Pintu ruangan itu dibuka.
"Disini ternyata.." tanya Tari. "Yang lain duduk diluar, kamu kenapa disini?
"Tidak apa-apa."
"Kau memikirkan sesuatu?"
Ardi lama terdiam sebelum akhirnya memandang Tari.
"Kak.."
"Ya. Ada apa?"
"Trisya hamil.."
"Apa??"
***
Pagi itu...
"Ardi kemana?" tanya Tari.
"Ke bawah, kenapa kak?" tanya Andika.
"Handphonenya tinggal.. Ada yang menelpon."
"Siapa?"
"Trisya.. sudah 5x panggilan tak terjawab ternyata. Ada apa dia sampai menelpon berkali-kali?"
"Mungkin ada masalah."
"Trisya hamil, Kak.." ucapan Ardi tadi malam melintas di kepala Tari.
"Dia menelpon lagi.." ucap Tari.
"Bantu angkat saja, Kak.. mungkin penting."
"Kau saksinya ya? Nanti aku dibilang kepo."
"Iya.."
"Mungkinkah Trisya menuntut pertanggungjawaban Ardi?" batin Tari. "Ah, biar mereka yang menyelesaikan.."
Tari mengangkat telpon.
"Ha...."
"Bang Ardi! Lama sekali mengangkat telpon! Aku di parkiran! kau bisa kesini?" bentak Trisya.
"Ardi tidak ada, Trisya.." jawab Tari.
"Siapa ini..??"
"Nah itu dia.. Sebentar," Tari memandang Ardi sambil mengulurkan handphone. "Trisya menelponmu berkali-kali. Aku terpaksa mengangkatnya takut dia dalam masalah."
"Oh, tidak apa-apa kak.." Ardi menerima telpon dari Trisya."Hallo.."
"Kau kemana, Bang?? Aku menelponmu berkali-kali!"
"Aku kerja, kenapa?"
"Aku di parkiran, kau bisa kesini?"
"Tidak bisa.."
"Jika kau tidak turun, nanti kau menyesal! Aku akan bilang di depan kalau kau lari setelah menghamiliku!"
"Kau sudah gila?"
"Aku bisa melakukan hal paling gila, bang! Kau tahu itu !!" Trisya menutup telponnya.
"Hai!"
"Ada apa?" tanya Tari.
"Perempuan itu kenapa? Mabuk di siang hari?" gerutu Ardi sambil berjalan keluar.
Bergegas ia menuju parkiran. Mencari dimana mobil Trisya terparkir.
Di lihatnya sekeliling sebelum masuk ke dalam mobil Trisya.
"Abang sudah makan siang?" tanya Trisya.
"Sebentar lagi, kenapa?"
"Kita makan siang, yuk.."
"Ada apa?"
"Ayolah, bang.. Sebentar saja. Ini kan juga jam istirahat."
"Aku izin dulu," Ardi meninggalkan Trisya.
Bertemu Bayu di depan tangga.
"Aku keluar makan siang dengan Trisya, tolong kasih tahu ke Dika ya.."
"Ok, bang.." Bayu menaiki tangga.
Ardi berjalan menuju parkiran.
"Kemana, bang Ardi?" tanya seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.
"Eh, Dela.." sapa Ardi. "Mau makan siang.. sendirian?"
"Dengan bang Taufan, tuh dia.." tunjuk Dela pada Taufan yang keluar dari dalam mobil. "Aku tidak diajak, bang?"
"Ardi.." sapa Taufan. "Mau kemana?"
"Bang Ardi!" panggil Trisya sambil turun dari mobilnya. "Lama sekali! Aku sudah lapar."
"Yuk.." pamit Ardi sambil menghampiri Trisya.
"Abang saja yang bawa mobil," Trisya masuk ke mobil.
"Itu siapa, bang?" tanya Dela. "Pacar bang Ardi?"
"Anak sulung pak Richard. Tidak tahu juga mereka pacaran atau tidak. Sering terlihat pergi berdua."
