Chereads / system menyalin bakat sepak bola / Chapter 2 - BAB 2 Piala Dunia

Chapter 2 - BAB 2 Piala Dunia

Bahkan setelah lebih dari satu jam,aku tidak bisa merasakan kesadarannya memudar.

Goooooll!!!!

"Aaaaaaaaaaaaa"

Suara gol yang tiba-tiba mengejutkanku. Aku membuka mata dengan kaget. Suara itu berasal dari ruangan di atasku.

Bahkan setelah menunggu lebih dari satu jam agar kesadaranku memudar, semuanya terasa begitu nyata bagiku. Penglihatanku tidak kabur atau tubuhku tidak memudar. Aku bisa merasakan dengan jelas segala sesuatu di sekitarku.

Sambil mengusap wajahku dengan jari-jari, aku menyadari ada sesuatu yang aneh.

"Kenapa kulitku begitu halus? Dan kenapa aku merasa ukuran tubuhku menyusut?"

Saat mengusap wajahku dengan jari-jariku, ada beberapa pertanyaan muncul di benakku. Ruangan itu remang-remang oleh lampu meja di samping tempat tidurku.

Tidak ada yang masuk akal bagiku. Namun, untuk memastikannya apakah itu mimpi atau bukan, aku pun mencubit pipiku.

"Aduhh!!! Sakit sekali."

Akupun menjerit kesakitan.

Setelah mencubit pipihku, aku masih tahu bahwa itu bukan mimpi dan juga tidak mati. Akupun kemudian mengulurkan tangan untuk melihat kenapa tanganku terasa begitu kecil.

Tanganku seperti tangan anak-anak, lembut dan halus.

"Hee!! Kenapa tanganku begitu kecil?? Apa ini tanganku?"

Dengan tak percaya, aku pun mencoba menggoyangkan jari-jarinya. Jari-jarinya bergerak persis seperti yang kuinginkan.

"Hah?. Jangan bilang-"

Aku pun menarik selimut dengan kuat ke samping dan melompat dari tempat tidur.aku kemudian berlari menuju lemari. Saat aku mendekati cermin lemari, bayangan seorang anak kecil menjadi jelas di cermin.

Mata hitam, rambut hitam pendek dan gelap yang ikal seperti mi dan dengan bibir stroberi merah dan pipi tembam, aku mengenakan kaus Barcelona.

Dengan tak percaya, aku mengusap wajahku dengan jari-jariku. Pantulan di cermin meniru gerakanku yang sama persis.

"Apakah- Apakah aku kembali kemasah lalu?"

Matanku terbuka lebar, wajahku menunjukkan ekspresi terkejut, aku tidak percaya bahwa aku telah kembali ke masa lalu.

Saat aku terus menatap bayangan di cermin, air mata mengalir di mataku. Dan saat air mata itu terkumpul, aku tidak bisa lagi menahannya. Air mata pun jatuh melalui mataku seperti hujan monsun yang tiba-tiba.

Aku terus menangis seperti anak kecil di depan cermin. Setelah air mataku mulai menghilang, akupun mulai menyeka air mata dari wajahku. Sementara mataku penuh air mata, wajahku menampakkan senyuman.

Aku sangat gembira bisa kembali hidup. Setelah beberapa saat ketika aku akhirnya bisa mendapatkan kembali ketenanganku, aku mulai mencari telepoku.

Jika aku ingat dengan benar maka aku akan menyimpannya di laci meja di samping tempat tidurku. Aku berjalan menuju lampu meja dan menarik laci.

Di lacinya ada memo dan telepon genggam.

"Aku benar, memang ada di sini."

Aku berbisik dengan suara lembut.

Aku meraih teleponku dan mencoba menyalakan teleponku. Sebuah gambar Kapten Tsubasa dari anime terkenal Captain Tsubasa muncul di layar berandanya. Sambil melihat wallpaper-nya,aku terkekeh.

Aku melihat tanggal dan ternyata tanggal 14 Juli 2014.

"Jika sekarang tahun 2014, berarti umurku 5 tahun."

Aku merenung sambil melihat tanggal.

"Tunggu... tunggu... 14 Juli?? Sepertinya ada yang terlewat?"

Ada yang terasa terlewat setelah melihat tanggal. Seolah-olah aku melupakan sesuatu, aku terus mencoba mengingat apa yang kulupakan.

"Piala Dunia? Final Piala Dunia?"

Aku berseru dengan gembira.

Tanggal 14 Juli 2014 adalah final Piala Dunia saat Argentina dan Jerman akan saling berhadapan.

Setelah mengingat apa yang telah kulupakan, akupun segera keluar kamar dan bergegas menuju ruang tamu. Saat aku sampai di ruang tamu, di sana ada seseorang yang sedang duduk di depan TV sambil memegang sekaleng bir di tangannya.

Melihat orang itu, aku menghentikan gerakaku. Aku tahu siapa orang itu. Aku sangat mengenal orang itu.

"Kau akhirnya datang?"

Pria di depanku bicara.

Aku terkejut dengan ucapannya. Tidak dapat menjawab, aku berdiri mematung di hadapan lelaki itu dengan penuh air mata.

"Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"

Pria dewasa itu bertanya dengan wajah khawatir.

Lampu ruangan dimatikan dan satu-satunya cahaya yang menerangi seluruh tempat itu adalah sinar biru yang keluar dari televisi.

