🍁🍁🍁
Si penengah yang dengan senang hati mengorbankan nyawanya sekalipun untuk melindungi saudaranya, Lingga tak pernah takut jika menyangkut keselamatan saudaranya. Lingga panggilannya di rumah atau Ai panggilan dari Bunda Saras sementara Mada panggilannya ketika berada di sekolah. Menjadi anak basket membuatnya dikenal karena keahliannya, selain itu pesona Lingga yang buaya --kata Ryden-- cukup membuat laki-laki itu menjadi incaran hampir semua gadis yang ada di sekolah. Walaupun begitu Lingga tak pernah berpacaran, bisa ngamuk keenam kakak perempuannya, belum lagi Gama yang uring-uringan jika anak-anaknya dekat dengan lawan jenis.
Selain jago basket Lingga juga termasuk juara paralel bersama Assel, kedua nama itu selalu bergantian menempati posisi satu. Tapi Lingga tak peduli, asal kebebasannya tak diatur ia dengan senang hati belajar, toh Assel bukan saingannya karena keduanya bersaudara. Ia juga yang paling cepat menghafal walaupun banyak misuhnya, terlalu santai saat ujian namun kepintarannya tak perlu diragukan lagi.
Lingga tipe yang mager keluar rumah tapi jika sudah diluar rumah ia bisa saja mengulur waktu untuk pulang. Lapangan basket kompleks adalah tempat favoritnya untuk sekedar menikmati sunset atau menghabiskan jajanan pinggir jalan yang ia beli diam-diam, makanya ia lebih suka mengajak Rheana yang dengan senang hati memberikan rekomendasi jajanan murah dan enak.
Yang orang lihat mungkin Ryden terlihat cuek tapi sebenarnya Lingga yang terlihat tak peduli pada sekitar, ia lebih sering melakukan apa yang terlintas dipikirkannya tanpa kata keluar sedikitpun dari mulutnya. Kata Ryden ia buaya yang bisa menaklukkan hati wanita tapi kenyataannya ia tak bisa mendekati perempuan yang ia suka. Ada saja hal memalukan yang membuatnya ingin hilang dari muka bumi. Melihat Rheana berkelahi untuk pertama kalinya membuat Lingga ingin melindungi kakak dan adiknya,
_________
"Buruan bagi duit sebelum ada yang lewat."
"Nggak ada duit Kak, beneran."
"Halah, itu bibir lo merah menyala kalo nggak pake duit terus pake apaan?"
"Pake lipstik lah bego,"
Lingga menahan tawanya, diatas pohon jambu ia bisa melihat keadaan dibawah sana. Tiga gadis yang Lingga kenal sebagai tukang bully tingkat akhir dan seorang gadis yang sepertinya adik kelas itu menatapnya dari bawah.
"Haii," sapanya melambaikan tangan dengan senyum lebar
"CK, lu lagi! Awas aja bilang-bilang guru, dasar anak kesayangan."
"Elo kalo mau jadi kesayangan gue juga gakpapa kali Kak, ikhlas aja gue mah. Tapi gue didik di pesantren dulu baru dapat restu Dad,"
"Ngomong noh sama tangan! Cabut guys."
Lingga menggelengkan kepalanya sebelum melompat, melihat gadis itu terkejut juga membuatnya ikut terkejut. "Eh, eh santuy. Gakpapa kok, gakpapa," ucapnya
"M-- makasih ya, ak-aku duluan,"
Lingga mengerjapkan matanya dengan kepala mengangguk patah-patah, ia menoleh sekeliling yang sepi. "Terus gue ngapain dong?" Monolognya
Ia mengedikan bahunya berjalan dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, sepanjang perjalanan ia tersenyum ramah pada murid yang menyapanya, tak jarang ia berhenti untuk mengobrol sejenak. Langkahnya kian cepat saat melihat ruang perpustakaan tak jauh lagi, laki-laki itu melepaskan sepatunya dan mencari kedua kembarannya yang ia tebak tengah membaca buku disini. Tentu tebakannya tak meleset, dipojok sana Assel tengah menyenderkan kepalanya di bahu Ryden yang memejamkan mata dengan headset di kedua telinganya. Lingga menggelengkan kepalanya.
Tanpa kata laki-laki dengan seragam dikeluarkan itu langsung merebahkan tubuhnya dengan menjadikan paha Assel sebagai bantal, Lingga memejamkan mata begitu Assel memukul wajahnya dengan buku yang ia baca. Sakit, namun Lingga memilih tersenyum dengan wajah tanpa dosa.
"Untung aja nggak gue tampol, ngomong kenapa sih?! Sakit gak?" Assel memegang wajah sang kembaran dengan panik, Lingga sendiri masih mempertahankan senyumnya, membuat Ryden ikut menggeplak kepalanya dengan ponsel
"Modus lu!"