"Wah.. berat sainganku, bang.. Kalau anak pak Richard," Dela tertawa.
"Ada apa?" tanya Ardi setelah di perjalanan.
"Tidak ada.. Hanya sedang tak ingin makan sendiri."
"Kenapa tidak mengajak papamu?"
"Dia sibuk.."
"O iya, tadi keluar.." ucap Ardi. "Kamu tidak jadi study ke inggris?"
"Bulan depan jika tidak ada halangan.."
"Oh.."
"Bang.. Jika aku gugurkan saja anak ini, bagaimana?"
Ardi menghentikan mobil.
"Kenapa?"
"Sudah tidak aku inginkan lagi."
"Sudah berbuat dosa, jangan menambah dosa lagi."
"Tapi kasihan dia.. Punya ayah tapi tidak bisa memanggilnya papa di depan umum, pastinya harus memanggil kakek.."
"Yaa.. itukan sudah resiko."
"Masa dia harus mengulang kisah mamaku dengan versi yang berbeda".
"Salah siapa?"
"Ah kau ini,bang.. Tidak enak jadi teman curhat."
"Curhat itu ke Tuhan, bukan ke manusia."
"Kau ini sombong sekali!" gerutu Trisya sambil membuka pintu.
"Mau kemana?"
"Mencari udara segar," Trisya turun. "Nanti jemput aku disini ya.."
Trisya melambaikan tangan.
"Perempuan ini memang tak bisa ditebak!" Ardi segera turun.
"Trisya!" panggil Ardi.
Melihat Trisya yang berjalan di trotoar.
"Bang, jangan parkir sembarangan.." tegur seorang petugas kebersihan.
"Sebentar.."
"Kenapa, Bang? Pacarmu ngambek?"
"Iya.." jawab Ardi. "Trisya!"
Trisya terus berjalan.
"KITA MENIKAH SAJA." teriak Ardi.
Dan Trisya masih tertawa hingga saat mobilnya dihentikan Ardi di parkiran kampus.
"Sepertinya kamu bahagia sekali memenangkan permainanmu," ucap Ardi.
"Tentu saja. Aku menang banyak hari ini darimu. Bisa membuatmu berteriak kencang di tengah jalan, mengajakku menikah di depan banyak orang.."
"Asal jangan kamu ulangi di depan kantor."
Trisya tertawa.
"Cepatlah turun. Ambil barangmu yang katamu tertinggal di kampus. Aku harus kembali ke kantor. Kau membuang waktuku dengan ulahmu di jalan raya, lalu berlama-lama di tempat makan. Dan sekarang bilang kalau ada barang yang tertinggal di kampus!"
Trisya segera turun dan berjalan menghampiri Ardi.
"Aku lupa bilang, bang.. Aku ada kelas siang ini."
"Hah? Kamu jangan aneh-aneh. Tidak mungkin aku menunggumu sampai selesai mengajar!"
"Siapa yang minta kau menunggu, bang? Bawa saja mobil ke kantor, nanti biar bang Razak yang mengantarkan mobil ke rumah".
"Lalu kamu pulangnya?" tanya Ardi.
"Abang dong yang menjemputku.." Trisya menjulurkan lidahnya.
"Jangan menjulurkan lidah seperti itu."
"Kenapa?"
"Kau tidak tahu artinya jika wanita seperti itu?"
"Tidak mau tahu. Ok, aku tunggu ya? Aku pulang jam 5 sore".
Ardi tak menjawab. Segera meninggalkan tempat itu.
Trisya tersenyum.
"Lihat saja, kau pasti menjemputku," ucap Trisya. "Kau tidak pernah tahu, tidak ada yang bisa menolak keinginanku."
***
Sudah jam 7 malam...
"Bu Trisya baru pulang?" tanya Sekuriti bernama Toni.
"Tidak lihat jam, ternyata sudah sepi."
"Ibu dijemput?"
"Mungkin tidak.. Aku pesan taxi saja."
"Sudah pesan, bu?"
"Belum."
Ia mencari nama Ardi.
"Berani sekali dia tidak menjemputku?" bathin Trisya.
