Chereads / Blackthorn Academy / Chapter 8 - Bab 12: Di Bawah Bayang-Bayang

Chapter 8 - Bab 12: Di Bawah Bayang-Bayang

Kegelapan malam merayap pelan, menyelimuti markas *Iron Roses*. Aveline, Sera, dan anggota lainnya sudah berkumpul di ruang pertemuan kecil. Mereka tahu bahwa waktu semakin sempit, dan informasi dari Rook menjadi satu-satunya harapan untuk menghentikan rencana besar *Shadow Ravens*. Meski risiko pengkhianatan selalu ada, Aveline percaya bahwa Rook benar-benar akan membantu mereka.

"Rook mengatur pertemuan di salah satu gudang lama yang ada di pelabuhan," kata Aveline, sambil menatap peta yang terhampar di atas meja. "Menurut informasi yang dia berikan, laboratorium rahasia mereka ada di dekat sana."

Hiro, yang berdiri di samping, mengerutkan alis. "Bagaimana kita bisa yakin dia tidak sedang menjebak kita?"

"Aku sudah mempertimbangkannya," jawab Aveline, menatap Hiro dengan tatapan tajam. "Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika kita menunggu terlalu lama, mereka akan menyelesaikan alat itu. Dan begitu alat pengendali pikiran itu siap digunakan, kita tak hanya kehilangan kekuatan, tapi juga kebebasan."

Aria, yang duduk di sudut ruangan, mengangguk. "Kita tak bisa membiarkan mereka menyelesaikan proyek ini. Jika mereka bisa mengendalikan pikiran, mereka akan menundukkan siapa pun yang menentang mereka. Seluruh dunia mungkin akan jatuh di bawah kendali mereka."

Aveline menatap para anggotanya satu per satu. Dia tahu bahwa mereka telah melalui banyak pertempuran bersama, namun ancaman kali ini lebih besar dan lebih kompleks. Ini bukan hanya tentang kekerasan fisik atau taktik militer; ini tentang psikologi, teknologi, dan pengkhianatan yang bisa datang dari mana saja.

"Kita akan membagi tim menjadi dua," kata Aveline sambil menunjuk peta. "Tim pertama akan bertugas menyelidiki dan mengamankan Rook. Kita harus memastikan bahwa dia benar-benar ada di pihak kita. Tim kedua akan langsung menyusup ke dalam laboratorium berdasarkan informasi yang kita dapatkan."

Elena, yang duduk di dekat Aveline, mengangguk. "Baik. Aku akan memimpin tim untuk bertemu Rook. Kami akan memastikan dia aman dan memberikan informasi yang benar."

"Kai, Sera, dan aku akan memimpin tim kedua," lanjut Aveline. "Kita harus bergerak cepat dan menghancurkan alat pengendali pikiran sebelum mereka sempat menggunakannya."

"Aku dan Hiro akan mengawal tim pertama," kata Elena. "Kalau ada yang tidak beres, kami akan melaporkan segera."

Semua orang setuju, dan rencana itu mulai berjalan dengan cepat. Mereka mempersiapkan perlengkapan mereka, menajamkan senjata, serta memeriksa kembali alat-alat komunikasi. Meski misi ini tampak sederhana di atas kertas, mereka tahu bahwa apa pun bisa terjadi di lapangan.

---

**Beberapa jam kemudian, di pelabuhan…**

Kabut tebal menyelimuti pelabuhan tua itu, membuat suasana semakin mencekam. Gudang-gudang tua yang sudah tak terpakai berdiri berjejer, seperti saksi bisu dari masa lalu yang penuh kejayaan dan kehancuran. Elena memimpin tim pertama, dengan Hiro dan dua anggota *Iron Roses* lainnya di belakangnya. Mereka bergerak pelan, hati-hati memperhatikan setiap sudut jalan.

"Apa kau yakin ini tempatnya?" bisik Hiro.

Elena mengangguk. "Ini yang dia katakan. Gudang nomor tiga belas."

Mereka mendekati pintu besar yang berkarat, dan Elena mengetuk tiga kali, seperti yang sudah diinstruksikan oleh Rook. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka sedikit, dan sesosok bayangan muncul di baliknya.

"Rook?" Elena memanggil dengan pelan, memastikan.

Bayangan itu melangkah keluar dari kegelapan, memperlihatkan sosok Rook dengan wajah cemas. Dia mengenakan jaket hitam dan matanya tampak lelah, seolah dia sudah lama tidak tidur.

"Aku tidak punya banyak waktu," kata Rook cepat. "Mereka mulai curiga bahwa aku bekerja untuk kalian. Tapi aku berhasil mendapatkan peta laboratorium rahasia mereka. Alat pengendali pikiran itu hampir selesai."

"Apa kau yakin ini bukan jebakan?" tanya Hiro tajam, masih tidak sepenuhnya percaya.

Rook menggeleng. "Aku sudah mempertaruhkan nyawaku untuk ini. Mereka tidak tahu apa yang aku lakukan. Tapi aku tidak bisa menjamin bahwa kita punya banyak waktu. Mereka akan segera memindahkan alat itu ke tempat lain begitu selesai."

