Chereads / Living With Doctors / Chapter 3 - Kedekatan

Chapter 3 - Kedekatan

Pagi berganti malam. Cheryl menggigit kuku jarinya menunggu pintu kamar dibuka. Detik berikut daun pintu terketuk, Cheryl tersenyum lebar membuka pintu penuh semangat.

Mendapati Salamah membawa sepiring kue dan segelas teh hangat di nampan, Cheryl berkecil hati.

"Kirain Mas dokter," batin Cheryl.

"Chey suka kue?" tanya Salamah.

"Suka," manggut Cheryl dengan seulas senyum.

"Habiskan," kata Salamah memberikan nampan.

"Makasih, Bun!" Cheryl memamerkan deretan gigi putihnya.

"Kebetulan Bunda bikin dua loyang kalau Chey mau lagi ambil di kulkas," sambung Salamah.

"Iya, Bun," angguk Cheryl.

"Bunda tinggal dulu," pamit Salamah.

Cheryl melangkah mundur menutup rapat pintu kamar.

*

Alat medis terkemas rapih Arka mengecek arloji di pergelangan tangannya.

"Magang di IGD?" Kevin menepuk pundak sejawatnya.

"Bukan jadwal kalau jaga di bangsal iya, itu pun nanti tengah malam," jawab Arka.

"Bareng siapa?" kepo Kevin.

"Bella."

"Awas saja korupsi waktu, pasien sekarat situ anteng pacaran!" sindir Kevin.

"Mustahil mana ada," geleng Arka.

"Bisa saja kalian khilaf," lontar Kevin.

Arka menggendong ransel, menepuk-nepuk bahu Kevin.

"Tetap begadang, semoga bangkar IGD sepi melompong," ucap Arka.

"Kau berharap IGD penuh!" dengkus Kevin.

"Itu doa terbaik!" tawa Arka.

"Sini, ku hajar kau sampai nafas terakhir supaya korban pertama yang ku tangani bukan orang lain!"

Kevin menendang udara sebab Arka berhasil menyelamatkan nyawa dari ruangan sumpek itu.

Sepanjang lorong, Arka senyam-senyum memikirkan nasib Kevin setelah iseng mengguraukan kata 'Sepi,' terkenal keramat dalam dunia medis.

"Dokter, ada korban kecelakaan!" panik Suster menghampiri.

Arka melongo.

"Ada korban kecelakaan!" ulang Ocha.

Kesadaran merenggut raga. "Panggil dokter Kevin!" perintah Arka.

Suasana di depan RS begitu tegang ketika tiga orang berseragam biru muda memindahkan korban dari ambulance ke sebuah brankar.

"Korban kecelakaan lalu lintas, dok," lapor salah satu.

"Bawa ke ruangan!" titah Arka.

"Baik!"

Gema derap kaki tim medis bersahutan dengan suara geledek roda brankar dorong. Arka melambat laju larinya saat menangkap Kevin mematung tepat waktu di pinggir pintu ruang IGD.

"Korban lalu lintas," ucap Arka menunjuk bapak berwajah lumuran darah.

"Bersihkan noda di sekujur tubuh korban terlebih dahulu!" perintah Kevin setelah memindai singkat kondisi korban.

"Baik, dok!"

Tinggal berdua, Kevin mengatakan apa yang penting diucapkan tanpa mengulur waktu.

"Beruntung kau berpapasan dengan Ocha, hatiku sedikit terhibur melihat kau menikmati doa sendiri," ejek Kevin.

Arka mengacak rambut. "Definisi doa senjata makan tuan. Baiklah, lima menit waktuku terampas sekarang aku serius pulang karena beberapa jam ke depan giliranku keliling ruangan mengecek bangsal ke bangsal lainnya."

"Aku mengerti. Selamat memulihkan tenaga!" imbuh Kevin melambai tangan mengantar kepergian temannya.

*

Setengah hari, Arka kehilangan jejak Bella entah nyangkut di sudut mana wanita lembut itu.

"Kenapa aku mengkhawatirkan Bella," gelisah Arka disela kegiatan menyetir mobil.

"Apa dia pulang duluan atau justru sengaja menunggu Ocha di ruang perkumpulan suster agar nanti pulang bersama?" monolog Arka menerka.

"Belum pernah aku secemas ini memikirkan Bella," gundah tak kunjung hilang, Arka coba menghubungi nomor si pencuri perhatian.

Berdering. Tidak diangkat.

"Betapa susahnya menghubungi dia," decak Arka mencengkeram kuat stir kemudi.

Perjalanan mulus tiada kendala. Pukul delapan, Arka mengetuk pintu kediaman keluarganya.

"Night, dokter!" sambut Cheryl sekian purnama bertahan menunggu.

"Baguslah jika sehat," gumam Arka.

