Chereads / Terra Vespera 18+ (BL) / Chapter 22 - Chapter 21. Remember.

Chapter 22 - Chapter 21. Remember.

"Feyn," panggil Cylus, suaranya rendah, seperti tertahan di tenggorokan.

"Iya, Sir," jawab Feyn sambil melangkah mendekat. Tubuhnya tegak, penuh hormat.

"Dia... sudah pergi?" tanya Cylus, meski suara itu nyaris berbisik. Pertanyaannya tentu merujuk pada Kairos.

Feyn mengangguk dengan pasti. "Sudah, Sir."

"Hahh..." Cylus menghela napas panjang, tangannya otomatis bergerak ke arah pelipisnya, memijat pelan, mencoba meredakan rasa sakit yang samar. Ada beban berat di hatinya, tapi ia tahu ini yang terbaik. 

Baguslah... Dia kembali ke tempat asalnya.

Feyn hanya berdiri di sana, merasa kikuk di tengah keheningan yang tiba-tiba terasa tegang. Akhir-akhir ini, Cylus bertingkah aneh. Feyn sudah bekerja cukup lama dengan Cylus untuk memahami bahwa ada perubahan mendalam dalam sikap dan perilakunya. 

Dari sosok yang selalu dingin dan terukur, Cylus tiba-tiba saja bertanya hal-hal yang tak pernah terlintas sebelumnya—tentang tempat bermain, tentang pantai, tentang makanan. Hal-hal yang sebelumnya tak pernah penting bagi komandan yang keras dan disiplin itu.

Feyn tak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah dalam pikirannya. Siapa laki-laki itu? Dia melihatnya beberapa kali bersama Cylus, selalu di sisinya, penuh canda dan tawa. Apakah itu pacarnya? Tetapi jika benar begitu, kenapa sekarang malah disuruh pergi? Semua itu tak masuk akal di pikirannya.

"Eee... Sir?" Feyn memberanikan diri untuk berbicara, meski suaranya sedikit ragu.

Cylus menoleh sedikit, tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang kaku. "Bicara," jawabnya singkat.

"Sir, tadi Hans melapor bahwa pria itu... Kairos, dia menangis di depan pintu saat hendak pergi," Feyn terdiam sejenak, mengukur reaksi Cylus. "Dia juga sempat menanyakan Sir."

Cylus berhenti memijat pelipisnya. Jantungnya kembali berdetak kencang mendengar nama Kairos disebut. Ia terdiam, wajahnya tetap tenang, tapi pikirannya kacau, penuh dengan ingatan Kairos. 

Bagaimana wajahnya yang ceria, senyum polosnya saat mereka bermain bersama, tawa lepasnya saat menikmati hal-hal sederhana. Dan kini, gambaran Kairos yang menangis sendirian, meninggalkan tempat itu dengan air mata yang tak bisa ia hapus dari benaknya.

Kairos...

***

"Ck, mana sih ni orang," gerutu Aric sambil bolak-balik di depan gerbang Sanctum, langkah-langkahnya gelisah dan cemas. Sudah berjam-jam ia menunggu, menanti sesuatu yang tak kunjung datang.

"Katanya hari ini, tapi kok gak sampe-sampe," keluhnya lagi, kakinya mulai terasa pegal karena terus mondar-mandir. Matahari sudah terbenam dan kini malam telah turun, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran Kairos.

Dua minggu yang lalu, sebuah kotak misterius ditemukan tergeletak di depan gerbang Sanctum oleh pasukan patroli. Di dalamnya terdapat secarik kertas anonimus dengan pesan yang singkat namun menggetarkan hati Aric: Dua minggu lagi, aku akan mengembalikan Kairos. Sejak saat itu, Aric tak bisa tidur nyenyak, menunggu hari ini tiba.

Tapi sekarang, saat yang ditunggu-tunggu itu malah membuatnya semakin gelisah. Waktu sudah larut dan belum ada tanda-tanda keberadaan Kairos. Aric mulai menggertakkan giginya, matanya menatap lurus ke jalan seolah berharap seseorang akan muncul kapan saja.

"Trus lu! Heh, lu!" teriaknya sambil menunjuk seseorang yang dari tadi bersandar di dinding tak jauh darinya. Orang itu terlihat tenang, seperti tidak terganggu dengan situasi. "Ngapain lu disini?"

Orang itu adalah Lucian, dengan tatapan dingin yang tak berubah sejak pertama kali mereka tiba di sana. "Disuruh Lady Elara," jawabnya pendek, tanpa ekspresi.

Aric mendengus, memutar bola matanya dengan kesal. "Haha... Lady Elara lagi," gumamnya pelan. Lady Elara memang selalu khawatir Aric akan bertindak gegabah, seperti saat dia nekat kembali ke hutan beberapa hari yang lalu untuk mencari Kairos. 

Aric tidak pernah bisa duduk diam, apalagi jika menyangkut Kairos, dan surat anonimus itu—meskipun memberi harapan—masih terasa seperti jebakan.

Lucian tetap diam, hanya memandang Aric yang semakin tidak sabar. Hatinya bergemuruh meski wajahnya tak menunjukkan apapun. Di balik ketenangannya, ada sesuatu yang disimpannya selama ini.

Dia... tidak mengingatku, batin Lucian. Tatapannya sedikit melembut saat melihat Aric yang masih terus berjalan mondar-mandir dengan gelisah. 

~

"Kakak! Ayo kejar aku!" seru seorang anak dengan suara riang, senyumnya lebar dan penuh keceriaan. Ia berlari pelan di atas rerumputan yang lembut, sementara rambutnya yang berantakan menari di atas dahinya, mengikuti setiap gerakannya.

Anak lainnya, yang sedikit lebih tinggi, tersenyum tipis sambil mengejar dari belakang. "Tunggu aku! Jangan lari kencang-kencang!" teriaknya, suaranya terdengar bercampur antara tawa dan usaha untuk mengejar.

Mereka bercanda dan tertawa bersama, suara mereka memenuhi udara sore yang tenang. Setiap langkah kaki kecil mereka membuat rerumputan bergoyang, dan di tengah permainan mereka, hanya ada kebahagiaan dan kebebasan tanpa beban.

~

Aric menatap Lucian sekilas, pandangannya terasa aneh.

Ah bomat!

lalu kembali menatap jalan. "Kairos... mana lu?" gumamnya pelan, matanya menatap gelapnya malam yang seolah tak memberikan jawaban.

---To Be Continued...

Kairos : Jauh bener yak ini Sanctumnya 😪

Aric : Kairossss 😭