Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu
Siang itu, langit Takeru tampak kelabu, seakan turut berduka atas nasib yang dialami oleh Rei. Setelah menemukan simbol singa perak di rumahnya yang kini sunyi, Rei merasa hampa. Langkah kakinya membawanya menuju jembatan yang membentang di atas lautan yang suram. Angin laut menerpa wajahnya, tetapi tidak mampu mengusir kesedihan yang menggumpal di hatinya. Di sana, ia berdiri sendirian, memandang laut yang luas, seolah mencari jawaban di tengah ombak yang bergulung tenang.
Dalam diam, Rei mengepalkan tangan di atas pagar jembatan. Simbol singa yang ditemukan kemarin masih terasa dingin di dalam sakunya. Kehilangan orang tuanya, hilangnya Hana, dan trauma yang begitu mendalam menghantui pikirannya. Ia merasa sendirian di dunia yang begitu kejam.
"Apa gunanya hidup, jika hanya untuk menyaksikan penderitaan?" gumam Rei pelan, suaranya tenggelam dalam angin yang kencang. Matanya terasa perih, tetapi ia tidak ingin menangis lagi. Ia sudah menangis terlalu banyak. Namun, di dalam dirinya, perasaan kosong itu semakin menggerogoti—kehilangan, rasa bersalah, dan marah yang tak tertahankan.
Saat Rei masih tenggelam dalam kesedihannya, langkah kaki ringan terdengar mendekat di belakangnya. Sebuah suara yang ia kenali memanggilnya.
"Rei?" suara Hikari terdengar lembut namun penuh kekhawatiran.
Rei tidak berbalik, tetap memandang laut. Ia merasa tidak punya kekuatan untuk bertemu siapapun, bahkan seseorang seperti Hikari yang baru ia kenal.
Hikari berdiri di samping Rei, melihat wajahnya yang pucat dan matanya yang merah, lalu berkata dengan suara lembut, "Apa yang terjadi? Kau terlihat... begitu sedih."
Rei tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata, tetapi setiap kali ia ingin berbicara, rasa sakit itu kembali menghantam dadanya. Wajahnya yang muram sudah cukup untuk menjelaskan bahwa kata-kata tak lagi diperlukan.
Hikari menatapnya, menyadari kesedihan yang begitu mendalam di mata Rei. Ia segera menyesali pertanyaannya dan berkata, "Maaf... kau tidak harus menjawab. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara angin dan ombak menjadi satu-satunya yang mengisi kekosongan itu. Hikari kemudian berkata, "Jika kau ingin bicara, aku di sini. Jika tidak, itu juga tidak apa-apa."
Rei akhirnya menundukkan kepalanya, matanya masih menatap air yang tenang di bawah jembatan. "Aku... tidak tahu harus mulai dari mana," katanya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. "Semuanya... terlalu banyak."
Hikari mengangguk. "Aku mengerti. Tidak apa-apa. Kau tidak perlu terburu-buru."
Setelah beberapa saat, Hikari tersenyum kecil, meski ia masih merasa khawatir. "Kau tahu, aku sebenarnya ingin mengajakmu ke rumahku. Mungkin itu bisa sedikit mengalihkan pikiranmu. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu... sesuatu yang menurutku menarik."
Rei menatap Hikari dengan tatapan bingung. Di dalam hatinya, ia merasa seolah-olah tidak ada yang bisa membuatnya lupa akan rasa sakit ini. Namun, ada sesuatu dalam nada suara Hikari yang memberikan sedikit kehangatan di tengah kekosongannya.
"Kau tidak harus datang sekarang," lanjut Hikari. "Tapi aku rasa, mungkin, menghabiskan waktu di tempat yang berbeda bisa membantumu."
Rei terdiam, berpikir sejenak. Ia tahu, tidak ada yang bisa benar-benar mengalihkan pikirannya dari kenyataan kelam yang baru saja terjadi. Tapi mungkin, hanya mungkin, berada di tempat lain bisa memberikan sedikit ketenangan, meski sementara.
"Aku... aku akan ikut," jawab Rei akhirnya, suaranya masih terdengar lemah. "Mungkin itu bisa membantuku."
Mata Hikari sedikit berbinar mendengar jawaban itu. "Bagus! Aku janji, kau tidak akan menyesal."
