Chapter 13 - bab12

"Aku... aku bahagia... bisa melindungimu... aku tahu, kau... kau akan bertahan. Tetaplah hidup demi aku dan Ishak," ucap Amanda dengan senyum lembut, meskipun darah mengalir dari mulutnya. Napasnya melemah perlahan, hingga akhirnya terhenti sepenuhnya.

Tubuh Amanda terkulai di pelukan Aslan, senyumnya masih menghiasi wajahnya yang kini damai dalam kematian. Aslan terdiam, suaranya tercekat, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Kenangan-kenangan indah yang mereka lalui muncul di pikirannya, kenangan yang tak akan pernah terulang kembali. Kesedihan yang memenuhi dadanya segera berubah menjadi amarah yang membara. Satu-satunya keinginannya kini adalah membinasakan monster yang ada di depannya.

"Argh… haaah!" teriak Aslan, mengerahkan kekuatan penuh dan mengeluarkan gelombang angin yang mampu membuat monster itu terdorong ke belakang.

Dengan perlahan, Aslan bangkit berdiri. Jari-jarinya gemetar saat menggenggam pedang. Aura tipis mulai menyelimuti dirinya. Energi Tors yang sudah dia kumpulkan sejak lama mengalir ke seluruh tubuhnya.

Monster itu bangkit, mendesis tajam sambil menatap Aslan yang kini tampak berbeda. Ia merayap mendekati Aslan dengan cepat, mengangkat cakar-cakar tajamnya, siap menghantam dengan kekuatan mematikan.

Namun Aslan tak lagi gentar. Ia mengayunkan pedangnya dengan seluruh kekuatannya. Dentuman keras terdengar saat serangan mereka bertabrakan, suara itu menggema di desa yang sunyi. Keduanya terdorong mundur, saling menatap dengan penuh kebencian.

"Kau akan menyesal karena tak membunuhku sejak awal," kata Aslan dengan nada dingin.

Monster itu mendesis marah, tubuhnya membesar hingga dua kali lipat. Kini tingginya mencapai enam meter. Dari mulutnya terdengar suara tawa cekikikan, seolah mengejek Aslan.

Namun Aslan tak gentar. Dengan tekad yang tak tergoyahkan, ia mencengkeram pedangnya lebih erat, bersiap menghadapi makhluk raksasa di depannya.

Monster itu menyerang terlebih dahulu, mengayunkan cakarnya yang kini seukuran tubuh manusia, tepat ke arah kepala Aslan. Aslan menghindar ke samping dengan cepat, namun ekor panjang monster itu menyambuknya, melemparkan Aslan hingga menghantam rumah di belakangnya, merobohkannya dalam sekali serang.

Aslan hampir kehilangan kesadaran, namun kenangan akan Amanda dan Ishak memberinya kekuatan untuk bertahan. Dengan susah payah, ia berdiri kembali, meskipun tubuhnya penuh luka.

Monster itu bergerak lagi ke arahnya, namun kini lebih lambat akibat tubuhnya yang besar. Aslan mengambil ancang-ancang dan menghindari serangannya dengan cekatan. Saat jarak mereka cukup dekat, Aslan menusukkan pedangnya ke perut monster itu, menimbulkan erangan kesakitan dari makhluk itu.

Monster tersebut mencengkeram tubuh Aslan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, mencoba meremukkannya. Namun, Aslan menendang pedang yang masih tertancap di perut monster, memperlebar luka tersebut. Monster itu meraung kesakitan, melemparkan Aslan ke tanah dengan brutal.

Aslan menyadari kelemahan monster tersebut. Monster itu, meskipun kekuatannya bertambah saat membesar, daya tahannya berkurang. Tubuhnya menjadi lebih lunak dan mudah terluka. Dengan cepat, Aslan meraih balok kayu yang cukup besar, menyalurkan energi Tors ke dalamnya, lalu berlari mendekati monster itu.

"Arghhhh!" teriak Aslan, menghantam monster itu sekuat tenaga. Pukulan itu membuat monster itu terhempas, sementara balok kayu yang digunakan Aslan patah. Kemudian, Aslan mengambil pedangnya yang terjatuh di dekat monster tersebut.

Monster itu masih menggeliat, dan dengan sisa kekuatannya, ia mencoba menyerang Aslan menggunakan ekornya. Namun Aslan menebas ekor itu hingga putus, membuat monster itu meraung dan menggeliat kesakitan.

"Hahaha! Rasanya sakit, bukan?! Bangunlah! Ini masih belum berakhir!" teriak Aslan, suaranya penuh kemarahan.

Namun tiba-tiba Aslan pun ikut jatuh ke tanah. Jantung dan seluruh tubuhnya terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum.

"Arghhhh!!!" Mengerang kesakitan.

Monster tadi yang melihat itu pun tertawa cekikikan meski dari mulut dan tubuhnya keluar begitu banyak darah. Dia mendekati Aslan dan ingin menyerangnya dengan kuku tajamnya, namun sekali lagi hal yang tidak disangka pun terjadi lagi. Sebuah batu melesat ke kepala monster itu hingga kepalanya hancur. Setelah itu, Aslan pun kehilangan kesadarannya.

