Ini kisahku saat masih aku berusia 7 tahun tepatnya aku masih duduk di bangku kelas 1 SD, mungkin tepatnya semester 2. Aku mulai terbiasa dengan lingkungan baru dan secara perlahan mulai terbiasa dengan beberapa hal di sekolah. Beruntungnya, dengan dorongan dari keluarga dan wali kelasku, aku bisa maju menghadapi kehidupan di neraka kecil ini, yaitu sekolah. Bagiku sekolah seperti neraka yang harus aku lewati selama 12 tahun lamanya, mungkin itu hanya pikiran naifku saja meski kenyataannya neraka sebenarnya itu adalah kehidupan setelah lulus sekolah.
Saat-saat awal aku bersekolah, mungkin kalian lupa. Aku dengan tingkah pecundang yang suka merengek bahkan menangis seperti bayi yang mana tidak bisa ditinggal oleh ibuku sendiri karena rasa cemas dan takutku begitu besar. Layaknya ada alarm dalam diriku yang memberikan pesan singkat, "Selamat datang di neraka, Nak!" Ya, selama beberapa minggu setelah masuk sekolah, dengan kebodohanku, aku mulai mengikuti les bersama wali kelasku sebelum masuk ke kelas.
Ada sekitar 3-5 murid yang belajar bersamaku di pagi hari sebelum bel kelas pertama dimulai. Kami belajar di teras atau dalam musholla, dan terkadang kami belajar di perpustakaan di belakang kelas, dekat kantin. Ada beberapa hal yang kudapatkan di sana, aku belajar membaca, menulis, dan berhitung cukup baik dibandingkan saat masih di TK.
Aku sempat tidak habis pikir mengapa aku bisa belajar membaca dengan cukup baik saat itu, walaupun tidak langsung dengan cepat. Sama sekali tidak seperti kakakku yang jauh lebih cepat dalam belajar segala hal akademik. Aku sering kali merasa tertinggal dibandingkan dengan kakak kandungku sendiri.
Dalam hal akademik, jika dibandingkan dengan dirinya (kakak kandungku) seperti langit dan bumi. Namun, wali kelasku saat itu mengatakan sesuatu yang masih kuingat sampai sekarang, "Teman-teman dan kakakmu mungkin lebih unggul darimu, tetapi sebenarnya kamu lebih dari mereka." Begitulah pesan yang disampaikannya padaku saat aku masih SD kelas 1. Aku juga tidak tahu sebenarnya maksud dari perkataannya. Sepertinya itu mustahil.
Namun, sebagai Cen kecil, dengan polosnya menganggap semua hal dan kata-kata itu keren dan itu membuatku sedikit termotivasi saat belajar. Meskipun jika kembali dipikir sekarang, itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki potensi dan wadah yang berbeda-beda. Bergantung pada apakah wadah itu sudah penuh atau tidak. Namun, mari kita kembali ke cerita saat aku, Cen atau aku saat masih kecil, mulai bisa membaca sedikit demi sedikit meskipun aku memiliki kecenderungan belajar jauh lebih lambat dari anak pada umumnya.
Saat awal masuk sekolah dasar, tepatnya saat di rumah aku diberikan instruksi dan nasehat dari papaku. Seingatku, kira-kira begini, "De, jika ada yang mengganggumu, pukul saja! Oh ya, cuekin saja apa yang dikatakan orang-orang seperti itu. Mereka iri karena kamu itu beda." Begitulah yang dikatakan pada Cen kecil. Pada saat itu, aku yang tidak tahu bagaimana cara bertarung, hanya mengiyakan apa yang dikatakan papaku. Meskipun aku sendiri tidak tahu apa yang dimaksud, aku berusaha untuk memahaminya, walaupun otak ini sebenarnya sangat terbatas. Kemudian, mamaku ikut berkomentar.
"Heh, tidak boleh memukul orang! Kamu mengajari apa sih, Dede jangan dengerin papa!" Komentar spontan dengan tegas dari mamaku untuk papaku.
"Ya kan, jika diganggu dan sudah terlalu jauh, jangan diam saja. Jangan tunjukkan kelemahan kita!" Komentar papaku kepada mamaku.
Setelah beberapa perdebatan ringan antara suami dan istri ini, tubuhku tiba-tiba gemetar karena ada nada tinggi di antara mereka. Aku pun panik dan berusaha menenangkan mereka berdua, tetapi karena kebingungan. Dilain sisi kakak kandungku yang sedang belajar melihat ke arahku dan kedua orang tua yang sedang berdebat ia hanya bisa melihat serta kembali beraktivitas seakan acuh tak acuh tentang apa yang sudah terjadi pada rumah sampai seberisik itu.
