1896, Benua Asia
Di bawah langit kelabu Kota Takeru, dengan jalanan sempit dan penuh puing-puing, seorang remaja bernama Rei berjalan menyusuri lorong dengan setumpuk koran di tangan. Setiap langkahnya seakan dihimpit oleh udara yang terasa berat dan penuh dengan keputusasaan. Kota ini tidak pernah mengenal kata damai. Keheningan yang melingkupi hanya berisi raungan kepedihan, penindasan, dan kejahatan yang merajalela di bawah rezim Murayama, sang tiran yang tanpa belas kasihan.
Rei, yang berusia enam belas tahun, tinggal di sudut kumuh kota ini bersama keluarganya. Ayahnya lumpuh setelah kecelakaan di tempat kerja yang tidak pernah diinvestigasi. Ibunya, yang dulu penuh kasih, kini hanya bisa terbaring di ranjang, ditakdirkan menderita penyakit yang mematikan dan tak berobat. Kakak perempuannya, Hana, terlahir tanpa kaki, tetapi tetap berusaha tersenyum walau harus merayap menggunakan sebagian tubuhnya.
Namun, hanya Rei yang masih bisa berdiri dan bergerak. Dialah satu-satunya penggerak keluarga itu, yang terpaksa bekerja menjual koran setiap hari, meski sering kali dirinya dihina, dipukuli, dan direndahkan. Hari-harinya berlalu dengan kegetiran, dan ia sudah terbiasa dengan tatapan acuh dari orang-orang di sekitarnya. Di bawah kepemimpinan Murayama, kejahatan menjadi kebiasaan, dan simpati telah hilang dari hati manusia.
Ketika berjalan di pinggir jalan, tiba-tiba sebuah tendangan keras menghantam punggungnya, membuat tumpukan koran di tangannya terjatuh dan beterbangan di jalan. Beberapa remaja jalanan tertawa sinis sambil merobek koran-koran itu.
"Heh, penjual koran miskin! Apa gunanya hidupmu, hah?" Salah satu dari mereka mengejek, sebelum mencaci maki dan mendorongnya ke tanah.
Rei hanya bisa meringis menahan sakit, namun ia tak pernah membalas. Hanya air matanya yang mengalir di pipinya yang kurus. Orang-orang di sekitar hanya lewat, seolah tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang peduli. Mereka terus melangkah, mengabaikan kekejaman yang mereka saksikan.
Di sebuah gang sempit, setelah dipukul hingga lebam, Rei duduk sendirian. Ia menangis dalam diam, membiarkan dirinya tersedot ke dalam lautan keputusasaan. "Mengapa dunia begitu kejam?" bisiknya, menatap langit yang tak menawarkan jawaban. "Apakah tidak ada kebaikan di dunia ini? Apakah semua orang sekejam ini?"
Saat itu, ia teringat senyum hangat ibunya ketika masih kuat dulu. Terbayang olehnya Hana yang meski terlahir tanpa kaki, selalu berusaha melucu, berusaha membuat keluarga mereka tetap tertawa di tengah penderitaan. Bahkan ayahnya, dengan tubuh lumpuh, selalu berusaha mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang membuat Rei terus berjuang.
Namun kini, hidup terasa kosong. Setiap senyum yang dulu ada seolah lenyap.
Dengan hati yang berat, Rei akhirnya pulang ke rumah, membawa hanya dua bungkus makanan yang ia beli dari sisa uang yang ia miliki. Luka di tubuhnya ia tutupi dengan kain lusuh. Setibanya di rumah, ibunya yang pucat bertanya pelan, "Nak, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau terluka?"
Rei tersenyum kecil, pura-pura seolah tidak ada yang serius. "Aku hanya jatuh, Bu. Tak perlu khawatir."
Dengan tangan gemetar, Rei menyerahkan dua bungkus makanan yang ia bawa. Ibu dan ayahnya makan perlahan, sementara Hana yang tak punya kaki duduk di sudut, makan dengan tenang. Rei memilih tidak makan. Perutnya sudah terbiasa kosong.
"Kenapa kamu tidak makan, Rei?" tanya Hana dengan suara lembut.
"Aku sudah kenyang," jawab Rei, memaksakan senyum. Dalam hatinya, ada perasaan lega karena setidaknya keluarganya bisa makan, meski ia harus lapar.
Hari-hari terus berjalan seperti itu—berjualan koran, dihina, dan pulang dengan sisa luka yang semakin bertambah. Hingga suatu siang, saat menjajakan koran di jalanan, seorang remaja seusianya mendekatinya. Wajahnya cerah, matanya lembut. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Hikari.
"Hei, kamu Rei, kan?" sapanya dengan senyum ramah. "Aku beli semua koranmu, ya."
Rei terdiam. Ia tak pernah disapa dengan kelembutan seperti ini sebelumnya. Dengan ragu, ia menyerahkan semua korannya, sementara Hikari mengeluarkan uang.