"Hallo.." suara Ardi.
"Ini sudah jam 7 malam, kau tidak menjemputku?"
"Loh, aku kan tidak berjanji?"
"Ya sudah, jemput aku!"
"Bicaralah yang sopan! Jangan kamu kira karena ayahmu adalah boss ku, kamu bisa sesukamu!"
"Kau?!"
"Aku tugas! Tidak tahu selesai jam berapa!" Ardi menutup telponnya.
"Dia berani sekali memutuskan pembicaraan?"
"Ibu mau pesan taxi atau menunggu jemputan?"
"Tunggu jemputan saja.. Saya tunggu di ruangan."
"Di sini saja, bu.. Di ruangan sudah sunyi."
Trisya duduk di bangku.
"Ibu sudah makan?"
"Kamu?"
"Menunggu jamil membeli nasi. ibu mau? Biar saya kasih tau Jamil."
"Tidak usah.."
"Bulan depan ibu katanya mau study ke Inggris."
"Iya, mudah-mudahan.." Trisya membuka laptopnya.
"Bapak nggak jemput ibu?"
"Papa sedang sibuk."
"Mbak Lisha?"
"Mbak lisha mengantar ibunya ke dokter.."
"Mas Robby sudah lama tidak kelihatan."
"Kami sudah putus."
"Loh?"
"Papa tidak setuju aku pacaran dengan Robby.
"Oh.."
Trisya tak bicara lagi. Ia melanjutkan pekerjaannya.
"Sudah jam 10 malam bu, apa mau saya antar pulang saja?" tanya Jamil.
Trisya melihat jam dinding.
"Kurang ajar, dia benar-benar tak menjemputku?" Trisya membathin.
"Itu ada mobil, apa menjemput ibu?" tanya Toni.
Trisya melihat ke arah yang ditunjuk Toni.
Ia tersenyum saat menyadari bahwa itu adalah mobil Ardi.
Mobil itu berhenti. Ardi menurunkan kaca.
"Cepatlah!"
"Kupikir abang lupa," Trisya segera mengemasi barang-barangnya ke dalam tas.
"Trisya Monica!"
"Sabar, bang! Abang juga kenapa tidak bilang mau menjemput? Jadi aku bisa siap-siap."
"Pacar baru ibu? Galak sekali.." Jamil membantu Trisya berkemas.
"Terimakasih.." Trisya segera masuk ke dalam mobil. "Yuk, aku pulang. Terimaokasih sudah menemaniku menunggu."
"Hati-hati bu.. Pak."
Ardi mengemudikan mobil meninggalkan tempat itu.
"Kenapa menjemputku jika marah?" tanya Trisya.
"Kalau tidak kujemput apa kamu pulang?"
"Tidak."
"Kamu sungguh keras kepala!" ucap Ardi.
"Sudah berani bicara dengan nada keras padaku ya?"
"Kenapa? Kamu mau mengadu pada pak Richard?"
"Kau.." Trisya tak melanjutkan ucapannya.
"Kamu belum makan kan?"
"Tidak lapar!"
"Anakmu butuh makan."
"Papa kemana?"
"Di rumahnya lah!"
"Dia sekarang sudah jarang melihatku. Mungkin karena aku hamil, sudah tidak dia butuhkan lagi. Aku ini kan cuma alat pemuas buat dia! Aku saja yang bodoh percaya kalau dia mencintaiku."
"Bapak sibuk..Belakangan ini kami punya banyak PR yang harus diselesaikan."
"Makan di depan itu saja," kata Trisya.
"Katanya tidak lapar?"
"Katamu, anakku butuh makan!"
Ardi langsung menghentikan mobil di parkiran tempat makan yang ditunjuk Trisya.
"Astaga! Kau mau membunuhku, bang? Berhenti mendadak begini?"
Ardi tak menjawab segera turun dari mobil.
"Tidak sopan sekali!" gerutu Trisya.
"Kamu sendiri apa sopan?" tanya Ardi.
Trisya keluar dari mobil.