Pada saat itu, aku hanya bisa diam dan menangis karena takut mereka bertengkar terlalu serius. Tetapi tangisanku yang cengeng berhasil menghentikan mereka. Meskipun kakakku sering mengolok-olok bahwa aku, sebagai laki-laki, cengeng.
Tetapi, sukur pertengkaran mereka berhasil aku hentikan. Padahal itu hanya perdebatan kecil saja. Menurut kakakku, aku terlalu lebay.
Setelah magrib, aku pulang ke rumah karena akan bermain di luar bersama Dana, Eri, dan teman-teman lainnya. Aku diajak pergi ke rumah nenekku yang tidak begitu jauh dari rumahku, sekitar 3-5 km dari rumahku yang dulu. Aku ikut dan papaku menggendongku di depan, karena badanku tidak terlalu besar.
Setelah 15 menit perjalanan, aku sampai di rumah nenekku yang dihuni oleh 5-7 orang. Rumahnya cukup besar dan cukup menampung saudara-saudara papaku.
Setelah sampai di sana, aku disambut oleh pamanku, dan dia menanyakan bagaimana hari pertamaku di sekolah. Aku menceritakan apa yang terjadi padaku dengan jujur dan riang. Dengan polosnya, aku menceritakan semua kejadian dan semua rasa takutku kepada pamanku yang mendengarkan ceritaku. Ternyata, kakak sepupuku, anak dari papaku, juga mendengarnya. Dia langsung berkata, "Siapa yang mengganggu kamu, Cen? Ayo, tunjukkan pada Kak Yo!" Ya, memang kakak sepupuku sangat tidak suka jika ada yang menggangguku. Dia juga berkata, "Cen, pukul saja. Jangan takut!" Pamanku pun menyatukan respon dari kakak sepupuku dengan berkata, "Ya, pukul saja. Kamu kan laki-laki! Jangan lemah!" Begitu banyak nasehat pembelaan diri, aku tidak menyadari bahwa aku sedang dipengaruhi oleh semuanya untuk berdiri tegak dan melawan para pembully di luar sana.
Setelah mendapatkan motivasi dari keluargaku, aku pertama kali diajari cara meninju dan menendang. Sepupuku mengajarkan cara bertarung untuk melawan orang-orang yang suka mengganggu. Keesokan harinya, setelah hari pertamaku di sekolah, aku memasuki ruang kelas dengan sedikit percaya diri.
Meskipun aku masih merasa cemas dan tetap cengeng seperti biasanya, ada sedikit dorongan keberanian dalam diriku, meski sekecil biji zarah.
Hari kedua pun aku jalani dengan menghadapi perkelahian pertamaku. Lagi-lagi buku tulisku dicoret-coret oleh anak-anak yang cukup ditakuti di sana. Aku merasa muak dan tidak lagi diam seperti hari pertama.
**BUGH!!!**
Pukulan keras mengenai kepala pembuli membuat anak itu kaget. Aku menjadi sorotan di kelas karena terlibat perkelahian yang cukup hebat. Karena wali kelasku saat itu sedang di kantor untuk mengambil buku pelajaran selanjutnya, para pembuli berani menggangguku lagi seperti pada hari pertamaku. Jujur, tubuhku gemetar, termasuk jantungku yang berdebar-debar seperti dipacu oleh pompa yang berdenyut cepat.
Sensasi pertarungan pertamaku dengan cara yang brutal memberikan kepuasan tersendiri. Setelah aku memukul pembuli itu, dia terjatuh dari kursinya. Aku menerjangnya lagi dan mengunci rahangnya dengan kuat. Anak itu menangis terbirit-birit karena kebrutalanku saat itu. Teman-teman pembuli itu mencoba membantu anak itu dengan berusaha memukulku. Entah darimana aku mendapatkan tenaga, aku tetap fokus pada orang yang terjatuh, ingin menyiksanya lebih banyak.
Tiba-tiba, wali kelasku datang dan meraihku, menjauhkanku dari pertarungan. Meskipun aku masih berteriak-teriak dan berontak, mencoba menyerang orang-orang di sekitarku, termasuk guruku sendiri. Namun, sebagai seorang anak kecil, aku tidak bisa melawan wali kelasku yang jauh lebih dewasa dariku.