"Terima kasih banyak," ucap Rei, sedikit terkejut. "Kenapa kamu melakukan ini?"
"Karena aku tahu betapa sulitnya hidup di kota ini. Semua orang hanya peduli pada diri mereka sendiri. Tapi aku percaya, kebaikan itu masih ada."
Percakapan mereka berlanjut, dan untuk pertama kalinya, Rei merasa hangat di tengah dunia yang dingin. Hikari mengajaknya berkenalan, bahkan mengundangnya untuk bermain di rumahnya. Untuk pertama kalinya, Rei berpikir mungkin masih ada kebaikan di dunia ini. Mungkin masih ada harapan.
Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Ketika senja tiba, Rei pulang ke rumah. Tapi, saat membuka pintu, dunianya hancur berantakan. Di depan matanya, tubuh kedua orang tuanya tergeletak penuh luka sayatan pedang. Darah mengalir di lantai, memenuhi udara dengan bau besi yang tajam.
Rei jatuh berlutut, menggenggam tubuh ibunya yang dingin. "Ibu… Ayah…" suaranya pecah dalam isakan. "Siapa yang melakukan ini? Kenapa?!" jeritnya, mengguncang tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa.
Ia menjerit, meratap dalam kesedihan yang tak terperikan. Di sudut rumah, ia melihat kursi Hana kosong. Kakaknya hilang, dan Rei tidak tahu ke mana.
Tangannya yang gemetar meraih sekop. Dalam gelapnya malam, dengan mata yang masih basah oleh air mata, Rei menggali lubang di belakang rumah. Satu demi satu, ia menurunkan tubuh kedua orang tuanya ke dalam tanah. Setiap kali tanah menimpa mereka, setiap suara sekop yang menyentuh bumi, membuat hatinya semakin hancur.
"Maafkan aku… Aku tidak bisa menyelamatkan kalian. Aku tidak bisa…" bisiknya di tengah tangisan.
Ketika ia selesai mengubur kedua orang tuanya, Rei terduduk di depan nisan sederhana yang baru saja ia buat. Tangisnya tak kunjung berhenti. Matahari telah terbenam, dan dunia terasa lebih gelap dari sebelumnya. "Kenapa, Tuhan? Kenapa semua ini terjadi padaku?"
Di kejauhan, seorang kakek tua berdiri di balik pohon, mengamati Rei yang tersedu-sedu. "Anak itu sangat menyedihkan," gumamnya. Namun, di balik tatapan sedihnya, terselip rasa kagum. "Tapi dia juga pria yang menarik," bisiknya pelan sebelum pergi
_____________________________________________________________
Malam terasa begitu panjang bagi Rei. Matanya terbuka, menatap langit-langit rumah yang dingin, seperti kuburan yang baru saja ia gali sendiri. Tubuhnya terbaring di lantai yang dingin, namun pikirannya tidak pernah berhenti berputar. Wajah ibunya yang tak bernyawa, ayahnya yang terbaring penuh luka, dan Hana yang hilang tanpa jejak terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, kilatan ingatan itu datang—darah, pedang, dan teriakan bisu yang hanya terdengar di dalam benaknya.
Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena rasa takut yang menghantam dadanya. "Mengapa? Siapa yang bisa melakukan ini?" Ia berulang kali bertanya kepada dirinya sendiri, namun tidak pernah ada jawaban yang memuaskan. Satu-satunya yang ia rasakan hanyalah kesunyian yang semakin menusuk.
Ia duduk di sudut ruangan, membungkus tubuhnya dengan kedua tangannya, mencoba melindungi dirinya sendiri dari kenyataan yang terlalu kejam untuk dihadapi. "Hana... di mana kamu?" suaranya pecah dalam tangisan. Kakaknya yang selalu berusaha menghibur keluarga, kini hilang entah ke mana. Kesepian menyergapnya, meremas hatinya hingga ia merasa seperti tidak bisa bernapas.
Tak ada lagi suara tawa ibunya yang lembut. Tak ada lagi suara ayahnya yang dulu selalu memanggil namanya dengan penuh kasih sayang. Hanya ada keheningan yang menakutkan, dan ruangan itu terasa begitu asing—tempat yang dulu penuh cinta, kini menjadi kuburan bagi ingatan yang paling menyakitkan.
Rei berusaha menenangkan diri, namun pikirannya terus kembali ke masa lalu. Ingatannya mulai menyeretnya ke hari-hari sebelum semuanya berubah. Ia ingat ketika keluarganya masih bisa tersenyum meski dalam keterbatasan. Hari-hari saat ia, ibunya, ayahnya, dan Hana duduk bersama di meja makan yang kecil, membagi makanan seadanya.
Flashback:
Di sebuah pagi yang cerah, meski hanya ada sedikit nasi dan sup tipis di meja, mereka semua tertawa bersama. Ibunya, dengan senyum yang lembut, menyuapi Hana yang selalu berusaha keras untuk bisa makan sendiri. Ayahnya yang duduk di kursi roda, memberikan nasihat sederhana namun penuh makna.
