepalaku berputar menghadapinya.
"Apa katamu?" geramku.
Serigalaku tidak menyukai perintahnya saat dia melihat Dan sebagai keluarga.
Sebagai anggota packnya.
Pasangannya telah menghamili yang lain, dia kehilangan segala wibawa untuk memberiku perintah.
Mata Zain menyipit melihat buluku yang terangkat, api di mataku.
Aku menatap tajam dengan mata hijauku sendiri.
"Zain, aku rasa kamu tidak punya hak untuk memberitahuku apa yang harus aku lakukan, kamu telah kehilangan hak istimewa itu. Aku tidak dipasangkan denganmu dan kamu akan memiliki anak dengan perempuan lain," keluhku dengan gigi terkatup, kata-kataku rendah dan mematikan saat aku merasakan amarah berdetak dalam diriku.
Hidungnya mengembang, menghirup aroma amarah yang ku pancarkan dan dia tersenyum sinis.
"Lilly, ayahku sudah menyetujuinya. Kamu berada di dekat Dan memicu serigalaku dan tidak baik bagi pack untuk menyaksikannya begitu juga dengan Grace," katanya dan senyumannya berganti menjadi kesedihan yang tidak nyaman.
Aku mengerutkan kening mendengar namanya disebut.
"Kenapa itu penting bagimu jika Grace marah? Bukankah kau bilang tidak peduli padanya?" tanyaku semakin kesal karena dia sudah bilang kepadaku bahwa dia tidak peduli.
Matanya menatapku, penuh permintaan maaf. "Aku tidak...," ujarnya lalu berhenti sebelum berbicara lagi. "Anakku, jika dia akan keguguran aku tidak ingin menjadi penyebabnya. Ini perasaan yang tidak bisa ku kontrol, serigalaku menginginkanmu tapi dia tahu kita akan menjadi ayah dan dia memiliki dorongan untuk melindungi anak itu, serigalaku yang tidak terkendali tidak akan melakukannya dan aku tidak bisa menjelaskannya tanpa menyakitimu," ujarnya dan suaranya retak di akhir.
Aku menarik napas dalam, menghirup kesedihan yang datang dari sisi serigalanya.
Aku mengerti.
Seorang calon orang tua ingin anaknya aman tidak peduli siapa orang tua yang lain.
Itu insting tapi itu menyakitkan.
Air mata terbentuk di mataku, aku tidak bisa menahannya lagi meskipun aku berjanji, aku terlalu emosional untuk ini.
"Zain, dia satu-satunya yang kumiliki. Kamu punya orang lain dan dialah yang membuatku utuh," bisikku sambil merasakan cairan hangat mengalir di pipiku, sinusku tersumbat dengan cara yang sudah terlalu sering aku alami.
Zain menatapku dengan mata yang menggelap. "Kamu punya aku," geramnya pelan.
Berdiri, mulutku terbuka lebar saat aku menatapnya dalam keheranan.
"Aku punya kamu?! Bukan, dia yang punyamu! Dia yang mengandung anakmu, menuntut Tandamu!" teriakku padanya.
"Aku tidak akan memberinya itu," katanya lembut, matanya juga berkaca-kaca.
Aku merasakan hati yang hancur semakin teriris dalam dada, serpihannya bersarang di paru-paraku.
"Mungkin tidak tapi kau memintaku untuk menonton kalian bersama, untuk sendirian dan menonton. Menjauh dari satu-satunya teman sejatiku dan semua karena kamu tidak tahan!?!?" tanyaku kepadanya dengan tidak percaya. "Nah, lakukan apa yang semua orang lain lakukan padaku dengan Grace! Jauhi!!! Mereka memandangku, takut aku akan berubah dan merobeknya limbah demi limbah karena aku shifter baru dan berpikir aku tidak bisa mengendalikan serigalaku," tambahku saat aku berteriak padanya tidak bisa lagi mengendalikan amarahku.