Elena menerima peta yang diberikan Rook. Saat dia membukanya, terlihat bahwa laboratorium itu berada di bawah tanah, tepat di bawah salah satu gudang yang sudah lama tidak terpakai. Pintu masuknya tersembunyi dengan sangat baik, hanya bisa diakses melalui lorong rahasia di balik rak barang-barang tua.

"Kita harus bergerak sekarang," kata Rook tegas. "Jika tidak, kalian tidak akan punya kesempatan lain."

Elena menatap peta itu dengan seksama. Segalanya tampak cocok dengan informasi yang mereka miliki. "Baik. Mari kita hubungi tim kedua."

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Elena dan Hiro langsung siaga, sementara Rook terlihat panik.

"Mereka datang!" bisik Rook dengan suara tercekik.

Elena memberi isyarat kepada timnya untuk segera berlindung di balik tumpukan kontainer yang ada di sekitar mereka. Tak lama kemudian, tiga orang berpakaian serba hitam—anggota *Shadow Ravens*—muncul di depan gudang. Mata mereka tajam, memindai setiap sudut seolah mencari sesuatu.

"Rook!" salah satu dari mereka memanggil. "Kau di sini?"

Jantung Rook berdegup kencang. Jika mereka menemukan dia bersama dengan *Iron Roses*, nyawanya sudah pasti tamat. Elena melihat kegelisahan di mata Rook dan tahu bahwa mereka tidak punya banyak pilihan.

"Kita harus bertindak sekarang," bisik Hiro. "Sebelum mereka menemukannya."

Elena mengangguk dan memberi isyarat kepada yang lainnya untuk bersiap. Dengan gerakan cepat dan terkoordinasi, mereka menyerang para anggota *Shadow Ravens* dari balik persembunyian mereka. Hiro, dengan kekuatan yang luar biasa, menjatuhkan salah satu dari mereka hanya dengan satu pukulan. Elena dan anggota lainnya dengan cepat menghabisi yang lain, meski perlawanan cukup sengit.

Setelah semuanya selesai, Elena menghela napas panjang. Mereka berhasil mengatasi ancaman tersebut, namun waktunya semakin sempit.

"Kita harus cepat," kata Elena tegas, berbalik kepada Rook. "Kau ikut dengan kami."

---

**Di sisi lain pelabuhan, tim kedua yang dipimpin oleh Aveline…**

Sementara itu, Aveline dan timnya sudah mendekati lokasi laboratorium berdasarkan petunjuk dari peta yang mereka dapatkan. Mereka bergerak dengan cepat dan senyap, memastikan tidak ada penjaga yang melihat mereka. Namun, di balik ketenangan malam, Aveline merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Terasa terlalu sepi," gumam Sera, menoleh ke kanan dan kiri.

Kai, yang selalu tenang, mengangguk. "Mereka pasti menyembunyikan sesuatu di sini."

Ketika mereka sampai di pintu masuk yang tersembunyi, Aveline berhenti sejenak. Tangannya terulur ke dinding tua itu, mencari mekanisme tersembunyi yang disebutkan Rook. Setelah beberapa detik, dia menemukannya. Sebuah tuas kecil yang tertanam di balik tumpukan kayu tua. Dengan satu tarikan, sebuah pintu rahasia terbuka.

Mereka semua masuk ke dalam dengan hati-hati. Lorong sempit dan lembab itu membawa mereka lebih dalam ke perut bumi, menuju tempat di mana teknologi yang mengerikan sedang dikembangkan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jelas bunyi-bunyian mesin terdengar. Aveline tahu bahwa mereka semakin dekat.

Ketika mereka mencapai pintu besar dari baja, Aveline berhenti dan menoleh ke yang lain. "Ini dia. Alat itu pasti ada di dalam."

Sera mempersiapkan senjatanya, begitu juga Kai. Mereka tahu bahwa apa yang menunggu di balik pintu itu bisa menjadi akhir dari segalanya, baik bagi mereka maupun bagi musuh mereka.

Dengan hati-hati, Aveline membuka pintu baja itu, dan di baliknya, mereka melihatnya—alat pengendali pikiran yang mengerikan. Mesin besar yang berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kabel-kabel yang berserakan dan layar-layar monitor yang menunjukkan grafik aneh.

Namun, bukan hanya alat itu yang mereka temukan. Di sisi lain ruangan, berdiri seorang pria yang tidak asing bagi mereka. Pemimpin *Shadow Ravens*, Damian, tersenyum licik saat mereka masuk.

"Kalian akhirnya sampai juga," kata Damian. "Aku sudah menunggu."

Aveline mengangkat senjata, bersiap untuk bertarung. "Ini sudah berakhir, Damian. Kami akan menghancurkan alat itu, dan tidak ada yang bisa menghentikan kami."

Damian tertawa kecil, senyumannya semakin melebar. "Kau pikir begitu? Kau lupa, A

veline. Kalian hanya bidak di atas papan caturku."

Aveline tak bergeming. Pertarungan besar akan segera dimulai, dan dia tahu bahwa tidak ada jalan kembali.