Waktu berlalu sangat cepat bersamanya, Kairos sepertinya mulai menyukai tempat ini... Ia bebas melakukan apa saja yang dia mau, dengan Cylus.
Malam itu, di tempat tidur, mereka sudah berbaring, bersiap untuk tidur. Tinggal tiga hari lagi sebelum Kairos diantar kembali ke Sanctum. Selama ini, Kairos terlalu sibuk bersenang-senang hingga melupakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Lus? Kau sudah tidur?" bisiknya pelan, mencoba mengusik keheningan.
"Belum, kenapa?" jawab Cylus, suaranya rendah namun tenang. Ia memutar tubuhnya, menghadap Kairos, ekspresinya seperti biasa, lembut.
Kairos duduk perlahan, ada sesuatu yang perlu dia tanyakan. "Kenapa aku diburu?" tanyanya, nada suaranya terdengar ragu, namun tegas.
Deg! Jantung Cylus berdetak keras mendengar pertanyaan itu. Tenggorokannya kering, ia tahu saat ini akan tiba, tapi tetap saja... bagaimana ia akan menjelaskan semua ini kepada Kairos?
"Kai... tidur ya. Udah malam. Aku ngantuk," katanya pelan, suaranya mulai terasa berat, berharap bisa menghindari percakapan ini.
Tapi Kairos tidak menyerah. "Jawab sekarang!" Ia mengubah posisinya, memandang Cylus dengan mata yang berkilau penuh emosi, meminta jawaban.
Cylus menegang. Amarah tiba-tiba muncul, menggelegak di dalam dirinya. "Kau lupa sedang berbicara dengan siapa, hah?!" Cylus berteriak, suaranya menggema di ruangan yang semula sunyi. Ia bangun dari tempat tidur, dengan gerakan kasar, ia menyalakan lampu. Matanya berkilat, dingin.
Kairos terdiam. Ketakutan merayap pelan-pelan di hatinya, meremas kuat. Ia seharusnya tahu, ia berhadapan dengan Cylus. Sifat Cylus yang lembut dan menyenangkan hari-hari kemarin memberinya keberanian untuk membangkang, Ia jadi lupa diri.
"Ya! Akulah yang menangkapmu! Eldritch sepertimu memang harus ditangkap dan diambil kekuatannya," bentak Cylus, matanya tajam dan marah. "Pergi sekarang! Pergi!" Teriaknya lagi, nadanya terdengar penuh rasa frustrasi, hampir putus asa.
Air mata mulai mengalir di pipi Kairos, jatuh tanpa henti. Rasa takut dan kekecewaan menyelimutinya. Setiap kenangan bahagia selama bersama Cylus hancur seketika, bagai kaca yang pecah berkeping-keping. Suara tawa, kebersamaan, semua sirna dalam sekejap.
Kairos tak mampu berkata apa-apa, tubuhnya gemetar di tempat tidur, tak bisa bergerak. Tangisnya tertahan, terisak dalam hening yang menyiksa.
Melihat Kairos menangis, hati Cylus terasa diremas, tapi kemarahan dan ketakutannya menutupi perasaan itu. "Kau tidak pergi? Baiklah, aku yang pergi!" Cylus menghardik lagi, suaranya penuh dengan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Dengan satu gerakan, ia keluar dari kamar dan membanting pintu keras-keras, meninggalkan Kairos yang tersedu sendirian.
Begitu keluar, tubuh Cylus melemah. "Ughh!" Tangan kirinya menggenggam dadanya yang terasa begitu sakit, seakan ada sesuatu yang mencengkram kuat jantungnya. "Mulai lagi..." gumamnya pelan, wajahnya pucat.
Ia memaksakan diri berjalan ke arah pintu depan rumah, keluar dengan langkah tergesa, pergi entah kemana, hanya berharap bisa menjauh dari rasa sakit di dadanya, dan dari perasaan yang membingungkan dalam hatinya.
Kairos tetap di tempatnya, terisak dalam kegelapan yang terasa begitu dingin, sepi, dan menyakitkan.
