Chereads / Blackthorn Academy / Chapter 16 - Bab 21: "Duri dalam Bayangan"

Chapter 16 - Bab 21: "Duri dalam Bayangan"

Setelah berhasil meloloskan diri dari salah satu jebakan Damian, tim Aveline kembali ke markas mereka, terengah-engah dan dipenuhi luka. Markas itu sendiri sudah tak lagi menjadi tempat yang aman, sebab pengikut Damian terus memantau setiap pergerakan mereka. Namun, ini bukan lagi soal kenyamanan—ini tentang bertahan hidup dan memenangkan perang.

Aveline duduk di depan meja kayu tua yang penuh dengan peta dan catatan, memeriksa kembali langkah-langkah yang akan mereka ambil selanjutnya. Pikirannya terpecah antara perencanaan strategis dan konflik batin yang perlahan mulai memuncak. Kai, yang selama ini setia mendampinginya, memandangi Aveline dengan penuh kekhawatiran. Dia tahu ada yang tidak beres, tapi dia ragu untuk menanyakannya secara langsung.

"Aveline, kita hampir kehabisan waktu. Damian sudah semakin dekat dengan tujuannya," ucap Kai, suaranya rendah tapi penuh ketegangan.

Aveline menatapnya, matanya menunjukkan kelelahan yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi. "Aku tahu, Kai. Tapi aku perlu memastikan langkah kita berikutnya benar. Damian sudah mendahului kita terlalu banyak kali."

**Rencana Baru**

Mira, yang baru saja selesai merawat luka-luka kecil dari pertarungan terakhir mereka, mendekat ke meja. "Kita tidak bisa terus menerus bermain aman. Damian sudah di depan mata, dan dia selalu satu langkah di depan kita. Aku pikir sudah saatnya kita bertindak lebih berani."

Rook, yang biasanya pendiam, menanggapi dengan suara rendah namun tajam, "Berani, Mira? Apa maksudmu, kita menyerang langsung markasnya? Kita bahkan belum tahu pasti di mana dia bersembunyi."

Mira menatap Rook dengan tatapan yang tidak biasa, lebih tajam dari biasanya. "Justru itu. Damian selalu tahu gerakan kita karena kita terlalu berhati-hati. Dia memprediksi langkah kita. Kita harus mengubah pola kita dan menyerang dari arah yang tidak dia duga."

Diskusi ini membuat Aveline kembali fokus. Dia memahami maksud Mira, tapi risiko dari rencana berani itu sangat tinggi. Tim mereka sudah mulai kehilangan tenaga, dan moral pun sudah tidak setinggi sebelumnya.

"Saya setuju dengan Mira," kata Sera yang tiba-tiba muncul dari belakang dengan suara lembut namun penuh keyakinan. "Jika kita terus bermain dalam aturan Damian, kita tidak akan pernah menang."

**Titik Kritis**

Sementara itu, Damian, yang terus memantau pergerakan Aveline dari kejauhan melalui pengikutnya yang setia, mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Aveline tidak lagi mengikuti pola lamanya; seolah-olah dia sedang merencanakan sesuatu yang berbeda. Damian tersenyum licik, berbalik dari layar proyeksi di hadapannya.

"Ah, Aveline... akhirnya kamu mulai bermain sesuai dengan apa yang aku harapkan. Tapi jangan berpikir kamu bisa melangkah lebih cepat dariku."

Damian tahu bahwa meskipun Aveline dan timnya mulai berani, mereka masih belum sepenuhnya memahami apa yang dia rencanakan. Dia berencana untuk mengacaukan pikiran mereka lebih dalam. Pengkhianat di tengah-tengah kelompok Aveline sudah bergerak sesuai dengan rencananya. Pengkhianat yang tak pernah diduga oleh siapapun, termasuk Aveline.

**Rencana Pengkhianatan**

Kembali di markas, Aveline, setelah mempertimbangkan segala risiko, akhirnya memutuskan untuk mengikuti rencana Mira. Mereka akan beralih dari pendekatan defensif ke ofensif. "Kita akan menyerang Damian secara langsung," ucapnya mantap. "Tapi kali ini, kita harus membuatnya tidak siap."

Kai, meskipun setuju, terlihat ragu. "Bagaimana kita bisa memastikan kita tidak berjalan ke perangkap lagi?"

Mira menatap Kai dengan serius. "Kita tidak akan. Damian tidak mengharapkan kita mengambil langkah berani ini. Jika kita bisa menyusup dengan baik, dia tidak akan punya cukup waktu untuk mempersiapkan serangan balik."

