Chapter 12 - bab 11

Hari sudah sore, dan Aslan baru saja sampai di hutan tempat mereka biasanya mencari herbal. Suasana disana tidak seperti biasanya, hutan itu cukup sunyi, bahkan suara burung dan serangga tidak terdengar sama sekali. Namun aslan tidak memperdulikan suasana saat itu, dan bergegas pulang.

Aslanpun baru sampai ketika matahari sudah terbenam. Gubuk tempat mereka tinggal terlihat tidak memiliki pencahayaan sama sekali, namun terlihat lentera yang terbang dilangit dan ada cahaya yang terang dari arah timur, tempat desa berada.

"Untunglah perayaan masih belum berakhir, aku akan pergi besok, jadi aku ingin meninggalkan kenangan yang indah sebelum pergi" ucap aslan lalu berjalan menuju desa.

Sesampainya di desa, senyuman aslanpun menghilang saat melihat bahwa cahaya itu bukan berasal dari lentera yang indah, melainkan berasal dari sebuah api yang berkobar begitu besar membakar sebuah rumah dan ada pula Beberapa rumah yang hancur.

"Apa yang terjadi?" Ucap Aslan, berjalan memasuki desa. Semakin dalam dia masuk, wajahnya pun semakin pucat.

Tanah yang dia pijak dipenuhi genangan darah dan Ada banyak mayat yang tergeletak di tanah. Ada yang perutnya sobek, kepalanya terpisah dari tubuhnya, bahkan ada yang sudah tidak berbentuk lagi. Seketika diapun teringat pada Amanda dan Ishak.

Aslanpun berlari sambil berteriak memanggil nama Amanda dan Ishak, berharap ada sebuah sahutan yang terdengar.

Beberapa menit kemudian Aslanpun melihat seorang wanita, memakai gaun hitam, terduduk di tanah.

"Amanda! Syukurlah kau baik-baik saja. Apa yang terjadi, dimana Ishak?"

"Galang, Ishak, Ishak… Ishak sudah…" Amanda menangkis.

"ada apa dengan is…" seketika aslanpun mematung saat melihat tubuh Ishak yang sudah tidak bernyawa. Kepala Ishak berada dipangkuan Amanda, sedangkan Amanda hanya mengusap wajah adiknya sambil terus meneteskan air mata.

Aslan tidak tau harus berbuat apa. Aslan tidak mampu membayangkan sebesar apa kesedihan yang Amanda rasakan saat ini. Orang tua Amanda sudah tiada sejak kecil, dan diapun terpaksa bekerja untuk menghidupi adik kecilnya, namun sekarang adik kecilnya itu sudah tiada. Cahaya yang membuatnya bertahan selama ini telah padam.

Kesedihan mereka belum selesai namun suasanapun menjadi menegangkan. Seekor monster pun terlihat dari kejauhan. Tubuh monster itu dipenuhi oleh darah.

"Ayo kita pergi, monster itu akan segera datang" ucap Aslan pada Amanda, namun Amanda tidak bergeming.

"Apa yang kau pikirkan, kita harus pergi dari sini"

"Tinggalkan saja aku, kau pergilah sendiri. Aku sudah tidak punya tujuan hidup lagi"

Monster itupun bergerak dengan cepat menghampiri mereka.

"Sial"

"Aslan, kumohon… lari saja...," lirih Amanda dengan suara patah, matanya yang kosong masih terpaku pada wajah adiknya.

"Tidak mungkin!" Aslan menggertakkan giginya, lalu tanpa ragu dia menghunus pedangnya. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Amanda. Kita harus hidup... untuk Ishak!"

Monster itu mendesis, mendekat lebih cepat, darah segar masih menetes dari cakar-cakarnya yang tajam. Dengan satu hentakan, Aslan bergerak maju, mencoba menyerang monster itu terlebih dahulu. Pedangnya mengayun, tetapi monster itu menghindar dengan lincah, berbalik dan mencambuk perut Aslan dengan ekor yang seperti ular. Aslan terpelanting ke belakang, menabrak reruntuhan rumah yang hancur, dadanya terasa sesak dan napasnya terengah.

"Bangun, Aslan! Jangan menyerah sekarang!" dia memotivasi dirinya sendiri, berusaha berdiri dengan goyah.

Di saat yang sama, monster itu menyerang lagi, kali ini langsung ke arah Amanda. Panik, Aslan bangkit dan menebas tepat ke arah cakar monster yang terjulur. Terdengar suara dentang logam ketika pedangnya berbenturan dengan kuku tajam makhluk itu. Namun karena monster itu berlalu kuat Aslan hanya bisa mengubah sedikit mengubah jalur serangan monster itu. Aslanpun terpental namun setidaknya Amanda tidak terluka.

"Amanda, kumohon! Sadarlah!" Aslan berteriak, darah mengalir dari bibirnya yang pecah. Tapi Amanda hanya menggigit bibirnya sendiri, tetap tidak bergerak, tenggelam dalam duka yang begitu dalam.