Mereka berdua mulai berjalan perlahan, meninggalkan jembatan di belakang mereka. Hikari dengan hati-hati mengarahkan Rei keluar dari pusat kota, menuju hutan yang terletak di pinggiran. Perjalanan itu penuh keheningan, hanya suara dedaunan yang tertiup angin dan langkah kaki mereka yang terdengar. Rei tidak banyak berbicara, namun Hikari berusaha membuat suasana tidak terlalu canggung.
"Aku tidak pernah bilang padamu," kata Hikari setelah beberapa saat berjalan. "Tapi, aku juga tidak punya orang tua."
Rei menoleh, terkejut. Ini pertama kalinya Hikari mengatakan hal itu.
"Mereka... mereka mati karena suatu hal yang tidak pernah benar-benar ku mengerti waktu itu," lanjut Hikari, suaranya agak bergetar. "Aku masih kecil saat itu, tapi aku tahu mereka bukan orang biasa. Mereka adalah penyihir hebat, atau setidaknya, itulah yang dikatakan kakekku. Mereka memilih untuk mengasingkan diri dari dunia luar, menjauh dari kekacauan, dan itu sebabnya aku tinggal jauh dari kota."
Rei mendengarkan dengan seksama, meskipun pikirannya masih berat dengan kesedihan.
"Kakekku juga penyihir," lanjut Hikari sambil tersenyum sedikit. "Dia sangat kuat, meski sekarang dia lebih suka hidup tenang di tengah hutan. Aku tidak tahu kenapa mereka memutuskan untuk hidup jauh dari keramaian, tapi... itulah hidupku sekarang."
"Penyihir?" Rei bertanya, agak kaget. "Jadi... kamu juga penyihir?"
Hikari tertawa kecil. "Tidak sehebat kakekku, tapi ya, aku punya sedikit kemampuan. Namun, ada satu hal yang selalu membuatku penasaran..." Hikari melirik Rei dengan tatapan nakal. "Ada sebuah buku ramalan di rumah. Kakekku bilang, aku tidak boleh membukanya, tapi aku penasaran apa yang tertulis di dalamnya. Aku ingin sekali membukanya, dan aku pikir... mungkin kau ingin melihatnya juga."
Rei mengerutkan alisnya. "Ramalan?"
Hikari mengangguk. "Ya, tapi kakekku tidak pernah memberitahuku isinya. Mungkin kita bisa melanggar peraturannya, hanya untuk sekali ini."
Rei terdiam sejenak. Meskipun kesedihannya masih membebani, ada rasa penasaran yang mulai muncul di hatinya. "Baiklah," katanya pelan, "aku akan ikut melihatnya."
Setelah beberapa waktu, mereka sampai di rumah Hikari, sebuah pondok tua yang tersembunyi di tengah hutan. Rumah itu tampak sederhana dari luar, tapi aura keheningan yang mendalam menyelimutinya. Hikari mempersilakan Rei masuk dan menyuruhnya duduk di ruang tamu kecil.
"Tunggu sebentar, aku akan ambilkan sesuatu untukmu," kata Hikari sambil tersenyum hangat. "Mungkin kau butuh makan atau minum."
Rei hanya mengangguk pelan dan duduk di kursi yang terasa agak keras. Saat Hikari pergi ke dapur, Rei menatap sekeliling, mengamati ruangan itu. Ada sesuatu yang aneh, tetapi juga menenangkan di rumah ini. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah kaki lain terdengar mendekat.
Seorang lelaki tua berjanggut putih panjang muncul dari pintu lain. Ia tersenyum lembut saat melihat Rei, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
"Kau pasti Rei," kata lelaki tua itu dengan suara tenang. "Aku Shein, kakek Hikari."
Rei sedikit terkejut, namun ia membalas dengan anggukan sopan. "Ya, saya Rei."
Shein menatapnya dengan mata yang tajam namun penuh kebijaksanaan. "Aku sudah mendengar sedikit tentangmu dari Hikari," katanya. "Dan aku bisa melihat, kau membawa beban yang sangat berat."
Rei tidak menjawab, hanya menundukkan kepala. Kakek tua itu tampak berpikir sejenak, lalu dengan suara rendah ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya, Rei?"