Matanya melembut saat dia berbicara mencoba menenangkanku, "kebanyakan serigala yang baru berubah tidak bisa Lilly, bahkan saat kita sudah tua dan mengalami sesuatu seperti cemburu."
Dia cukup empati untuk tampak malu atas kesalahannya sendiri.
Aku berjalan mondar-mandir di ruangan, merasa lepas kendali tiba-tiba.
Pikiranku dipenuhi gelombang skenario yang bisa terjadi di kepalaku... Akhirnya aku menatap ke atas, menghapus air mata di wajahku.
"Apakah ini benar-benar permintaan alfa atau permintaanmu?" tanyaku saat aku mengerucutkan bibir, berpikir dia tidak punya kata nyata dalam ini.
Dia menunduk, "Aku memintanya untuk memberitahumu."
Api.
Aku memompa api melalui pembuluh darahku, mendekatinya dengan tujuan, aku merasakan taringku turun saat aku mengangkat tanganku dan menampar dia di wajah.
Dia membiarkanku karena dia dengan mudah bisa menghentikanku.
"Beraninya kamu!!!!" teriakku padanya saat amarahku berubah menjadi penderitaan.
Aku menangis saat aku marah, itu sesuatu yang tidak bisa ku kontrol... Tanganku gemetar.
Dia memohon padaku dengan mata birunya untuk mengerti saat aku berdiri di sana gemetar dalam amarah dan kesedihan.
"Lilly itu menghancurkanku, tahu tidak ada apa-apa di sana tapi serigalaku merasa terancam olehnya," katanya padaku dan aku berbalik dengan tajam, terlalu muak untuk mengucapkan sepatah kata pun atau mendengarkannya.
Aku berjalan menuju pintu siap menemui Dan saat kata-kata Zain menghentikanku.
"Lilly, ingat saat kita masih anak-anak? Dan kamu dan Deacon selalu berlarian, mengejar satu sama lain, saling menjatuhkan seperti serigala kecil dan menggonggong karena kamu ingin jadi serigala?" tanyanya dan kata-katanya membuatku tersenyum saat aku mengingat kembali hari-hari itu.
Hari-hari saat Zain menjaga kami, kami berusia 9 tahun dan dia 12 tahun dan dia selalu menertawakan kami...
"Aku ingat," bisikku cukup keras agar dia mendengar, tanganku menjauh dari gagang pintu saat aku berbalik, merasakan sensasi luar biasa dari pandangannya ke kulitku.
Itu selalu memicu hasratku.
Meraskan pandangannya menyisir turun ke tubuhku, aku sudah berisi untuk usiaku.
Aku tahu dia menyukai apa yang dilihatnya.
Aku bisa mencium hasratnya hanya dari menatapku, matanya berlama-lama di lekuk tubuhku.
Pandangan kami bertemu dan sesuatu di dalam diriku ingin berada di sampingnya sekarang karena amarah telah mereda.
Akan kembali lagi tapi saat ini adalah momen ketika waktu berhenti.
Dia melanjutkan saat aku duduk di sampingnya di kursi, matanya terkunci pada mataku.
"Aku selalu berpikir kamu lucu bahkan saat kamu masih muda," katanya mengakui.
Seperti aku, bisikku dalam hati.
Aku selalu menyukai Zain tapi berpura-pura menganggap dia menjijikkan, sesuatu yang anak-anak biasa lakukan.
"Lilly, aku ingat di ulang tahunmu yang ke-15, setelah aku pulang dari pelatihan musim panas dan menemukanmu sudah tumbuh banyak, berisi di tempat yang tepat, aku menemukanmu menarik dan aku tahu aku sudah 18 tapi aku tidak bisa tidak merasa tertarik padamu bahkan saat itu dan seburuk apapun kedengarannya, aku selalu memperhatikanmu dengan kasih sayang," katanya dan matanya yang berkaca-kaca berkata kebenaran.
Aku mengamati fitur wajahnya, rahangnya yang tegas dan tulang pipi yang terukir.
Dia adalah karya seni.
Tapi kenapa harus dia? Kenapa dia harus jadi pasanganku?