my destiny: Looking for peace volume 1

Sapta_Sigalingging
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - prolog

Seorang anak sedang berlari bersama seekor anak kuda, dengan tubuh yang kotor dan senyuman di wajahnya. Ia hendak pulang ke rumah.

Saat dia hampir sampai, dia melihat ada beberapa orang di depan rumahnya. Ada seorang petani yang merupakan pamannya, seorang pria tua yang merupakan kepala desa, lalu seorang kesatria yang membawa pedang di punggungnya, dan seorang wanita yang membawa buku serta tongkat kecil. Sang paman terlihat marah, sedangkan kepala desa tampak gugup dan takut, seakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Tenangkan dirimu, apa kau ingin semua orang di desa ini dalam bahaya?" ucap kepala desa kepada paman si anak.

"Diam! Jadi inilah yang kalian sembunyikan dariku!" ucap sang paman, menarik kerah kepala desa.

"Paman! Kenapa kau marah pada kakek?" tanya si anak yang baru tiba sambil memeluk kaki pamannya.

"Paman? Jadi dialah anak itu," ucap sang kesatria, mencoba meraih si anak, namun tangannya segera dicengkeram sang paman.

"Siapa yang mengizinkanmu untuk menyentuhnya?" tanya sang paman dengan sorot mata tajam, menatap sang kesatria.

"Apa kau ingin menjadi musuh kekaisaran?" ucap wanita yang membawa tongkat.

"Bahkan jika kai..."

"Apa kau ingin kami semua mati? Mengapa tidak kau biarkan saja? Lagipula dia bukanlah..." ucap kepala desa, namun dipotong lagi oleh paman si anak.

"Omong kosong!" teriak sang paman pada kepala desa.

"Huaa..." sang anak pun menangis dengan keras. Dia tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi yang pasti dia tahu bahwa sekarang sedang terjadi masalah. Hal itu membuat sang paman yang melihat anak itu menangis pun terdiam.

Si kesatria yang melihat hal itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

"Tak ada hal baik jika kau terus melawan. Yang terjadi akan menjadi lebih buruk. Biarlah kami membawanya."

Si paman mencoba menahan emosinya. Setelah itu, dia pun mengelus dan menenangkan si anak. Dia menatap anak itu setelah berhenti menangis, nampak dari matanya sedikit kemarahan dan kesedihan yang mendalam.

"Mereka adalah orang-orang yang dikirim ayahmu untuk menjemputmu."

Si anak pun terkejut. Dia menatap kedua orang yang menjemputnya itu. Sejak kecil, dia hidup bersama pamannya. Ibunya sudah lama meninggal saat dia berumur 2,5 tahun, dan dia tidak mengetahui siapa ayahnya. Dia sudah mencoba untuk bertanya pada sang paman, namun pamannya tidak tahu, sedangkan penduduk desa selalu mengelak saat ditanya. Namun sekarang, seseorang datang mengaku sebagai utusan ayahnya untuk menjemputnya.

"Apa paman juga akan ikut?" tanya si anak.

"Tidak, hanya kamu yang akan pergi bersama kami," ucap si kesatria menyela.

"Kenapa? Kalau paman tidak ikut, maka aku juga tidak mau."

Si paman yang melihat hal itu pun menjadi sedih. Dia juga tak ingin berpisah dengan anak itu, tapi dia tidak bisa terus bersamanya.

"Kamu harus pergi. Ayahmu sudah menunggumu. Lagi pula, paman akan sibuk dan tidak punya waktu untukmu."

"Tapi aku akan merindukan paman," ucap anak itu, lalu menangis.

"Kalau begitu, bawa saja temanmu itu, anak kuda, agar tidak kesepian. Ketika kamu merindukan paman, anggap saja dia adalah paman," ucap si paman menenangkan, namun anak itu masih saja menangis.

"Jangan menangis, malu kalau jadi anak yang cengeng. Laki-laki itu harus kuat. Hmm... pakailah kalung ini, ini akan melindungimu, dan ingatlah bahwa paman akan selalu ada untukmu dan akan selalu berharap agar engkau aman dan bahagia," ucap paman sambil memakaikan sebuah kalung pada anak itu.

"Baiklah, paman. Aku akan menjadi laki-laki yang kuat," ucap anak itu setelah mengusap air matanya.

"Ayo kita pergi. Terima kasih atas keringanannya," ucap prajurit itu. Dia memasukkan anak itu ke kereta kuda, lalu mereka pergi dari sana.