Aveline kemudian mengarahkan pandangannya ke Rook, yang masih tampak tidak yakin. "Rook, aku membutuhkanmu untuk menjaga punggung kami. Kalau rencana ini gagal, kau harus pastikan kita bisa mundur dengan aman."

Rook mengangguk tanpa banyak bicara, meskipun dalam hatinya dia tahu, jika mereka gagal kali ini, mungkin tidak ada lagi kesempatan untuk mundur.

Namun, yang tidak disadari oleh Aveline adalah bahwa di tengah-tengah kelompoknya, salah satu dari mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman Damian. Misinya bukan hanya untuk mengamati, tapi juga merusak rencana dari dalam.

**Malam Penentuan**

Malam itu, tim Aveline memulai penyusupan ke dalam wilayah yang mereka yakini sebagai salah satu dari markas Damian. Mereka bergerak dengan hati-hati, memanfaatkan kegelapan dan keheningan malam untuk menutupi jejak mereka. Namun, suasana tegang menyelimuti mereka semua.

Kai yang biasanya tenang mulai merasakan firasat buruk. "Ada sesuatu yang salah di sini," gumamnya, namun dia memutuskan untuk menyimpannya dalam hati.

Ketika mereka tiba di lokasi yang dituju, suasana semakin menegangkan. Markas Damian tampak kosong, terlalu sepi. Aveline memberi isyarat agar timnya tetap waspada. Mereka merangsek masuk, memeriksa setiap sudut dengan hati-hati.

Namun tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di seluruh ruangan. Dari bayang-bayang, muncul sekelompok pengikut Damian, dipimpin oleh seorang sosok yang familiar.

"Selamat datang," suara Damian terdengar menggema di antara dinding-dinding bangunan tua itu. "Aku sudah menunggumu."

Senyum Damian yang dingin menyapa mereka, sementara Aveline dan timnya segera mempersiapkan diri untuk pertempuran. Namun, dalam hitungan detik, sesuatu yang lebih buruk terjadi.

Rook, yang seharusnya berjaga di pintu keluar, bergerak mendekat ke Aveline dengan langkah perlahan, menghunus pedangnya.

"Aku minta maaf, Aveline," bisiknya pelan. "Tapi ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku."

**Twist Pengkhianatan**

Semua terhenti dalam sekejap. Betrayal. Pengkhianatan yang bahkan tidak pernah Aveline bayangkan datang dari Rook, salah satu orang yang paling dia percayai. Pengkhianatan ini lebih dari sekadar serangan fisik—ini adalah pukulan bagi moral dan kepercayaan tim yang sudah rapuh.

Namun, sebelum Rook bisa melancarkan serangan, Kai berteriak dan bergerak cepat untuk menahan serangan itu. Sebuah pertempuran kecil pun pecah di dalam tim mereka sendiri, dengan Aveline terjebak antara kebingungan dan kemarahan yang membara di dalam dadanya.

** Pengkhianatan di Tengah Gelap**

Suara denting pedang yang beradu mengisi udara. Aveline mematung di tempatnya, otaknya berputar-putar berusaha menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Rook, sahabatnya, seseorang yang dia percayai sepenuh hati, berdiri di hadapannya dengan pedang terhunus, wajahnya penuh dengan campuran penyesalan dan determinasi.

"Aku minta maaf, Aveline," kata Rook lagi, suaranya serak, seolah dia pun tidak percaya pada apa yang sedang dia lakukan. "Tapi Damian memegang nyawaku, dan aku tidak punya pilihan."

Seketika itu juga, suara itu menusuk hati Aveline lebih tajam daripada bilah pedang yang dipegang oleh Rook. Apa maksudnya? Mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Aveline, namun dia tidak punya waktu untuk berpikir lebih lama. Kai, yang selalu menjadi tamengnya dalam segala situasi, sudah melompat maju, menghunus pedangnya dan mencoba menahan serangan Rook.

"Kamu pengkhianat, Rook!" teriak Kai, suaranya bergetar antara kemarahan dan kekecewaan. "Bagaimana bisa kamu melakukan ini setelah semua yang kita lalui?"

Rook hanya menggeleng, menghindari tatapan Kai. "Aku tidak punya pilihan," desisnya pelan. "Damian memegang sesuatu yang tidak bisa kalian mengerti. Ini bukan tentang kepercayaan atau kesetiaan. Ini tentang bertahan hidup."

