Chereads / Melody in the Shadows / Chapter 16 - Gate of Darkness

Chapter 16 - Gate of Darkness

Setelah mereka dengan terpaksa harus kembali ke Kuil Tua sebelumnya.

di malam yang sudah larut ketika Hana dan Arga akhirnya tiba di kuil tua di puncak pegunungan, Udara di sekitar mereka terasa tebal, seolah-olah dipenuhi oleh kehadiran kekuatan gelap yang belum mereka pahami sepenuhnya. Dinding batu kuil itu berdiri megah, ditutupi lumut dan tanda-tanda usang.

Namun kekuatan misterius dari Ordo Kegelapan masih terasa menggantung di udara.

Arga menatap kuil itu dengan serius. "Ini tempatnya," katanya dengan suara rendah. "Di sini semua dimulai, dan di sini juga semua akan segera berakhir."

Hana mengangguk, menggenggam tangan Arga erat-erat. Meskipun ada ketakutan yang merayap di benaknya, dia merasa tenang dengan Arga di sisinya. Mereka telah menghadapi begitu banyak bahaya bersama, dan dia percaya bahwa mereka akan melewati ini juga.

"Apakah kamu yakin kita bisa melakukannya?" tanya Hana, sedikit ragu. "Kekuatan yang kita hadapi di sini... terlalu besar."

Arga menatapnya dalam-dalam, memberikan senyum yang penuh keyakinan. "Kita telah mengalahkan musuh-musuh yang lebih berbahaya. Kita hanya perlu tetap fokus dan percaya pada diri kita sendiri. Yang terpenting, kita tidak akan menyerah."

Mereka mulai menyusuri lorong kuil yang gelap, hanya ditemani cahaya obor kecil yang dibawa Arga. Di sepanjang dinding, terdapat simbol-simbol kuno yang sama dengan yang ada di buku yang mereka temukan di perpustakaan.

Simbol-simbol itu mengisyaratkan kekuatan kegelapan yang terperangkap di kuil ini selama berabad-abad, menunggu waktu yang tepat untuk dilepaskan.

Di ujung lorong, mereka tiba di sebuah ruang besar dengan altar di tengahnya. Di atas altar itu terdapat sebuah batu hitam berukuran besar yang memancarkan energi gelap. Itu adalah sumber kekuatan Ordo Kegelapan, benda yang selama ini mereka cari untuk dihancurkan.

Arga mengangkat obor dan melihat lebih jelas. "Batu ini… ini pusat dari segalanya. Selama batu ini masih ada, Ordo Kegelapan akan terus mencari cara untuk membangkitkan kekuatannya."

Hana merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. "Jadi, bagaimana kita menghentikannya?"

Arga menatap batu hitam itu dengan serius. "Ada satu cara. Kita harus menghancurkan energi di dalam batu ini. Tapi untuk melakukannya, kita perlu mengorbankan sesuatu."

Hana terdiam, menatap Arga dengan cemas. "Apa maksudmu?"

Arga berbalik menatap Hana dengan lembut. "Ini adalah pilihan yang sangat sulit. Batu ini tidak bisa dihancurkan dengan kekuatan fisik biasa. Seseorang harus menyerap energinya, mengikat kekuatannya, lalu menghancurkannya dari dalam."

Mata Hana melebar. "Kau tidak bisa melakukan itu, Arga! Itu terlalu berbahaya!"

Namun, Arga menggeleng dengan tekad. "Tidak ada cara lain. Jika kita membiarkan batu ini tetap ada, Ordo Kegelapan akan terus menghantui kita. Aku harus melakukannya."

Air mata mulai menggenang di mata Hana. Dia sungguh tidak ingin kehilangan Arga. Mereka telah berjuang terlalu banyak bersama, dan sekarang, ketika mereka sudah begitu dekat dengan akhir, dia tidak bisa membiarkan Arga mengorbankan dirinya. "Tidak Arga, pasti ada cara lain," bisik Hana, suaranya penuh dengan kepanikan.

Arga mendekatinya dan mengusap pipi Hana dengan lembut. "Aku tahu ini sulit, Hana. Tapi aku sudah memikirkan ini sejak kita menemukan batu itu. Ini satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini. Aku melakukan ini bukan hanya untukmu, tapi untuk kita semua."