"Cepatlah!" Ardi menarik lengan Trisya.
"Pantas saja kau tidak punya pacar! Kau tak pandai bersikap manis pada wanita!"
"Jika wanitanya banyak ulah sepertimu, lama-lama juga orang tak bisa lagi bersikap ramah."
Trisya menghentikan langkahnya.
"Aduh ada apa lagi?"
"Aku mual, bang.."
"Kamu sakit?"
Trisya menggeleng, ia melepaskan pegangan tangan Ardi, berlari menuju kamar mandi.
"Trisya!" panggil Ardi.
Ia bermaksud menyusul ketika seseorang memanggilnya.
"Bang Ardi.."
Ardi menoleh.
"Dela? Dengan siapa?"
"Mora, Riska, Indra, bang Dion.. Merayakan ultah bang Taufan. Gabung yuk bang.."
"Kalian saja.. Aku ada teman," tolak Ardi. "Yuk.."
Ardi menyusul Trisya. Terlihat Perempuan itu berdiri di depan wastafel. Seorang cleaning servis wanita dibelakangnya memijat pundak Trisya.
"Kenapa?" tanya Ardi.
"Kakak ini sedang hamil sepertinya, bang.." jawab Cleaning servis itu.
"Trisya..?"
"Tidak apa-apa, bang.. Sudah enakan," kata Trisya. "Terimakasih ya?"
"Iya.. Hati-hati kak. Jangan pakai sepatu tinggi lagi. Tadi hampir jatuh."
Ardi merengkuh pinggang Trisya agar bertumpu padanya.
"Ini sepatu kakak.. Kakak biar pakai sendal saya saja, nggak papa ya kak?"
"Terimakasih ya.." kata Ardi.
"Kita pulang saja, bang.. Kakiku sakit. Mungkin keseleo. Kalau di rumah bisa dipijit ibu Lisha."
"Bisa jalan?"
"Bisa.."
"Aku gendong saja.."
"Tidak usah.." Trisya menggandeng tangan Ardi.
"Itu Ardi kan?" tanya Taufan.
Dela melihat.
"Iya, tadi kuajak bergabung tidak mau.Katanya dengan teman. Ternyata dengan gadis itu. Putrinya pak Richard kata abang kan?"
"Ya.."
"Tadi aku lihat perempuan itu waktu ke toilet. Dia muntah-muntah hampir terjatuh karena terpeleset. kata mbak yang nolongin, sepertinya lagi hamil muda," cerita Mora.
"Serius?" tanya Taufan.
"Serius, bang.."
Indra tertawa.
"Keren,menghamili anak komandan.."
"Keren apanya? Ketahuan, azab dia."
***
Mobil Ardi berhenti di halaman rumah Trisya.
Ia memandang Trisya yang tertidur disebelahnya.
"Trisya, sudah sampai.." Ardi membangunkan.
"Sebentar lagi, bang.."
Ardi turun saat melihat Kalisha keluar dan menghampiri.
"Tidur.." kata Ardi.
"Capek mungkin, bang.."
"Aku gendong saja.. Kakinya keseleo."
"O iya.."
"Sepatu dan barang-barangnya, Sha.."
"Biar aku kemasi.. Abang antar kakak ke kamar depan saja.."
"Ok.."
Kalisha segera mengeluarkan barang-barang Trisya dari mobil itu.
Ardi membaringkan tubuh Trisya di tempat tidur.
"Aku tidak mau pergi, bang.." ucap Trisya. "Tidak ingin meninggalkan orang yang aku cintai.."
Ardi memandang Trisya
"Siapa?"
Trisya bangkit.
"Tidak ingin kuungkapkan. Pastinya akan membuatmu pusing.."
Ardi hanya tersenyum.
"Tapi kalau disini nanti membuat orang heran dan pasti ghibah soal kehamilanku. Siapa ayahnya."
"Itukan yang kamu mau? Harusnya berpikir saat melakukan sesuatu"
"Bang.. ucapanmu di jalanan tadi serius?" tanya Trisya.