Pertarungan kecil itu seolah menjadi mikro kosmos dari pertarungan besar yang akan datang. Aveline, masih terkejut dengan pengkhianatan yang terjadi di depan matanya, mencoba menguasai dirinya sendiri. Ada sesuatu yang salah. Mengapa Rook bisa begitu mudah dibujuk? Apa yang Damian pegang terhadapnya? Pertanyaan-pertanyaan ini membayang di benaknya, namun satu hal jelas: jika mereka tidak bertindak cepat, bukan hanya misi ini yang akan gagal, tapi mungkin seluruh perlawanan mereka terhadap Damian.

Mira, yang sejak awal merasa curiga pada Rook, tampak siap untuk bertindak. Dia melangkah maju dengan mata penuh determinasi. "Jadi, ini yang selama ini kamu sembunyikan dari kami, Rook? Kau tidak pernah bersama kami sejak awal?"

Rook menatap Mira, wajahnya berkedut sejenak sebelum menunduk. "Aku bersama kalian, tapi aku tidak pernah benar-benar bebas. Damian sudah menaruh cengkeramannya padaku sejak lama."

**Mengungkap Rahasia**

Dalam kekacauan yang terjadi, Sera mendekati Aveline dengan cepat, bisikannya pelan tapi mendesak. "Aveline, kita tidak bisa melawan Damian jika kita bertarung di antara kita sendiri. Kita harus bertindak cepat."

Aveline mengangguk, meskipun pikirannya masih terguncang. Pengkhianatan ini lebih dari sekadar kejutan. Ini adalah ancaman langsung pada integritas tim mereka, dan moral mereka berada di ujung tanduk. Tapi sebagai pemimpin, Aveline tahu dia tidak bisa goyah. Dia harus menemukan jalan keluar dari situasi ini.

"Kita harus mundur," ujar Aveline dengan suara tegas. "Pertarungan ini hanya akan melemahkan kita lebih jauh. Kita tidak bisa melawan Damian jika kita tidak sepenuhnya utuh."

Namun, sebelum mereka bisa melangkah mundur, Damian sendiri muncul di tengah kegelapan, senyumnya mengerikan. "Oh, tapi Aveline... bukankah ini saat yang sempurna untuk bertarung? Kamu tahu aku sudah menunggu lama untuk momen ini."

Suara Damian menyebar seperti kabut, merasuki udara dan menggetarkan setiap tulang di tubuh Aveline. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya berbicara banyak. Dia menikmati kerusakan yang telah terjadi di tim Aveline.

"Rook sudah memberitahumu, kan? Kamu tidak pernah benar-benar bisa mempercayai siapapun. Di dunia ini, kepercayaan adalah kemewahan yang tidak pernah kamu miliki."

Aveline mengepalkan tinjunya, mencoba menahan rasa marah yang mendidih di dalam dirinya. Ini semua adalah bagian dari rencana Damian—memecah belah mereka dari dalam, meruntuhkan kekuatan mereka dengan menusuk di tempat yang paling rentan. "Damian, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Aveline dengan suara yang bergetar.

"Aku ingin melihat bagaimana pemimpinmu, yang begitu menjunjung tinggi keadilan dan persahabatan, akan hancur ketika dia tahu bahwa pengikut terdekatnya adalah duri dalam daging. Kau pikir aku hanya ingin kekuasaan, Aveline? Tidak. Aku ingin kehancuranmu secara perlahan. Aku ingin kamu merasakan setiap kehilangan, setiap pengkhianatan, hingga akhirnya kamu tak punya apa-apa lagi."

Sera melangkah maju, menggenggam tongkat sihirnya dengan erat, matanya penuh dengan keberanian. "Kau tidak akan menang, Damian. Kejahatanmu tidak akan mengalahkan kami."

Damian tertawa pelan, langkahnya semakin mendekat. "Oh, sungguhkah? Lihat di sekelilingmu, Sera. Temanmu sendiri mengkhianatimu. Kepercayaan yang kau bangun selama ini telah hancur. Dan kalian pikir bisa melawan aku?"

**Pertempuran Kecil di Tengah Kegelapan**

Tanpa aba-aba, Mira melancarkan serangan lebih dulu, tak mau memberikan Damian kesempatan untuk terus mempermainkan mereka dengan kata-kata. Dengan gerakan cepat, dia menyerang dengan bilah pendeknya, mengincar leher Damian. Namun, Damian menghindar dengan mudah, melompat mundur dengan kecepatan yang membuatnya hampir seperti bayangan.

"Kalian terlalu tergesa-gesa," ejek Damian. "Kalian sudah kalah sejak awal."

Pertarungan kecil itu pecah dengan cepat, Mira dan Sera yang saling bekerja sama untuk menyerang Damian sementara Kai sibuk menghadapi Rook yang masih berusaha menahan dirinya dari serangan bertubi-tubi.