***

Di pagi hari, Aslan pun terbangun. Dia terbangun di dekat api unggun.

"Kemana perginya monster itu?" ucap Aslan sambil melihat ke sekeliling. Tempatnya duduk saat ini sudah bersih rata dengan tanah, memang ada beberapa noda darah, tapi mayat parajurit penduduk sudah tidak ada lagi di sana.

Aslan pun melihat monster itu ada tepat di belakangnya. Ekor monster itu sudah terpisah karena ditebas oleh Aslan sebelumnya, namun monster itu mati bukan karena dibunuh oleh Aslan. Monster itu mati dengan bagian kepala yang hancur tak berbentuk.

"Siapa yang melakukan ini, juga siapa yang menyalakan api ini?" tanya Aslan dalam hati.

Kemudian, tanpa Aslan sadari, seorang pemuda sudah ada di dekatnya, menatapnya dengan tatapan kosong. Pemuda itu berkulit agak gelap, rambutnya hitam bergelombang dan acak-acakan.

"Kapan kau bangun?" tanya pria itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Aslan.

"Hmm? Begini, BLABLABLA..." pria itu pun bercerita tentang hal yang terjadi.

Kemarin malam dia kebetulan lewat jalan yang dekat dengan desa ini dan ingin menginap di sini. Namun, saat pemuda itu sampai, desanya sudah hancur. Dan dia pun mendengar suara pertarungan dan bergegas mendekati tempat Aslan dan monster itu bertarung.

Pemuda itu baru melihat Aslan tepat ketika Amanda tewas ditusuk oleh monster itu. Dia ingin segera membantu Aslan, namun dia menyadari kalau Aslan akan terpicu oleh kejadian itu. Pemuda itu pun memutuskan untuk hanya melihat saja dulu.

Namun, saat Aslan hampir mengalahkan monster itu, tubuhnya tidak dapat lagi menahan lonjakan energi Tors dalam tubuhnya. Jadi pemuda itu pun membunuh monster itu, dan menenangkan lonjakan energi Tors dalam tubuh Aslan.

"Untung saja kau punya kalung harakka, jadi kau tidak akan mati"

"Kalung harakka?" Tanya Aslan.

"Apa kau tidak tahu? Itu kalung yang kau pakai. Saudaraku juga punya satu. Guruku bilang kalau kalung ini hanya ada 17 buah di seluruh benua." ucap pemuda itu.

"Emangnya apa kegunaannya?" Tanya Aslan.

"kalung itu dapat melindungi pemiliknya, namun kalung itu hanya aktif saat pemiliknya menerima serangan mematikan. kalung itu akan menyerap energi Tors ketika tidak aktif, dan daya tahannya tergantung berapa banyak kalung itu telah menyerap energi tors."

"Saat seorang mendapatkan motivasi atau pemicu, maka lonjakan energi akan terjadi, namun sering kali tubuhnya tidak dapat menahannya. Saat itu kau bisa saja mati, hanya saja kalung itu secara otomatis aktif untuk memperkuat tubuhmu secara sementara, namun kalung itu kekurangan energi sehingga tidak dapat bertahan lama, hal itulah yang membuatmu terlambat merasakan dampaknya." Ucap pemuda itu menjelaskan.

" Oh iya, Aku mengubur para penduduk di kaki gunung. Untuk gadis itu, aku misahkannya dan memberinya tanda khusus. Ada juga seorang anak yang mirip dengan gadis itu, jadi aku mengubur mereka bersampingan," ucap pemuda itu lagi.

Aslan yang mendengar itu pun kembali menjadi sedih, kenangan mereka muncul di pikiran Aslan.

"Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati?!" ujar Aslan.

"Hmm?"

"Kenapa tidak kau biarkan aku mati saja?! Lebih baik aku mati saja, Jika aku hidup, aku hanya akan menderita di dalam bayang-bayang penyesalan," ujar Aslan.

"Karena gadis itu ingin kau hidup," ucap pemuda itu.

"Dia sudah mengorbankan dirinya sendiri untukmu, jadi aku tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanannya," lanjut pemuda itu, dan Aslan yang mendengar itu pun terdiam. Namun tiba-tiba pemuda itu melemparkan pedang milik Aslan ke hadapannya.

"Tapi… aku tidak berhak untuk melarang keinginanmu. Entah kau akan membunuh dirimu sendiri, atau terus hidup demi gadis itu, itu bukanlah urusanku," ucap pemuda itu, berdiri dan berjalan pergi dari sana.

"Ngomong-ngomong, aku sudah mengambil inti monster itu. Dan dari yang aku lihat, ada sebuah simbol di belakang leher monster itu yang menandakan monster itu adalah binatang peliharaan seorang bangsawan. Sekali lagi, entah kau ingin mati atau terus hidup, pilihlah. Aku akan pergi, semoga Tuhan menyertaimu."

Bersambung…