"Aku penuhi pesan dokter," bangga Cheryl.

"Hmmm, pintar." Malas meladeni, Arka berjalan melewati Cheryl.

"Boleh aku menyebut dokter dengan panggilan Mas?" layang Cheryl.

Ayunan kaki Arka terhenti. "Terserah," acuhnya.

Kemudian Arka meniti anak tangga, sementara Cheryl jingkrak-jingkrak kegirangan.

"Ngapain ngekorin saya?" nada rendah Arka mengudara.

"Pengen bobo, Mas dokter letih banget belum makan, kah?" sahut Cheryl, memiringkan kepala mencuri pandang.

Arka merotasikan bola mata. "Bukan urusan kamu," balasnya sombong.

*

"Aku sisi kanan, Mas dokter sisi kiri!" putus Cheryl sibuk membenahi kasur menjadi dua zona dengan guling dijadikan garis penengah.

"Amat rumit kenapa tidak tinggal geletak, tutup mata, beres," heran Arka menatap dingin.

"Sepengetahuanku bila orang sudah menikah, malamnya terjadi perang tempur dan aku belum siap melakukan hal itu. Guling ini jarak pemisah pas kita tidur," jelas Cheryl seadanya.

Arka menaikkan sebelah alis, mendorong pelan bahu Cheryl hingga terbaring di tempat tidur lalu mengurung pergerakan Cheryl.

Iris pekat Arka bertumbuk lekat netra madu Cheryl.

"Guling tidak berarti apa-apa diantara kita," ucap Arka.

"Minggir, aku sulit bernafas!" risih Cheryl pura-pura engap.

"Akting. Atur nafasmu sebelum saya terlanjur memberi nafas buatan," tegas Arka.

"Ck! Kenapa tahu!" decak Cheryl.

"Apanya?" sorot mata Arka meredup.

"Aku sedang akting! Kenapa gampang banget ditebak!" protes Cheryl.

"Gelombang detak jantungmu terlalu keras menyampaikan signal ke seluruh tubuhmu," the points Arka.

Kening Cheryl mengkerut tajam tidak mengerti bahasa tersebut.

"Mas dokter berusaha merayuku?" tuduh Cheryl mengartikan.

"Baper!" ralat Arka.

"Tunggu!" tahan Cheryl mencengkeram kerah kemeja.

Sekilas Arka melirik kerah bajunya. "Keadaan berbalik kamu coba menggoda saya?" tudingnya.

Cheryl mengembang senyum belajar lancang men-c**m b***r suaminya.

Mata Arka bulat sempurna terkejut first kiss-nya disambar sembarangan.

"Berani ACC, Mas dokter?" tantang Cheryl.

"Lepas!" marah Arka melerai paksa jemari istrinya.

Penolakan mentah menyesakkan rongga da-da, Cheryl beringsut turun mendekap erat ping*gang Arka.

"Apa-apaan kamu menjauh dari saya!" berontak Arka.

"Peluk!" ngotot Cheryl mengeratkan lingkaran tangan.

"Lepas, saya capek butuh istirahat!" tekan Arka.

"Mau peluk!" rengek Cheryl bersikeras.

Sepuluh menit Arka mematung dalam kuncian Cheryl membuatnya berpikir bagaimana caranya bebas.

"Kapan kamu melepas peluk? Saya sudah gerah!" keluh Arka.

"Setelah aku curhat," jawab Cheryl.

"Cepat cerita," kesal Arka.

"Begini Mas dokter. Jadi, aku, tuh, kangen teman-teman, rindu peluk, canda tawa bersama mereka, namun aku bingung ...," Cheryl menggantung kalimat.

"Bingungnya kenapa?" tanya Arka.

"... Bingungnya aku sudah menikah, di sisi lain enggak mau putus sekolah. Memikirkan segalanya membuat kepalaku berdenyut sakit hampir pecah, menurut Mas dokter sebaiknya gimana ya?" lanjut Cheryl.

"Tinggal masuk sekolah," saran Arka.

"Kan, aku sudah nikah sedangkan syarat bagi setiap murid wajib menunda nikah sebelum lulus SMA," risau Cheryl.

"Solusinya, saya mengizinkan kamu melanjutkan pendidikan dengan catatan kamu tidak membocorkan status barumu kepada warga sekolah meski tidak menjamin rahasia pernikahan kita tertutup selamanya, cepat lambat sebelum seluruh siswa-siswi menyadarinya, orang-orang terdekatmu pasti mengetahuinya," terang Arka.

"Besar banget resikonya," lirih Cheryl.

"Saya punya pemikiran lain mengatasi masalah kamu," tambah Arka.

"Apa itu? Katakan!" penasaran Cheryl.

"Kita kerjasama," cetus Arka.