Aveline, yang masih mencoba mengendalikan pikirannya, sadar bahwa ini adalah kesempatan mereka untuk melarikan diri. Mereka tidak akan menang dalam pertempuran ini. Damian terlalu siap, dan Rook sudah menghancurkan keseimbangan dalam tim mereka. Jika mereka tidak pergi sekarang, semuanya bisa berakhir di sini.

"Ayo kita keluar dari sini!" teriak Aveline, menarik Kai yang masih sibuk melawan Rook. "Kai, kita harus mundur!"

Kai melirik ke arah Rook, kebenciannya terbaca jelas. Namun dia tahu Aveline benar. Mereka tidak punya pilihan.

Dalam keputusasaan, tim mulai mundur dengan cepat, berusaha untuk keluar dari markas yang telah menjadi perangkap mematikan. Rook tidak mengejar, tampak terpecah antara rasa bersalah dan tugasnya pada Damian. Namun, Damian tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk pergi begitu saja. Dia melompat ke depan, melemparkan serangan sihir gelap yang kuat, menghancurkan sebagian dari dinding markas.

"Kalian tidak akan bisa kabur begitu saja!" teriak Damian dengan suara penuh amarah.

Namunmengancam di depan matanya. Kata-kata Rook menggema di telinga Aveline, membuatnya terhuyung dalam keheningan yang penuh amarah. Betrayal. Pengkhianatan ini bukan hanya tentang kesetiaan yang terhancur—itu juga menyentuh inti dari kepercayaan yang telah lama dibangun.

Kai, yang berada di sisi Aveline, tidak mampu menahan kemarahannya. "Tidak ada alasan untuk pengkhianatan!" serunya, sebelum melompat maju dengan pedangnya terhunus, menyerang Rook tanpa keraguan. Suara denting logam memenuhi ruangan ketika Kai dan Rook bertukar serangan, keduanya sama kuat dan terlatih.

Aveline tersentak dari keterkejutannya, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, pikirannya kacau. Dia harus berpikir cepat—mengatur ulang strategi di tengah pengkhianatan yang datang begitu tiba-tiba. Dengan satu gerakan cepat, Aveline berlari mendekati Mira dan Sera, yang tampak terkejut dan kebingungan.

"Jangan biarkan Damian mengambil kendali atas situasi ini!" perintah Aveline dengan tegas, matanya berkilat tajam. "Kita harus mengamankan tempat ini sebelum bala bantuan Damian tiba."

Mira mengangguk cepat, meski wajahnya menunjukkan bahwa dia juga belum sepenuhnya pulih dari keterkejutan. "Akan kulakukan."

Sera, yang selalu tenang, mulai mempersiapkan senjata-senjata mereka. "Kita harus bersiap untuk pertarungan panjang. Damian pasti tidak sendirian. Jika Rook sudah berkhianat, tidak ada jaminan siapa lagi yang mungkin sudah dikendalikan."

Di tengah pertempuran sengit antara Rook dan Kai, Damian muncul dari kegelapan, senyum dinginnya penuh kemenangan. "Sepertinya persahabatan kalian tidak sekuat yang kalian kira," katanya dengan suara yang tenang namun penuh ejekan. "Rook membuat pilihan yang bijak, sesuatu yang mungkin akan kalian semua pahami, cepat atau lambat."

Aveline memandangi Damian dengan tatapan penuh kebencian. "Kau memutarbalikkan segalanya, Damian. Ini tidak akan berakhir seperti yang kau harapkan."

Damian mengangkat alisnya seolah tertarik dengan tantangan yang dilontarkan Aveline. "Oh? Aku penasaran, Aveline. Seberapa jauh kau siap bertarung sebelum segalanya runtuh di hadapanmu?"

**Pertempuran Batin**

Sementara di depan mereka pertempuran fisik terjadi, pertempuran batin di dalam diri Aveline mulai memuncak. Rook bukan hanya seorang teman—dia adalah salah satu orang yang paling dia percayai, orang yang selalu ada di sisinya sejak awal perjalanan mereka. Namun sekarang, dia berbalik melawan mereka semua.

"Aveline, kita tidak punya waktu!" suara Mira memotong lamunannya, menariknya kembali ke kenyataan.

Aveline mengangguk, membuang jauh-jauh emosinya yang bergolak. Ini bukan saatnya untuk merenung. Dia harus kuat, untuk timnya, untuk tujuan mereka.

"Kai, mundur!" seru Aveline tiba-tiba.