***
Sudah tiga hari Kairos berada di rumah sendirian. Cylus tidak pernah pulang sejak kejadian malam itu. Meski Cylus tidak ada, para pelayan tetap datang untuk mengantarkan makanan setiap harinya. Kairos tidak kelaparan, tapi perasaan kesepian mulai merayapi dirinya. Ia terus menunggu... menunggu kejelasan dari Cylus.
Ting Tong! Bel rumah berbunyi, suara yang memecah keheningan pagi itu. Kairos yang sedang makan, meletakkan sendoknya dan bergegas menuju pintu. Dengan cepat ia membukanya.
Cekriekk... Pintu terbuka.
"Selamat pagi, Tuan. Perkenalkan, namaku Hans. Aku ditugaskan untuk mengantarmu kembali ke Sanctum hari ini. Apakah Tuan sudah siap?" Seorang pria berpakaian militer berdiri di depan pintu, ekspresinya formal namun ramah.
Kairos terdiam sejenak, pandangannya menerawang.
Ahh... iya... sesuai janji Cylus, hari ini aku akan pulang...
Melihat Kairos yang tidak merespons, pria itu mencoba mengajaknya bicara lagi, "Tuan? Tuan?"
Kairos tersentak dari lamunannya. "Oh! ya, maaf. Silakan masuk dulu. Aku masih harus mengambil beberapa barang."
Hans tersenyum tipis, tapi menolak dengan sopan, "Tidak apa-apa, Tuan. Aku akan menunggu di luar. Tidak usah terburu-buru."
Kairos mengangguk pelan, tapi hatinya merasakan dorongan yang mendesak. Ia tak bisa menahan pertanyaan yang terus berputar di benaknya. "Umm... Cylus... dia di mana?"
Hans tampak sedikit terkejut, tapi segera menjawab, "Sir Cylus? Dia sedang sibuk di gedung utama. Banyak tugas yang harus ia tangani."
"Ah...oke," jawab Kairos lirih. Rasa kecewa jelas terpancar di matanya.
Apakah dia bahkan tidak ingin melihatku hingga detik terakhir?
Katanya ingin mengantarku...Kau ingkar janji...
Saat Hans berdiri menunggu, Kairos merasa dadanya semakin sesak. Kekecewaan yang telah ia simpan selama tiga hari ini meletup, memicu gelombang emosi yang tak bisa ia tahan lagi. Matanya mulai memanas, pandangannya kabur karena air mata yang mulai mengalir.
Hikss... Hikss...
Suara tangis yang terpendam akhirnya pecah. Kairos menangis pelan, bahunya bergetar, airmatanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Semua kenangan manis, kebahagiaan yang ia rasakan bersama Cylus, kini berubah menjadi rasa sakit yang menghimpit.
Hatinya sudah menyayangi Cylus tanpa ia sadari.
Bodohnya aku...
"Tuan?" Hans bertanya, panik melihat air mata yang mengalir di wajah Kairos. "Apakah Anda baik-baik saja?"
Kairos buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangannya, meskipun hatinya terasa berat. Ia menatap Hans dengan mata sembab dan berusaha tersenyum, meski hanya menghasilkan senyuman yang rapuh dan terpaksa. "Maaf," gumamnya dengan suara serak, lalu berbalik masuk ke dalam rumah.
Hans berdiri diam di ambang pintu, kebingungan. Suasana itu penuh dengan keheningan yang menyakitkan, dan rasa kehilangan yang seolah-olah menelan Kairos perlahan.
Di dalam rumah, Kairos berlari ke kamar. Ia merasa seperti anak kecil yang tersesat, tak tahu lagi harus bagaimana. Di belakang pintu kamar yang ia tutup, tangisnya pecah lagi, kali ini lebih keras, lebih menyakitkan.
---To Be Continued...
(┬┬﹏┬┬) (┬┬﹏┬┬) (┬┬﹏┬┬) (┬┬﹏┬┬)