Hana menggeleng, menahan tangis. "Tidak, Tidak  Arga. Aku tidak bisa membiarkanmu melakukannya. Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Jangan paksa aku kehilanganmu juga."

Arga tersenyum tipis, penuh kasih sayang. "Aku berjanji, aku akan kembali. Ini mungkin terdengar gila, tapi aku merasa ada sesuatu yang akan melindungiku. Kekuatan perasaan kita akan membuatku kembali."

Kata-kata itu mengiris hati Hana, namun juga memberinya harapan. Dia tahu bahwa Arga selalu memiliki cara untuk melihat cahaya di tengah kegelapan, dan dia tidak pernah salah sebelumnya. Tapi risiko yang dihadapi kali ini terlalu besar.

Dengan hati berat, Hana melepaskan genggamannya. "Aku percaya padamu, Arga. Tapi jangan tinggalkan aku sendirian."

Arga mengangguk. "Aku tidak akan meninggalkanmu."

Dengan keyakinan yang bulat, Arga mendekati batu hitam itu. Dia menempatkan kedua tangannya di atas batu tersebut, dan seketika energi hitam mulai mengalir melalui tubuhnya. Hana bisa melihat bagaimana ekspresi wajah Arga berubah ketika energi kegelapan mulai menyerap ke dalam dirinya. Ada rasa sakit yang jelas, namun Arga bertahan, menggenggam kekuatan itu dengan kuat.

Ruangan mulai bergetar, dan batu hitam itu memancarkan cahaya gelap yang semakin terang. Suara gemuruh terdengar di sekeliling mereka, seolah-olah bangunan kuil itu sendiri merespon energi yang dilepaskan. Hana berdiri dengan cemas, melihat Arga berjuang untuk mengendalikan kekuatan yang begitu besar.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, tiba-tiba cahaya gelap itu meredup, dan batu hitam mulai retak. Arga melepaskan tangannya dari batu tersebut, terengah-engah, namun tetap berdiri tegak. Dia menoleh ke Hana dengan senyum lemah namun penuh kemenangan.

"Kita berhasil," ucap Arga, suaranya bergetar karena kelelahan.

Namun, sebelum Hana bisa merespon, retakan di batu hitam semakin melebar, dan dalam satu ledakan besar, batu itu hancur menjadi serpihan. Energi hitam yang tersisa melayang ke udara, lalu lenyap seperti kabut yang dihembus angin.

Kuil itu mulai runtuh, gemuruh semakin keras. Hana berlari ke arah Arga, menarik tangannya. "Kita harus keluar dari sini, cepat!"

Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berdua berlari keluar dari kuil, melewati lorong-lorong gelap yang mulai runtuh di belakang mereka. Setiap langkah terasa berat, namun dengan kebersamaan, mereka berhasil mencapai pintu keluar tepat saat pintu batu besar kuil tersebut runtuh di belakang mereka.

Di luar kuil, udara malam terasa segar dan sejuk. Mereka terjatuh di tanah, terengah-engah setelah pelarian yang menegangkan. Hana berbalik menatap reruntuhan kuil di belakang mereka, merasa lega bahwa ancaman Ordo Kegelapan akhirnya telah berakhir selamanya.

Arga, meskipun begitu kelelahan, tersenyum lega. "Kita berhasil, Hana. Kekuatan gelap itu sudah hilang."

Hana memeluk Arga erat-erat, air mata kebahagiaan membasahi wajahnya. "Aku pikir aku akan kehilanganmu."

Arga mengelus rambut Hana dengan lembut.

"Aku janji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku tidak akan membiarkan ini menjadi akhirnya."

Malam itu, di bawah langit berbintang, Hana dan Arga menyadari bahwa mereka telah selamat dari salah satu pertempuran paling berbahaya dalam hidup mereka.

Mereka telah mengalahkan kegelapan, dan yang tersisa kini hanyalah masa depan yang mereka bangun bersama.

Meski perjalanan mereka penuh bahaya, rasa yang tekah tumbuh dan tekad mereka menjadi kekuatan yang membuat mereka bertahan.

Dan dengan berakhirnya ancaman Ordo Kegelapan, mereka tahu bahwa akhirnya, mereka bisa hidup dalam damai, bersama, tanpa bayangan gelap yang terus membayangi.