Seingatku, tanganku lengket dan basah, ada sedikit darah di beberapa sela jari-jariku. Sejak kejadian itu, salah satu pembuli yang sering menggangguku menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Jujur, pengalaman pertamaku bertarung tanpa melibatkan diri dalam hal lain membuatku merasa puas. Saat itu, trauma dan rasa sakitku belum terlalu besar sehingga belum mengubah beberapa prilaku diriku.
Setelah aku diraih, aku dipaksa untuk meminta maaf. Namun, aku menolak karena tahu bahwa para anak brengsek itu tidak akan mengenal ampun. Bayang-bayang memori pecahan muncul dalam pikiranku, mengingat wajah yang rahangnya terbuka, sepertinya dia mengalami cidera parah pada rahangnya saat itu.
Akhirnya, aku yang harus meminta maaf karena mamaku memaksa untuk melakukannya. Jujur, sampai sekarang, aku tidak menerima mengapa aku yang jelas tidak bersalah harus meminta maaf kepada orang yang menghina dan merusak buku tulisku sendiri.
Setelah perkelahian pertamaku, rumor dan gosip tentangku melawan seorang pembuli menjadi lebih berbahaya daripada musuh yang kutantang di kelas. Jujur, aku tidak begitu yakin bahwa aku bisa mengalahkan orang yang jauh lebih besar tubuhnya daripadaku. Setelah pulang dari sekolah, aku melupakan semuanya dan menjalani hari-hariku di rumah seperti anak normal pada umumnya. Namun, ada satu hal yang membuatku sedikit takut saat pulang ke rumah, yaitu belajar. Iya, mamaku selalu memarahi jika aku tidak bisa membaca dan menulis dengan baik. Di sekolah, aku belajar, dan di rumah aku juga dituntut untuk belajar setelah jam 7 malam setelah waktu salat Isya. Saat mamaku mengajariku, aku melihat sosok yang menakutkan dalam imajinasiku. Jujur, setiap malam saat belajar, aku selalu menangis karena kesulitan memahaminya. Namun, jika dipikir sekarang, aku tersenyum dan berkata, "Haha, Cen kecil sudah terbentuk oleh sekolah, bahkan oleh ibunya sendiri." Tapi jujur, mungkin jika aku tidak didorong, aku tidak akan benar-benar belajar. Mungkin.
Baiklah, mari kita lupakan perkelahian pertamaku dan omelan dari mamaku saat di rumah. Namun, aku ingin menceritakan hal lain tentang ceritaku di mana aku sangat senang karena bisa membaca untuk pertama kalinya, meskipun masih terbata-bata dan suka dieja. Pada semester 2, tepatnya di kelas 1 SD, aku mengikuti les sebelum jam pelajaran dimulai. Setelah belajar bersama teman-teman, otakku terasa seperti diperas dan sedikit pusing. Namun, kecemasanku tidak sebesar saat aku masuk ke dalam kelas. Atmosfer saat belajar di tempat khusus jauh lebih santai dan nyaman. Aku, Cen kecil, lebih suka jika disuruh masuk kelas oleh wali kelasku karena suasana di kelas berbeda.
Saat itu, aku benar-benar tidak mengerti tentang menghitung. Bahkan sampai sekarang, aku belum menghafal perkalian atau perhitungan lainnya. Entah mengapa, otakku menolak hal itu dengan alasan "tidak penting". Akhirnya, aku secara tidak sadar menaruh hal tersebut ke dalam ingatan jangka pendek dan tidak pernah menghafal pelajarannya. Aku selalu membencinya dan juga terpaksa menyukainya.
Oh ya, ada beberapa penjelasan setelah aku bertarung untuk pertama kalinya. Jadi, mari kita bongkar sedikit cerita setelah perkelahian besar itu terjadi. Aku dipanggil ke ruang guru, dan di sana ada kepala sekolah. Mamaku juga ikut hadir di sampingku.
"Anakku, sudah cukup membuat masalah di hari kedua," kata kepala sekolah kepada mamaku.
"Tapi Pak, anak saya tidak mungkin melakukan itu tanpa sebab. Pasti ada alasan di baliknya!"
"Tapi Bu, anak yang dipukul oleh anak Ibu mengalami cidera cukup parah di rahangnya."
"Pasti mereka yang mengganggu anak saya, Pak! Saya yakin, anak saya bukan seperti yang bapak bayangkan!" Mamaku membelaiku saat aku sepertinya akan dihukum. Untungnya, wali kelasku menjelaskan tentang kepribadianku, dari hari pertama hingga hari perkelahian besar itu terjadi.