Melihat mataku penuh air mata, lelaki itu bergegas menghampiriku. Dia kemudian meraih tangan kecilku dan mulai menyeka air mata di wajahku.

"Apa kau mengalami mimpi buruk?"

Pria itu berbicara sambil menyeka air mata di wajahku dengan lembut.

Aku tidak bicara apa pun dan terus menangis seperti anak kecil. Aku tidak bisa menahan diri untuk tak menangis, lagipula sudah lama sejak terakhir kali aku mendengar suaranya.

Saat kuangkat wajahku, aku dapat melihat dengan jelas pria dewasa dengan mata hitam dan rambut hitam pekat itu. Wajahnya masih sama seperti yang pernah diingatku. Rahang tegas, hidung mancung, beberapa helai rambut tipis di rahangnya dan di bawah hidungnya membuatnya tampak gagah dan tampan. Bentuk tubuhnya tidak gemuk maupun langsing. Dengan berat badan ideal, otot-ototnya terbentuk dengan jelas.

Pria itu tidak lain adalah ayahku yang telah meninggal saat aku berusia 16 tahun. Setelah 11 tahun penuh, aku akhirnya bisa bertemu lagi dengan ayahku setelah hidup kembali.

Kulihat wajah lembutnya, aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku berlari dan melempar diriku ke dalam pelukan ayahku dan memeluknya erat-erat. Ayahku, yang kebingungan dengan tingkahku yang tidak biasanya, tetap memelukku.

"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"

Serunya sambil membelai punggungku dengan lembut.

Kami tetap dalam posisi itu untuk waktu yang lama. Baik aku maupun ayahku, Takashi, tidak dapat melepaskan diri.

"Umm.... Apa kau mau menonton Piala Dunia?"

Bisik Takashi.

Aku akhirnya ingat bahwa alarm yang membangunkanku telah kusetel untuk membangunkanku untuk bisa menonton final Piala Dunia bersama ayah.

Aku kemudian dengan lembut menarik lenganku dan menjauhkan diriku dari ayah. Dan saat aku menghadap ayah takashi sekali lagi, aku memperlihatkan senyum masam dan berkata;

"Argentina pasti menang."

"Benar! Jerman pasti menang."

Ayahku membalas dengan senyuman.

Aku tahu bahwa Jerman akan menang, tetapi saat itu aku tetap mendukung Argentina. Dan ayahku mendukung Jerman.

Setelah 90 menit tanpa gol, pertandingan berlanjut ke babak tambahan. Bahkan babak pertama babak tambahan tidak ada gol dan pertandingan telah memasuki babak tambahan kedua saat aku tiba di ruangan tamu.

Dengan skor 0-0, skor imbang hingga menit ke-115. Aku tahu bahwa pada menit ke-117, Mario Gotje akan mencetak gol kemenangan untuk Jerman, tetapi aku tetap diam saja. Aku menatap ayahku, wajahnya dipenuhi kegembiraan. Aku dapat merasakan kegembiraannya dengan jelas.

"Go- Go- Go- Gooooaallllllll!!!!!!!"

Ayahku bersorak kegirangan.

Beberapa suara lainya dari sekitar bergema bersama sorak-sorainya. Pada babak kedua perpanjangan waktu, pada menit ke-117, Mario Gotje mencetak gol kemenangan untuk Jerman yang membawa negaranya meraih kemenangan.

Setelah gol itu, Argentina tak bisa lagi mengejar Jerman. Skor akhir pertandingan 0 untuk Argentina dan 1 untuk Jerman. Jerman memenangkan piala dunia dengan satu gol itu yang membuat setiap penggemar Andreas Messi kecewa.

Jika itu adalah momen lain, aku juga akan kecewa. Bahkan aku menangis saat Argentina kalah di piala dunia. Namun kali ini, senyum di wajah ayahnya jauh lebih berarti bagiku daripada apa pun di dunia ini.

"Apa yang kukatakan padamu? Bukankah kukatakan bahwa Jerman akan memenangkan piala dunia. Hahahahahahahaha"

Ayahku mulai tertawa terbahak-bahak saat Jerman mengangkat piala dunia.

Ayahku begitu gembira hingga lupa bahwa putranya baru berusia 5 tahun.

"Tetap saja sama. Tak ada ampun bagi lawan. Bahkan jika lawan itu putramu sendiri."

Aku mengerutkan kening sambil menatap ayahku.

"Diam, biarkan aku tidur!!"

Suara lain datang dari kamar tidur utama.

Suara itu dipenuhi amarah. Begitu mendengar suara itu, ayahku langsung tutup mulut dan terdiam.

"Kita harus merahasiakan ini, atau tidak ibumu akan menghajar kita berdua."

Bisik Takashi.

Suara yang dipenuhi amarah itu milik ibuku. Tidak seperti ayah dan anak itu, ibuku sama sekali tidak tertarik pada sepak bola. Ibuku lebih ke sisi praktis. Yang dia inginkan hanyalah mendapatkan cukup uang dan menjalani kehidupan yang layak bersama keluarganya.

Bahkan di kehidupan sebelumnya, dia selalu memaksaku untuk belajar dengan baik dan menjadi dokter atau pengacara. Namun, hasratku terhadap sepak bola mengalahkan harapanya terhadapku.

Meskipun ibuku terus-menerus mengomel, aku sangat ingin menjadi pemain sepak bola profesional.