"Tak peduli seberapa sulit hidup, kita harus tetap saling mendukung," kata ayahnya suatu hari. "Kita mungkin tidak punya banyak, tapi kita punya satu sama lain. Itu yang paling penting."
Rei masih ingat betapa hangat suasana itu. Mereka adalah keluarganya, tempat di mana ia selalu merasa aman. Bahkan Hana, meskipun tidak bisa berjalan, selalu menemukan cara untuk membuat mereka tertawa dengan lelucon-lelucon kecilnya.
Hana sering kali berkata sambil tertawa, "Aku mungkin nggak punya kaki, tapi hatiku kuat! Aku masih bisa mengalahkan kalian dalam hal semangat hidup!"
Mereka tertawa bersama. Saat itu, kehidupan terasa sulit, tetapi penuh dengan kasih sayang dan kebahagiaan. Tapi sekarang, semua itu hilang. Setiap kenangan itu seperti duri yang menghujam dadanya. Rasanya seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berujung.
Rei menekan dadanya yang sesak. "Kenapa? Kenapa semuanya hilang?" Hatinya berteriak dalam keheningan. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. "Apa salah keluargaku? Apa yang kami lakukan sampai harus menerima nasib seperti ini?"
Ia menatap ruangan yang kosong, yang dulu penuh dengan tawa dan cinta. Ruangan itu kini menjadi monumen sunyi dari kehilangan yang begitu besar. Ia merasa tertekan, seolah seluruh dinding ruangan itu menghimpitnya, menutup semua harapan. Keadaan ini membuatnya semakin muak dengan dunia. Dengan manusia.
Sudut Pandang Rei:
Manusia. Sejak dulu aku selalu melihat betapa kejamnya manusia terhadap satu sama lain. Setiap hari di kota ini, di bawah tirani Murayama, aku menyaksikan kejahatan tanpa akhir. Setiap sudut jalanan penuh dengan penindasan. Setiap berita yang kudengar hanyalah tentang kematian, pencurian, dan pembunuhan. Apakah ini benar-benar dunia yang kita ciptakan? Dunia di mana kebaikan dianggap lemah, dan kekuatan hanya diukur dari seberapa banyak darah yang bisa ditumpahkan?
Aku ingat suatu hari, saat aku sedang menjual koran, aku melihat seorang anak kecil dicuri paksa makanannya oleh sekelompok pria dewasa. Anak itu menangis, tetapi tidak ada yang membantu. Bahkan orang-orang yang lewat hanya melirik sekilas dan melanjutkan langkah mereka, seolah-olah itu hanyalah hal biasa. Begitu banyak ketidakadilan yang aku saksikan, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Di hari lain, aku mendengar berita tentang seorang wanita tua yang dibunuh hanya karena sepotong roti. Bagaimana manusia bisa begitu kejam? Aku mulai mempertanyakan segalanya. Apa artinya hidup jika ini yang selalu kita lihat? Jika hanya kekerasan dan kematian yang menjadi rutinitas sehari-hari?
Aku muak. Muak dengan manusia. Muak dengan dunia ini.
Kembali ke Masa Kini:
Rei menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia berdiri perlahan, berjalan menuju meja tempat keluarganya dulu makan bersama. Di bawah meja itu, tempat darah orang tuanya tergenang kemarin, ia melihat sesuatu yang berkilau. Terselip di antara serpihan kayu dan pecahan piring, ada sebuah benda kecil. Sebuah simbol berbentuk singa yang terbuat dari titanium.
Ia berjongkok dan mengambilnya. Tangannya gemetar saat memegang benda itu. Matanya memandang benda tersebut dengan seksama. Apa ini? Siapa yang meninggalkannya di sini?
"Mungkinkah… ini milik mereka yang membunuh keluargaku?" pikir Rei dengan gemetar. Simbol itu tampak begitu asing, namun ada sesuatu yang membuat Rei merasa yakin bahwa ini bukan kebetulan. Benda ini mungkin adalah jejak dari mereka yang bertanggung jawab atas kematian keluarganya.
Rei meremas simbol itu dengan kuat, hingga jarinya hampir berdarah. Wajahnya yang penuh kesedihan kini berubah, digantikan oleh tekad yang membara. Matanya yang semula dipenuhi air mata, kini menatap lurus ke depan, penuh kebencian dan dendam.
"Aku akan menemukan kalian. Aku akan membuat kalian membayar atas apa yang kalian lakukan." suaranya rendah namun penuh kekuatan.
Dengan simbol singa di tangannya, Rei berdiri. Kesedihan yang mendalam di hatinya berubah menjadi kemarahan yang membara. Jika dunia ini tak punya tempat bagi kebaikan, maka ia akan menciptakan keadilannya sendiri.
"Aku bersumpah," katanya pelan, "aku akan membunuh mereka semua. Mereka yang telah menghancurkan hidupku."
Bersambung…