Aslan menyerbu maju lagi, kali ini dengan tekad yang lebih besar. Setiap ayunan pedangnya dipenuhi oleh keputusasaan, kemarahan, dan keinginannya untuk menyelamatkan Amanda. Pedang itu menggores lengan monster, membuat darahnya mengalir, tetapi luka itu tidak cukup dalam untuk menghentikan langkah makhluk buas tersebut.

"Amanda... aku tidak akan menyerah. Kau tidak boleh menyerah," teriak Aslan dengan suara serak, darah masih menetes dari luka di bahunya.

Aslan dan monster itu terus bertarung sengit. Setiap serangan yang dilancarkan Aslan berusaha dihalau oleh monster tersebut dengan gerakan gesit yang sulit diprediksi. Tubuh Aslan penuh dengan luka, darah mengalir dari beberapa bagian tubuhnya, tapi tekadnya tak goyah. Setiap ayunan pedang, setiap tebasan yang dilancarkan, adalah upaya untuk menyelamatkan Amanda dan membalaskan kematian Ishak.

Namun, di balik keteguhan hatinya, Aslan tahu dia semakin melemah. Napasnya tersengal, lengannya gemetar saat pedangnya mulai terasa semakin berat..

"Amanda! Kumohon, bangunlah! Jangan menyerah!" teriak Aslan di sela-sela serangannya. Suaranya penuh putus asa, berusaha menyadarkan Amanda yang seakan hilang dalam kehampaan.

Monster itu meraung, menyerang dengan cakar miliknya, membuat Aslan terpaksa mundur. Dia hampir kehilangan keseimbangan, tapi tetap berdiri, menahan serangan demi serangan meskipun tubuhnya sudah di ambang batas.

"Amanda! Aku membutuhkanmu! Kumohon, bangun!" teriak Aslan sekali lagi, pedangnya bergetar saat dia menangkis serangan yang membuat lengannya hampir patah.

Mendengar panggilan itu, mata Amanda berkedip. Dia menoleh perlahan ke arah Aslan, air mata mulai mengalir di wajahnya. Perlahan, kesadarannya kembali, tetapi tepat pada saat itu, monster tersebut melihat kesempatan. Dengan gerakan cepat, monster itu melompat ke arah Aslan, cakar-cakarnya terangkat tinggi, siap menghantam kepala Aslan yang sudah tidak memiliki cukup kekuatan untuk menghindar.

Aslan yang terpojok, kelelahan, hanya bisa menatap dengan mata yang melebar. Segalanya seakan berjalan dalam lambat, tubuhnya tidak bisa bergerak secepat yang dia inginkan. Dalam hatinya, dia tahu bahwa serangan ini adalah akhir baginya.

Namun, saat itu juga, sesuatu yang tak terduga terjadi. Amanda melompat ke depan, menghalangi serangan yang mematikan itu dengan tubuhnya sendiri.

"Amanda! Tidak!" Aslan berteriak, namun sudah terlambat. Cakar tajam monster itu menembus punggung Amanda, mengalirkan darah yang memuncrat deras ke wajah Aslan. Tubuh Amanda terhuyung, tapi dia tetap berdiri tegak di hadapan Aslan, melindunginya dari serangan yang mematikan itu.

Wajah Amanda pucat, napasnya tersengal, tapi dia tersenyum lemah pada Aslan. "Maafkan aku… Aku tak bisa melindungi Ishak, tapi aku juga memberatkanmu" ucap Amanda, suaranya hampir tak terdengar.

Amanda jatuh ke tanah, tubuhnya lemas, dan Aslan segera menangkapnya. Dengan air mata yang mengalir deras, Aslan memeluk Amanda yang tubuhnya mulai dingin.

Entah mengapa, seperti sebelumnya (saat kematian ishak) monster itu tidak menyerang mereka dan hanya memandanginya seakan itu adalah hiburan yang begitu indah.

"Kau… kau bodoh! Kenapa kau lakukan ini?! Kenapa kau harus melindungiku!" Aslan menangis, memeluk Amanda yang sudah terengah-engah.

Amanda, dengan mata yang semakin redup, mengusap wajah Aslan dengan lembut. "Karena... aku tidak mau kehilanganmu juga… kau harus... hidup, Aslan… Untukku... untuk Ishak… Jangan sia-siakan hidupmu…"

Aslan menggeleng keras, air matanya terus mengalir. "Tidak! Kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh meninggalkanku!"

"Aku... aku bahagia... bisa melindungimu... aku tahu, kau... kau akan bertahan," ucap Amanda, tersenyum lembut meskipun darah mengalir dari mulutnya. Perlahan, napasnya semakin lemah hingga akhirnya berhenti sepenuhnya.

Tubuh Amanda terkulai dalam pelukan Aslan, senyumnya masih menghiasi wajahnya yang kini damai dalam kematian. Aslan tidak bisa berkata apa-apa lagi, suaranya tercekat, hatinya hancur berkeping-keping.

Flashback ke bab 2.

" Aku tidak tahu secara spesifik. Kau tau, aku ini mempelajari sihir. Tapi dari yang kudengar, cara pertama membutuhkan sebuah pemicu di awal"

Bersambung…