"Semoga kau bahagia. Paman akan merindukanmu," ucap si paman, melihat mereka semakin jauh.

***

Saat sudah keluar dari desa, prajurit dan wanita itu pun saling berbisik.

"Ada apa denganmu? Biasanya kau tidak akan bersikap lembut pada orang yang membentakmu, apalagi dia hanya rakyat jelata."

"Aku sangat kesal dengan pria tadi. Bisa-bisanya dia bersikap angkuh di depan kita. Bagaimana jika kuhancurkan saja desa ini sebelum kita pergi?" ucap si wanita.

"Jika kau tidak ingin mati, maka diamlah."

"Apa kau mengkhawatirkan anak itu? Aku tak menyangka kau akan peduli padanya."

"Aku sudah memperingatkanmu," ucap kesatria itu dengan tatapan tajam.

"Apa kau ingin melawanku? Kuperingatkan kau, kita sedang menjalankan tugas yang diberikan langsung oleh kaisar. Tidak mungkin kau akan begitu nekat untuk menyerangku. Kau sendiri tahu itu tidak akan berakhir dengan baik. Aku mungkin lebih lemah darimu, tapi membunuhku tak akan mudah."

"Sepertinya kau salah pengertian. Bukan aku yang akan membunuhmu."

"Omong kosong! Jika bukan kau, terus siapa..." Wanita itu terdiam setelah menyadari tangan si kesatria sedang gemetar.

"Pria tadi bukanlah orang biasa. Saat aku hendak menyentuh anak itu, pria itu langsung mencengkeram tanganku dengan kuat. Bahkan aku masih merasakan sakitnya sampai sekarang. Tatapannya yang tajam dan aura yang dia pancarkan cukup menekanku dan membuatku gemetar. Terlebih lagi, hanya aku yang merasakan dampak tekanannya. Hal itu cukup membuktikan bahwa dia sudah berpengalaman. Bahkan jika kita berdua melawannya, aku masih yakin kita akan kalah. Jadi jangan membuatnya marah. Jika itu terjadi, aku tak punya pilihan selain membunuhmu untuk menenangkannya. Lebih baik aku pulang dengan penuh luka daripada mati di sini," ucap kesatria itu menjelaskan.

"Mustahil... Bahkan dari 18 kerajaan, orang yang mampu mengalahkanmu tidak lebih dari 500, dan kau bilang bahkan jika kita berdua bertarung, kita masih belum bisa mengalahkannya? Bagaimana mungkin orang sekuat itu tidak dikenal?"

(Catatan: Di dunia ini, setiap kerajaan memiliki raja dan setiap raja harus tunduk pada kaisar. Kaisar adalah ayah dari anak yang dibawa prajurit tadi.)

"Aku juga tidak mengerti."

"Lalu mengapa kita tidak mengajaknya saja? Jika dia ikut dan kita bisa meyakinkannya untuk tunduk pada kaisar, maka kita pasti mendapat hadiah. Kita bisa mengiming-iminginya dengan kemewahan. Bahkan jika dia tahu alasan sebenarnya kenapa keponakannya dibawa ke kekaisaran, dia pasti akan mengabaikannya jika diberi kemewahan. Mungkin sekarang tidak, tapi jika dia sudah merasakannya, tidak mungkin dia akan bisa lepas dari kenikmatan itu. Kalau pun perkiraanku salah, kaisar bisa membuangnya kapan saja," ucap wanita itu.

"Apa kau bodoh? Dia jelas tahu kalau kita dikirim oleh kaisar, namun meski begitu, dia tetap tak gentar. Aku yakin dia juga tahu bahwa dengan kekuatan yang dia miliki, dia bisa mendapatkan banyak penghargaan yang cukup untuk membuatnya diangkat sebagai bangsawan."

"Cukup bicaranya. Kita sudah sampai di ujung pulau. Segera buat portal teleportasi."

"Tidak bisakah kau berbicara dengan sedikit lebih lembut? Apa kau pikir sihir teleportasi itu gampang? Asal kau tahu saja, bahkan di seluruh kerajaan yang bisa menggunakan sihir teleportasi tidak lebih dari 100," ucap wanita itu, lalu membacakan mantra. Setelah itu, angin kencang dan cahaya terang muncul, lalu mereka pun menghilang dari sana.

Bersambung...