sudut pandang Jules
Kai tidak bisa mengantarku sampai depan pintu karena dia bukan mangsa, yang kebetulan menguntungkanku karena aku sudah merasa cukup malu diberi tumpangan di punggung oleh seseorang yang tidak ingin aku lihat terus sebagai orang yang lemah.
Kai tampak benar-benar khawatir, menawarkan untuk membawaku ke klinik sekolah tapi aku menolak dengan sopan. Aku lebih baik mati daripada membiarkannya menggendongku kesana seperti gadis yang sedang dalam kesusahan, ketika sebenarnya aku tidak sedang sekarat atau apapun itu.
"Kamu yakin kamu akan baik-baik saja?" tanya dia dan aku memberinya senyum hangat saat mengangguk.
"Ya, aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu beristirahat, itu saja." Itu bukan bohong, aku memang harus beristirahat. Aku belum bisa tidur penuh delapan jam selama lebih dari tiga hari, jadi tidak heran jika tidak ada cukup kekuatan tersisa di anggota tubuhku.
"Baiklah. Aku kira aku akan melihatmu di sekolah besok?" Dia bertanya dan aku perlahan mengangguk, merasa pipiku memanas sedikit ketika dia terus memperhatikanku dengan seksama.
"Semoga malammu menyenangkan." Akhirnya dia menghembuskan nafas sebelum berbalik dan berjalan pergi. Aku terdiam, menonton saat dia pergi sambil tanpa sadar berharap dia telah memberiku pelukan atau sesuatu sebelum pergi, karena itu sesuatu yang sangat aku hargai saat ini.
Aku naik lift ke lantai tempatku setelah beberapa menit, mengusap lenganku untuk menghilangkan dingin yang telah melekat di kulit. Aku tidak merasa kedinginan sepanjang waktu aku di punggung Kai. Kai tercium bahkan lebih enak dari sudut tersebut dan meskipun keinginan untuk mencium rambutnya muncul kembali, aku mengabaikannya karena hal yang terakhir aku inginkan adalah membuatnya merasa aneh.
Saat aku mendekati pintuku, aku bertemu dengan teman sekamarku di pintu, kartu di tangan. Sebuah cemberut ada di wajahnya sebelum dia mengalihkan pandangannya lalu masuk ke rumah, yang aku ikuti setelahnya sebelum menutup pintu.
Kami hanya bertemu satu kali lagi sejak pertemuan pertama kami dan kami tidak berbicara saat itu. Aku mempertimbangkan untuk pergi ke kamarku dan langsung tidur, tapi pikiran untuk tidak berbicara dengan teman sekamarku terasa tidak enak bagiku. Orang lain mungkin bisa hidup dengan itu, tapi aku tidak yakin aku bisa. Aku tidak yakin apakah itu karena aku tumbuh dengan saudara-saudara dan tidak pernah tahu cara hidup dengan orang yang tidak aku ajak bicara, atau karena ada sesuatu tentang dia yang terus menarikku kepadanya.
Dia sedang melepas bajunya dan menyisir jari-jarinya melalui rambut keritingnya dan pandanganku melayang ke lehernya. Ada bekas yang lebih segar di sana, bekas gigitan dan jejak jari. Aku mengalihkan pandangan dan mengeluarkan suara kerongkongan, yang membuat matanya segera tertuju padaku dengan cemberut di wajahnya.
"Apa?" geramnya.
Aku ragu selama beberapa detik sebelum mengangguk ke arah lehernya. "Itu tidak sakit?" tanyaku. Tangannya terbang menutupi bekas gigitan itu dari pandanganku, dan kemudian terasa seolah cemberutnya berubah menjadi sikap defensif.
"Peduli apa kamu?" Dia menyahut dengan marah dan aku berkedip, tidak yakin kenapa dia begitu kesal hanya karena satu pertanyaan.
"A- apa?" tanyaku, tidak mengerti maksud dia.
"Ini cara kamu mengejek saya? Ingin menunjukkan ke unggulanmu? Yah, biar kuberitahu kamu bahwa aku sudah mendengar omongan itu ribuan kali dan sekarang itu tidak hanya kuno dan usang, itu mengganggu banget!" dia mengeluarkan kata-kata itu padaku dan aku menahan diri sambil mencoba memahami semua yang baru saja dia katakan.
Kali ini dia melipat tangannya dan memberiku tatapan merendahkan. "Bagaimanapun, bukankah kita harus berbicara tentang kamu juga? Kenapa sih kamu berbau seperti alfa? Sudah diputar-putar oleh para alfa ya? Kau pikir kamu satu-satunya yang pandai menilai orang?"
Sebuah perasaan terkejut menggenggamku dan aku segera mencium diriku sendiri. Memang, aku berbau seperti Kai. Panik menyelusup ke dalamku dan sebuah raut malu tertegun di wajahku, membuat Nick mencemooh dan menggelengkan kepalanya.
"Lihat, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Alfa ini dan aku, kami tidak– kami hanya minum k-kopi." Aku menyemburkan kata-kata itu tapi Nick hanya mendengus.
"Tentu saja." Dia membentak saat menghilang ke dapur tersebut, meninggalkan aku untuk merenungkan apa maksudnya berada dalam harem dan kenapa dia begitu kesal dan jelas terganggu oleh itu. Jika dia tidak ingin berada dalam harem, bukankah dia hanya perlu tidak berada di dalamnya? Mengapa dia marah kepada orang lain karena keputusannya sendiri?
Ketika dia kembali ke ruang duduk, aku tergoda untuk menanyakan semua pertanyaan yang berputar di pikiranku tetapi aku menepisnya karena aku tidak ingin pertengkaran lain dengan dia.
"Selamat malam." aku menyapa dia saat aku berjalan menuju kamar. Dia mendengarku dengan jelas tapi memilih untuk tidak merespon.
~~~
Aroma Kai masih melekat pada diriku secara kuat meskipun aku sudah berusaha keras untuk menggosokkan diriku atau menyiramkan parfum. Taylor langsung menciumnya dan mengangkat satu alis pada ku, yang membuat aku tergagap saat aku berusaha menjelaskan keadaannya padanya.
"Aku tahu tidak terjadi apa-apa, boo. Aku percaya denganmu, aku hanya bercanda karena kau tahu, kamu akan merona lucu begitu." katanya.
Kami berangkat ke sekolah bersama dan sekali di sekolah, aku merasa sadar diri karena aroma yang aku bawa, yang membuatku menuju ke kamar kecil.
Di dalam sana kosong, hanya ada seseorang yang sedang mencuci tangannya di wastafel.
Bau cendana terbakar dan bahaya yang akrab tercium di hidungku dan aku langsung menegang. Jantungku langsung berdegup kencang begitu menyadari bahwa itu adalah Blaze.
Oh sial.
Tangan ku berkeringat dan aku merasakan lututku lemas. Dia masih mencuci tangan dan belum menatapku, tapi aku tahu dia sadar keberadaanku.
Aku langsung mundur, tangan gemetar bertumpu pada kenop pintu untuk membukanya dan melarikan diri, tapi rasa nafas hangat yang meniup leherku membuat suara ketakutan membangun di tenggorokanku.