"Maaf, Pak, saya ingin menyampaikan pendapat saya. Saya adalah wali kelas 1-C dan juga pengajar anak ini, Cen. Sejak awal Cen masuk, dia anak yang pendiam. Saya harus menggunakan pendekatan khusus untuk bisa berkomunikasi dengannya, bahkan teman-teman sekelasnya pun tidak semuanya bisa mendekatinya. Oleh karena itu, saya merasa tidak setuju jika anak dan ibunya diberi sanksi karena menurut saya, Cen hanya membela dirinya sendiri," jelas wali kelasku panjang lebar, membantu meredakan perdebatan antara mamaku dan kepala sekolah.
Setelah penjelasan yang panjang itu, aku diminta untuk keluar dari ruangan dan membersihkan bercak darah di tangan dan bajuku. Aku memutuskan pergi ke toilet, yang jaraknya cukup jauh dari ruang guru dan kepala sekolah. Aku melewati beberapa lorong dan bertemu salah satu kakak kelas yang sedang dihukum oleh gurunya. Entah, mereka berdua dihukum karena apa. Aku tidak memperdulikan mereka, kecuali tubuhku memberi isyarat kecemasan besar ada di belakangku. Mungkin hanya pikiranku sendiri, karena tidak ada yang mengikuti dari belakangku. Setelah sampai di depan kamar mandi, tiba-tiba seperti ada bisikan halus di kepalaku yang berkata, "Hei, bagaimana pertarungannya? Sepertinya menyenangkan!" Karena bingung siapa yang berbicara, aku melihat ke kiri dan kanan serta melihat sekeliling, tetapi tidak ada siapa-siapa. Mungkin aku lelah. Mungkin itulah alasannya. Suara di kepala membuat kupingku berdenging.
**NGINGGGGG**
Kepalaku cukup sakit setelah mendengar suaranya yang mirip denganku, tapi ada perbedaan. Suaranya lebih berat dan halus. Sedangkan suaraku hanya suara anak-anak biasa, masih terdengar cempreng karena aku laki-laki yang belum pubertas. Setelah membersihkan semuanya, aku dipanggil kembali ke ruang guru untuk bertemu mamaku yang sudah menunggu di sana.
"Cen, Ibu mencarimu! Kemana saja?"
"Toilet."
"Baiklah, ikut Ibu sebentar yuk. Mama kamu sudah menunggumu di sana."
Jujur, saat itu aku tidak sepenuhnya mengerti. Aku hanya mengikuti apa yang mereka katakan. Aku juga tidak bertanya mengapa atau apa yang terjadi setelah aku keluar dari ruang guru. Aku berpikir bahwa masalah telah diselesaikan dengan mamaku dan wali kelasku. Aku harap begitu. Meskipun tubuhku masih terasa pusing dan tidak enak karena banyak hal yang terjadi padaku. Aku juga tetap diharuskan melanjutkan pelajaran karena hanya tersisa satu pelajaran lagi sebelum kami boleh pulang, kecuali anak yang cidera karena aku memukulnya sudah tidak ada di kelas. Mungkin dia sudah pulang karena harus diobati atau diurus. Saat itu pun aku tidak memikirkannya. Ya, seingatku, anak itu sudah absen selama sekitar tiga hari karena sakit. Jari-jari dan telapak tanganku juga lebam dan terasa sakit jika digerakkan.
Tapi di balik kejadian itu, aku mendapatkan semangat dan dukungan dari orang-orang terdekatku seperti Papa, Paman, dan Kakak sepupuku sendiri.
"Nah, begitu dong. Anak laki-laki baru, bisa melawan jika ditindas!"
"Iya, benar itu kata pamanmu. Papa setuju kalau kamu sudah menghajar satu orang yang mengganggumu!"
"Hebat, Kak Yo mengajarimu tinju dan tendangan. Lihat, kepala pembuli kemarin bagaimana!" Sepupuku juga sangat senang mendengar kabar bahwa aku telah menghajar salah satu pembuli di kelas. Aku juga menunjukkan cara aku meninju, tapi ternyata aku salah saat memukul dengan jempol atau ibu jari ku yang lipat ke dalam telapak tangan.
"Tidak, tidak seperti itu. Makanya jari kamu bengkak begitu! Begini, lihat!" Sepupuku menunjukkan kepadaku cara menggenggam dan memukul dengan benar. Seketika itu, aku diajari bagaimana cara menggenggam tinju dengan erat yang benar, sehingga bisa mengurangi risiko cidera.