Pertanyaan itu membuat Rei tertegun. Apa maksudnya? Siapa dirinya sebenarnya? Rei merasa bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.
Kakek Shein hanya tersenyum tipis, seolah-olah dia tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. "Jawaban itu mungkin akan datang padamu, tapi bukan sekarang."
________________________________________
Suasana di ruang tamu terasa dingin dan tegang setelah pertanyaan dari Shein. Rei masih bingung dengan maksud dari kakek Hikari. Namun, sebelum keheningan semakin canggung, Hikari muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Kakek!" seru Hikari riang, "Ternyata kau sudah bertemu dengan Rei!"
Shein tersenyum tipis, menatap Hikari dan Rei bergantian. "Ya, kami sudah saling berkenalan."
Hikari duduk di sebelah Rei, lalu menyodorkan piring berisi roti hangat dan minuman hangat ke arahnya. "Makanlah, Rei. Kau pasti lapar setelah perjalanan panjang."
Rei ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk dan mengambil potongan roti tersebut. Meski perutnya tidak begitu lapar, ia tidak ingin menolak kebaikan Hikari.
Sementara itu, Shein berdiri dan memandangi keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku akan pergi berburu," katanya tiba-tiba.
"Berburu?" Rei bertanya, terkejut dengan kalimat itu. Di kota, hal semacam itu terdengar asing dan jarang dilakukan.
Shein mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ya, kami masih hidup dengan cara lama di sini. Aku akan berburu untuk makan malam kita. Jika dapat lebih, mungkin aku bisa menjual sebagian di kota."
Rei menatap Hikari dengan bingung, tetapi Hikari hanya tersenyum sambil menjelaskan, "Kakekku memang sering berburu. Dia biasa mendapatkan hasil buruan yang cukup untuk beberapa hari ke depan. Di sini, semuanya serba alami."
Shein mengambil busur dan panah dari dekat pintu, lalu memberi salam kepada keduanya. "Aku akan segera kembali. Jaga diri kalian, dan jangan terlalu banyak bermain-main di kamar kakek tua ini." Dia tertawa kecil sebelum akhirnya berjalan menuju hutan, menghilang di antara pepohonan yang lebat.
Begitu Shein menghilang dari pandangan, Hikari berbalik ke arah Rei dengan tatapan nakal. "Ayo, ini kesempatan kita!"
"Kesempatan apa?" tanya Rei, bingung.
Hikari berdiri dengan cepat, menarik tangan Rei. "Ayo, kita ke kamar kakekku. Kau ingat buku ramalan yang kubilang? Aku tahu letaknya, tapi aku butuh bantuanmu untuk mendapatkannya."
Rei mengikuti Hikari menuju kamar Shein. Kamar itu sederhana namun terasa tua dan misterius, dengan dinding kayu yang dipenuhi aroma buku-buku tua. Ada sebuah tempat tidur kayu di sudut, dan sebuah rak buku yang hampir menyentuh langit-langit.
Hikari mengarahkan pandangannya ke rak buku tersebut. "Di atas sana, ada buku ramalan yang selalu membuatku penasaran." Dia menunjuk sebuah buku di rak paling atas, yang tampak tua dan usang. "Tapi aku tidak bisa menjangkaunya. Kita butuh sedikit... trik."
Rei menatap Hikari bingung. "Bagaimana kita bisa mengambilnya?"
Dengan senyum yang semakin nakal, Hikari menatap Rei. "Aku punya ide. Kau bisa menggendongku. Dengan begitu, aku bisa meraihnya."
Rei mendadak merasa malu. "Apa? Menggendongmu?"
Hikari mengangguk penuh semangat. "Ayolah, kita hanya akan melakukannya sekali. Lagipula, siapa tahu ramalan itu bisa mengungkap sesuatu yang penting. Bisa jadi... tentang masa depan kita."
Rei menghela napas panjang, tetapi akhirnya menyerah pada bujukan Hikari. "Baiklah," katanya dengan sedikit canggung.
Dengan hati-hati, Rei membungkuk sedikit, membiarkan Hikari naik ke pundaknya. Meski malu, Rei mencoba fokus pada tugas mereka. Setelah beberapa kali mencoba, Hikari akhirnya bisa meraih buku tua itu.
