Airiz berdiri dari duduknya dan mulai menyusun kembali langkah menuju ke arah hotel. Angin di luar kian dingin diiringi tirai malam yang kini semakin melabuhkan tirainya.
Tak berlama-lama di situ Airiz segera meninggalkan kawasan pantai. Dia langsung tak menyadari ada sepasang mata tajam yang menatapnya dari kejauhan.
Airiz melangkah masuk ke dalam kamar hotel.Setelah Airiz kembali ke kamar hotel, ia menutup pintu perlahan dan membiarkan udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulitnya yang sedikit lengket oleh garam laut.
Langkah kakinya terasa lebih berat, tapi bukan karena lelah, melainkan karena pikirannya mulai dipenuhi oleh berbagai hal yang tadi ia temui di pantai.
Tanpa membuang waktu, Airiz menuju kamar mandi, membiarkan air hangat mengguyur tubuhnya. Setiap tetes air yang mengalir seakan menghapus sisa-sisa hari yang panjang, membasuh beban pikiran yang selama ini melekat dalam dirinya. Pikiran tentang hidupnya yang serba sulit perlahan-lahan memudar bersama uap hangat dari air shower.
Setelah selesai mandi, Airiz mengganti pakaiannya dengan baju kaos longgar dan celana santai. Rambutnya masih basah, tapi ia merasa lebih segar dari sebelumnya. Perutnya mulai meronta, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi.
Dia melirik jam di dinding kamar. Jam sudah menunjukkan jam 8.45 malam
"Aku perlu keluar sebentar," pikirnya, sebelum menyambar jaket tipis dan kunci kamar.
Dia memutuskan untuk pergi ke toko terdekat, mungkin ada warung makan atau kedai kecil yang menjual makanan ringan yang boleh mengisi perutnya.
Setelah turun dari hotel, Airiz berjalan di sepanjang trotoar yang sedikit sepi. Lampu-lampu jalan yang redup memberi suasana tenang, meskipun ada sedikit rasa aneh dalam keheningan malam ini.
Tak jauh dari hotel, dia menemukan sebuah toko kecil yang terletak di pojokan. Toko itu tampak sederhana, dengan jendela besar yang menampilkan berbagai makanan ringan dan minuman di dalamnya.
Di depan toko, ada beberapa kursi dan meja kayu yang terletak di bawah tenda. Aroma makanan menggoda mulai tercium dari arah dapur, membuat perutnya semakin lapar.
Saat Airiz masuk ke dalam toko, suara lonceng kecil di atas pintu berdenting, menandakan kedatangannya. Di belakang meja kasir, seorang wanita paruh baya tersenyum ramah padanya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan suara lembut.
Airiz membalas senyuman itu, matanya menelusuri menu sederhana yang tergantung di dinding. Dia memesan seporsi nasi goreng dan segelas teh hangat, pilihan yang sederhana namun menghangatkan.
Sambil menunggu makanannya siap, Airiz duduk di salah satu meja di luar, menghadap jalan yang sedikit sunyi. Cahaya lampu jalan membuat bayang-bayang panjang di atas trotoar. Namun, saat matanya menyapu area sekitar, sekelebat bayangan di kejauhan membuatnya terdiam.
Ada sesuatu—atau seseorang—yang memperhatikan gerak-geriknya dari sudut jalan.
Airiz mengalihkan pandangannya dengan cepat, cuba meyakinkan dirinya bahawa itu hanya bayang-bayang yang terbentuk daripada cahaya jalan. "Mungkin cuma imajinasi aku saja," gumamnya dalam hati, cuba menenangkan diri. Namun, perasaan tidak selesa tetap menyelubungi fikirannya, seperti ada seseorang yang memerhatikannya dari jauh. Dia meneguk air dari botol yang ada di meja, berusaha untuk fokus pada hal-hal yang lebih logik—makanan dan udara malam yang tenang.
Tak lama kemudian, nasi goreng yang dipesan Airiz dihidangkan di mejanya. Aromanya begitu menggoda, membuat perutnya semakin lapar. "Nasi goreng ayam spesial," kata pelayan sambil meletakkan pinggan di hadapannya. Porsinya cukup besar, dengan potongan ayam goreng rangup yang diletakkan di atas nasi goreng berwarna kecokelatan. Hirisan timun dan tomato menghiasi sisi pinggan, manakala di atasnya terletak telur mata kerbau separuh masak yang tampak sempurna.
Airiz mengambil sudunya, lalu menyuapkan nasi goreng yang masih berasap ke dalam mulutnya. Rasanya begitu enak, bumbu rempah yang cukup dengan sedikit rasa pedas. Potongan ayam gorengnya rangup di luar tetapi lembut di dalam, mencipta gabungan rasa yang membuatnya lupa sejenak akan perasaan tidak selesa tadi.
Namun, setiap kali Airiz menoleh ke arah jalan, perasaan itu kembali. Bayangan tadi sudah tiada, tetapi entah kenapa, dia merasakan seakan-akan masih ada sesuatu—atau seseorang—yang memerhatikannya dari kegelapan. Walaupun begitu, Airiz cuba mengabaikan perasaannya. Dia tidak mahu membiarkan rasa takut atau curiga merosakkan momen tenangnya di tempat ini. Lagipun, dia hanya seorang pelancong yang sedang menikmati makan malam sederhana di sebuah bandar kecil yang damai.
Setiap suapan nasi goreng yang dimakannya seolah-olah menenangkan saraf-saraf yang tegang. Nasi yang gurih, telur yang lembut, dan ayam goreng yang rangup benar-benar menyenangkan perut dan fikirannya. Dia sesekali meneguk teh hangat yang manis, menikmati setiap tegukan yang melalui tekaknya. "Nasi goreng ayam spesial" ini benar-benar menjadi pelarian yang sempurna dari segala perkara yang sempat mengganggu fikirannya.
Namun, jauh di lubuk hati, Airiz tahu perasaan itu belum benar-benar hilang. Ada sesuatu yang mengintai, dan dia tidak tahu bila atau bagaimana ia akan muncul lagi...