Namun, di sisi lain, aku juga mendapatkan omelan dari mama dan beberapa orang terdekatku lainnya. Tidak semua hal positif yang bisa aku dapatkan dari kejadian itu, tetapi juga ganjaran negatif. Bukan hanya sebuah pengalaman, tapi juga luka yang baru terbuka.
Ketika aku pulang ke rumah setelah sekolah, mamaku berkata, "Kamu baru sekolah sudah mencari masalah! Sudah mama bilang, jangan memukul orang! Kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk, bagaimana?". Itu adalah teguran dan nasehat mamaku yang sangat khawatir akan keadaanku saat itu. Padahal, aku ingin menceritakan hal-hal yang sering terjadi di dalam kepalaku, tapi terpaksa aku harus mengurungkan niatku untuk berbicara tentang apa yang terjadi di toilet tadi. Aku sudah yakin bahwa jika aku menceritakan hal itu, mamaku akan merespons seolah-olah itu tidak penting atau menganggap itu sebagai hasutan jin atau setan, dan akhirnya aku akan diceramahi agar aku tidak terus bengong atau disuruh berdzikir agar pikiranku tidak kosong. Mungkin ada benarnya dalam hal itu, tapi cukuplah. Aku hanya bisa diam dan menyimpan ceritaku sendiri, karena memang lebih baik aku diam untuk sementara waktu. Toh, Cen kecil juga pasti akan melupakannya. Mungkin.
***
Sekarang, aku ingin bertanya kepadamu, apakah kamu sebenarnya tahu apa yang terjadi saat semua hal itu terjadi? Ya, seperti momen-momen serpihan memori yang sulit aku lupakan. Bahkan, aku masih ingat betul bagaimana semua kejadian itu, baunya, bahkan suaranya. Semua itu terlintas begitu saja di dalam pikiranku. Aku mengadaptasi catatan pribadiku atau jurnal harianku menjadi sebuah cerita yang bisa dinikmati bersama. Saat aku menulis, aku merasakan sensasi yang sama seperti saat aku berada di kelas, bersama guru dan teman-temanku di sekolah.
Bagi mereka yang dekat denganku, selalu memberikan dorongan seakan-akan semua itu bisa diatasi dengan "Gapapa", "nanti juga berlalu", "kamu kuat!", "Kamu bisa", "mau gimana lagi? Jalani saja!", dan beberapa pengaruh lain yang selalu menghantuiku sampai sekarang. Jujur, aku tidak bisa menerima hal itu sebenarnya. Namun, aku harus mengikuti aturan yang ada untuk selalu menjalani hal-hal yang sebenarnya tidak aku sukai.
Mungkin itu adalah dorongan yang baik untuk kekuatan dalam diriku. Sungguh, aku merasa kuat karena bisa melewati 12 tahun di "neraka kecil" itu, yaitu sekolah. Doktrin atau pendidikan adalah benih dari sumber kekuatanmu saat ini, sebuah ideologi yang tertanam dalam alam bawah sadarmu. Mereka secara tidak langsung memaksa kamu untuk mengikuti ideologi dan pemikiran mereka, di mana hukum tersebut berlaku, dan dunia yang kamu pijaki.
Kebanyakan orang terlarut dalam kekuatan dan kepercayaan diri tanpa menyadari akibat yang sebenarnya. Apakah itu benar-benar menguntungkan mereka? Atau mungkin justru merusak mereka secara perlahan? Entahlah, sejauh mana kesadaran manusia dapat memahami hal tersebut. Sejauh mana mereka menggali tentang diri mereka sendiri? Mungkin ini hanya perasaanku saja. Doktrin atau pengaruh dari orang-orang yang mencoba menanamkan ideologi atau cara berpikir melalui alam bawah sadar tidak selalu berkaitan dengan hal-hal negatif, tetapi juga memiliki aspek positifnya. Seperti yang aku alami dan mungkin mereka pun tidak menyadarinya, semua dorongan atau pengaruh dari orang-orang membuatku kuat sampai sekarang, tapi aku lupa bahwa kelemahan terbesarku adalah ketidakmampuan menerima kenyataan dan menerima diri sendiri.
Sekarang, aku menulis dan menceritakan kepada kalian. Mungkin terdengar keren, bahwa Cen kecil bisa bertarung dan menang untuk pertama kalinya. Tapi, kalian salah. Itu adalah awal dari "neraka kecil" (sekolah) yang harus aku lewati selama 12 tahun.