Kisah ini terjadi bertriliun tahun yang silam, pada masa lampau, di awal penciptaan eksistensi pertama yang nyata. Pada saat itu, segalanya hanyalah ketiadaan yang tidak memiliki wujud dalam bentuk apa pun; tidak ada ruang, waktu, atau kehampaan. Semuanya berada dalam keadaan nihil, atau dapat diibaratkan sebagai (0) nol.
Setelah melalui rentang waktu yang cukup lama, dari ketiadaan tersebut terdengar gema beberapa suara kecil yang samar, seperti "aku, aku, aku." Suara itu pun menghilang seiring berjalannya waktu.
Kemudian, suara itu kembali muncul untuk kedua kalinya, kali ini lebih jelas meskipun tetap dalam nada yang sangat lembut. Suara itu menyatakan, "aku adalah aku," dan tidak lama setelah itu, suara itu lenyap kembali.
Beberapa saat kemudian, suara itu muncul lagi untuk ketiga kalinya, dan untuk yang terakhir kalinya. Kali ini, suara itu menggema dengan jelas dan penuh, mengucapkan, "aku adalah aku, aku akan menjadi apa adanya," sambil mewujudkan segala eksistensi yang ada.
Suara itu bermanifestasi menjadi segala sesuatu, dan manifestasi pertama yang diciptakannya adalah cahaya yang sangat cemerlang, bahkan sulit untuk dikategorikan sebagai cahaya biasa, melampaui cahaya yang ada, atau bahkan mencapai tingkatan tertinggi dari cahaya.
Cahaya ini mengawali seluruh keberadaan setelah dirinya dan sang entitas suara. Ia berputar dengan kecepatan yang melampaui segala sesuatu yang dapat diukur. Cahaya itu mewujudkan semua eksistensi konstituen ruang dan waktu, serta segala eksistensi konstituen kehampaan.
Seiring berjalannya waktu, selama berjuta-juta tahun dalam kesunyian ruang kehampaan, cahaya itu akhirnya memperoleh kesadaran akan dirinya sendiri dan hak penuh atas segala sesuatu. Namun, ia masih terikat pada kehendak sang entitas suara dan tidak mengetahui keberadaan sang entitas suara, yang merupakan eksistensi awal dalam narasi ini, serta entitas suara yang mewujudkan seluruh realitas dari ketiadaan mutlak.
Di tengah ruang kehampaan, di mana tidak ada satu pun entitas yang ada kecuali ruang, waktu, dan kehampaan itu sendiri, cahaya yang baru saja memperoleh kesadaran merasakan kedalaman keterasingan dan kebosanan yang menyelimuti segala sesuatu di sekitarnya. Namun, ia terperangkap dalam keraguan yang membelenggu, tak mengetahui langkah apa yang seharusnya diambil untuk mengatasi kebosanan dan kesepian yang membebani dirinya.
Seiring berlalunya ribuan tahun dalam kehampaan yang sunyi, cahaya itu akhirnya mencapai suatu kesimpulan yang mendalam. Dalam lamunan yang panjang dan reflektif, ia merenungkan, "Bagaimana jika aku menciptakan suatu eksistensi yang belum pernah terbayangkan dan dipikirkan sebelumnya?" Untuk mengatasi rasa jenuh dan kesepian yang menyelubungi, langkah pertama yang diambil oleh cahaya tersebut adalah menyempitkan eksistensi konstituen ruang, waktu, dan kehampaan itu sendiri. Ia menghimpunnya ke dalam satu titik tunggal, memadatkannya dengan presisi, sembari menciptakan beragam materi yang diperlukan untuk kelahiran ciptaan baru.
Setelah melalui proses yang cukup panjang dan kompleks, eksistensi konstituen ruang, waktu, dan kehampaan tersebut semakin menyempit hingga mencapai batas absolut yang tidak bisa dilampaui, yang kemudian memicu sebuah ledakan luar biasa yang tak terbayangkan oleh pikiran mana pun. Ledakan itu melesat dengan kecepatan yang mencengangkan dan akan terus meluas seiring berjalannya waktu, menciptakan beragam bentuk keberadaan yang baru, serta terus melahirkan lebih banyak ciptaan tanpa henti.
Setelah terjadinya ledakan dahsyat itu, semua materi yang ada saling bertabrakan, menciptakan sesuatu secara berkesinambungan dan membentuk struktur dunia, mulai dari hiperverse, multiverse, universe, galaksi, hingga segala isinya.