"Got it!" seru Hikari dengan bangga saat ia menggenggam buku itu erat.
Rei menurunkannya dengan hati-hati, dan mereka berdua duduk di lantai kamar, menatap buku tua yang tampak usang namun misterius itu. Hikari mengusap sampul buku yang terasa kasar dengan ukiran simbol-simbol kuno, lalu membuka halamannya dengan perlahan.
Ketika halaman pertama terbuka, sebuah cahaya lembut bersinar dari dalam buku, membuat ruangan terasa seperti diliputi oleh keajaiban. Rei terkejut, matanya membesar melihat kilatan cahaya yang keluar dari buku itu. Hikari pun tampak takjub, meski sedikit tersenyum melihat reaksi Rei.
"Aku belum pernah melihat yang seperti ini," bisik Rei, seolah takut mengganggu keajaiban yang ada di depan mereka.
Cahaya itu akhirnya memudar, dan di halaman pertama, mereka melihat sesuatu yang mengerikan. Sebuah gambar besar memenuhi halaman itu: gambaran dunia yang hancur lebur. Bangunan-bangunan runtuh, hamparan tanah luas yang penuh dengan reruntuhan. Di kejauhan, dua sosok manusia berdiri, seorang laki-laki dan perempuan, dengan mata yang memancarkan aura kekuatan yang dahsyat. Dunia di sekitar mereka tampak dilanda peperangan besar—dunia yang tak terselamatkan.
Di bawah gambar itu, ada sebuah tulisan yang terukir dengan tinta merah tua, seolah-olah diukir dengan darah. Hikari dan Rei membaca tulisan itu bersama-sama, suara mereka bergema lirih di ruangan yang hening:
"Pada hari itu, manusia akan membayar atas apa yang mereka lakukan. Mereka akan menebus dosa-dosa mereka. Dua manusia dari sebuah pulau terpencil akan menghancurkan dunia dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka akan meluluhlantakkan seluruh bumi, dan tak ada yang tersisa selain kehancuran."
Rei menelan ludah, matanya tertuju pada gambar dan kata-kata itu. Tubuhnya bergetar, perasaan merinding menjalar ke seluruh tubuhnya. "Menghancurkan... dan meluluhlantakkan dunia..." gumamnya pelan, mengulangi kata-kata dari ramalan itu.
Hikari menatap Rei dengan tatapan ngeri yang sama. "Ini... ini tidak mungkin. Apa maksud dari semua ini? Siapa dua orang itu? Dan... apakah ini benar-benar akan terjadi?"
Namun, semakin Hikari berbicara, semakin Rei merasa ada sesuatu yang mengguncang dalam dirinya. Kata-kata itu, gambar itu—semua mengingatkannya pada kebencian mendalam yang ia rasakan terhadap manusia. Seluruh hidupnya, ia telah melihat kekejaman manusia. Setiap hari, berita-berita tentang pembunuhan, kejahatan, dan penderitaan selalu memenuhi pikirannya. Dan sekarang, ramalan ini seperti mencerminkan apa yang selama ini ia rasakan.
"Apa ini..." Rei berhenti sejenak, matanya berkilat penuh amarah yang tiba-tiba meletup di dalam hatinya. "Apa ini... balasan yang pantas untuk manusia? Mungkin... mungkin dunia memang pantas dihancurkan."
Hikari menatapnya, kaget. "Rei? Apa yang kau katakan?"
Rei tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap gambar di dalam buku itu, seolah-olah dunia yang digambarkan di sana sudah begitu nyata di dalam pikirannya. Ia merasakan sesuatu yang gelap mulai tumbuh dalam hatinya, sebuah ide yang belum pernah ia sadari sebelumnya.
"Manusia... mereka adalah sumber dari semua penderitaan. Mungkin... ini memang takdir mereka. Mungkin, dunia ini memang harus diluluhlantakkan."
Bab ini ditutup dengan tatapan Rei yang semakin dalam, penuh kebencian dan pemikiran gelap yang baru terbentuk. Ia merasa ada keterkaitan antara dirinya dengan ramalan itu. Meski Hikari belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, Rei sudah mulai menerima bahwa mungkin, kehancuran adalah jalan keluar dari segala penderitaan ini.
Bersambung...