"Jarang sekali aku melihat koki yang ceroboh, jadi aku suka melihatnya." Justin membenarkan.
Dia mengatupkan giginya, cengkeraman tangannya di pisau semakin erat.
'Ceroboh? Aku tidak seburuk itu.' Dia menenangkan diri dan berkata, "Namun aku melihat kamu tetap melahap makanan yang dibuat dengan keahlian 'ceroboh' ini."
"Meski dengan keahlianmu, makanannya lezat. Aku bisa memakannya setiap hari."
Kemarahannya mereda mendengar kata-katanya, dan kerut di wajahnya pun perlahan menghilang. Namun dia tidak ingin mengakuinya. "Sangat menyebalkan."
Justin tersenyum dan melangkah ke dalam dapur. Dia berusaha mengabaikannya dan melanjutkan pekerjaannya, tetapi lalu dia menyadari bahwa Justin tengah berdiri di belakangnya, setiap sel tubuhnya sangat sadar akan keberadaannya.