Cahaya itu merasakan kebahagiaan yang mendalam dengan apa yang telah terjadi. Ia menyaksikan semua objek dan materi berinteraksi satu sama lain, menciptakan sesuatu secara berkelanjutan, yang menjadi hiburan baru baginya. Dengan penuh rasa ingin tahu yang membara, ia terus mengamati apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara itu, sang entitas suara hanya menyaksikan tindakan cahaya, meskipun ia telah mengetahui keseluruhan narasi. Dengan sikap yang acuh tak acuh, ia terus mengamati peristiwa yang berlangsung di hadapannya.
Tahun demi tahun berlalu, waktu terus berjalan tanpa jeda, dan segala hal silih berganti dalam keabadian yang tak terukur. Sang Cahaya tetap tekun mengamati dunia yang ia ciptakan dengan penuh harap, namun dunia itu hanya menampilkan pemandangan yang monoton—materi-materi yang saling berbenturan, produk dari ledakan primordial yang terus melesat tanpa henti. Materi-materi itu menciptakan entitas-entitas baru dalam proses yang berulang, namun tak pernah melahirkan sesuatu yang benar-benar signifikan dalam pandangannya.
Seiring berjalannya eon demi eon, Sang Cahaya, setelah menyaksikan siklus tak berujung ini selama jutaan tahun, mulai dihantui oleh rasa bosan yang mendalam, serta kesepian yang semakin menyayat. Ia merenung, mencoba mencari jalan untuk mengatasi kekosongan yang terus menggerogoti kesadarannya. Selama ini, ia hanya berusaha menanggulangi kebosanan, namun kesepian yang menjeratnya tidak pernah benar-benar ia hadapi. Pencerahan datang ketika ia menyadari bahwa di antara segala entitas yang ada, hanya ia yang memiliki kesadaran yang autentik—keberadaan sejati yang memahami dirinya sendiri.
Pada momen refleksi yang mendalam itu, Sang Cahaya akhirnya menarik sebuah kesimpulan: "Bagaimana jika aku menciptakan entitas yang tidak hanya ada, tetapi juga memiliki kesadaran seperti diriku?" Dengan pemahaman baru ini, ia memutuskan untuk melahirkan keberadaan yang memiliki kemampuan untuk merenungi eksistensinya sendiri.
Cahaya itu lalu memulai proses penciptaan yang jauh lebih kompleks daripada yang pernah ia lakukan sebelumnya. Dari esensi air, yang ia anggap sebagai sumber segala kehidupan, ia menciptakan bentuk kehidupan pertama yang memiliki kesadaran mandiri—LUCA (Last Universal Common Ancestor), nenek moyang yang akan menjadi asal mula hampir semua makhluk yang ada. Dengan kekuasaannya, ia menciptakan ribuan, bahkan jutaan LUCA, memenuhi seluruh penjuru dunia yang layak ditinggali oleh makhluk hidup. Masing-masing LUCA ini perlahan mengalami evolusi, membentuk ragam keberadaan yang lebih kompleks, seperti monera, protista, jamur, tumbuhan, dan hewan.
Dari seluruh entitas yang muncul melalui proses evolusi ini, hanya hewan yang mempertahankan kesadaran sejatinya. Monera, protista, jamur, dan tumbuhan, meskipun berkembang pesat dalam keragaman bentuk, perlahan kehilangan kesadaran mereka di tengah proses evolusi yang sangat rumit, akibat interaksi yang tak terhindarkan dari faktor-faktor eksternal yang terlalu beragam untuk dikendalikan.
Setelah menciptakan entitas-entitas ini, Sang Cahaya merasakan kebahagiaan yang sejati. Ia tak lagi dirundung oleh kebosanan maupun kesepian, sebab dunia yang ia ciptakan kini dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang berevolusi dalam cara-cara yang menakjubkan. Cahaya itu memandang dengan rasa kagum ketika melihat evolusi berlangsung. Ia mencoba menjalin hubungan dengan makhluk-makhluk ini, meskipun bahasa dan pemahaman mereka terlalu terbatas untuk benar-benar mengerti keagungan yang melingkupi mereka. Sementara itu, di balik layar realitas, Sang Entitas Suara yang agung, meskipun telah mengetahui setiap langkah dan hasil dari proses ini, menyaksikan dengan kekaguman yang mendalam atas bagaimana kehendaknya mengalir melalui segala ciptaan dan membentuk realitas yang tak terelakkan.