"Njirr kembaran sendiri juga. Elo juga modus tuh pake nyender di kepala Assel," protes Lingga mendorong bahu Ryden agar berjauhan dengan kembaran perempuannya itu
"Dia yang gatel nempelin gue mulu,"
Assel yang mendengarnya lantas menepuk mulut kembarannya itu dengan buku, "Mulut lu ye minta dikecup buku."
Ryden terkekeh melihat wajah kesal Assel, benar kata Lingga jika Assel ketika marah sangat lucu dengan pipi menggembung dan alis menukik tajam. Ia kembali menyenderkan punggungnya di rak buku, melihat isi playlist musiknya untuk mencari lagu yang pas dengan suasana.
"Ini aja,"
Ryden terkejut saat Lingga tiba-tiba memencet sebuah lagu berjudul dandelion milik Ruth B, kembarannya itu juga mengambil satu kabel headset untuk ia pakai di telinganya. Keduanya jadi berbagi headset dengan Lingga menyenderkan tubuhnya pada Ryden, Assel pun tak mau beranjak dari posisi nyamannya.
"Gini nih kalo punya kembaran kaya lem tembak, nempel mulu! Lu berdua berat ye!" Berucap begitu namun Ryden diam saja tak sedikitpun bergerak ataupun mendorong keduanya, ia ikut memejamkan matanya
Lingga terkekeh melihatnya, kembarannya yang satu itu memang unik. Ia memejamkan matanya menikmati lirik demi lirik yang ia dengar. Bayangan seseorang membuatnya refleks membuka mata, ia menoleh pada kedua kembarannya dan kembali memejamkan matanya.
"Kenapa sih? Lu berat ye Kalingga!"
"Panggil Abang dong,"
"Kita beda 21 menit ye bambank!"
Lingga mencubit pipi Ryden yang membuat kembarannya itu menepis tangannya. "Lu sadar gak?"
"Apa?" Ryden membuka matanya menatap Lingga
"Gakpapa," Lingga terkekeh saat melihat wajah kesal sang kembaran
Assel hanya menggelengkan kepalanya, tak heran melihat tingkah unik kedua kembarannya itu. Dengan segera ia memisahkan pertengkaran kecil itu sebelum penjaga perpustakaan menegur ketiganya.
***
"Mada, oper!"
Lingga dengan gesit mengoper bola basket kepada teman satu timnya, laki-laki dengan headband berwarna putih itu berhasil menarik perhatian kaum hawa yang melihatnya. Selalu saja saat anak kelas 8 E berolahraga banyak siswi yang menontonnya, entah datang langsung atau mengintip dari jendela hanya untuk melihat Lingga bermain basket atau melihat laki-laki itu mengelap keringat, seperti saat ini contohnya, seusai bermain basket Lingga dan teman-temannya beristirahat di pinggir lapangan sembari minum.
"Mada, kasian noh kakel jejeritan liatin elo ngelap keringat," celetuk Kevin, lelaki berkacamata dengan tubuh paling pendek diantara mereka. Jika bersama seorang gadis ia merasa tinggi namun bersama teman-temannya ia tampak pendek
Refleks yang tak kawan-kawannya duga, Lingga menutup area dadanya dengan kedua tangan, seperti melindungi tubuhnya dengan centil. Melihat reaksi seperti itu membuat mereka menggelengkan kepalanya dengan tawa yang mengudara.
"Lo nggak mau ikutan?" Assel mengambil tempat disamping Ryden yang tengah menghabiskan sebotol air mineralnya, menyendiri di bawah pohon Cherry yang ada disekitar lapangan
"Nggak minat,"
"Bergaul,"
"Nanti kalo minat,"
Assel menghela nafasnya, memutar-mutar botol kosong yang ia ambil alih dari tangan Ryden. "Nggak bosan sendirian terus?"
"Lo sendiri nggak bosan jadi ATM berjalannya mereka?" Ryden menunjuk beberapa gadis yang tengah mengobrol itu. "Gue rasa gakpapa deh kalo emang udah keterlaluan, untung aja Daddy nggak perhitungan sama anaknya. 80 juta abis dalam sehari, gue kalo jadi Daddy udah gue omelin lo."
Lagi, Assel menghela nafasnya.
"Ingat kata Kak Una, lebih baik nggak punya teman daripada harus menghabiskan energi buat orang-orang kaya gitu, lo masih punya gue sama Ai buat jadi teman sekaligus kembaran elo,"
Ryden menyelonjorkan kakinya yang sedari tadi ia tekuk, ia juga sempat mendengar sindirian mereka entah Assel mendengarnya juga atau tidak.
"Ya gitu tuh kalo nggak ada temennya, menyendiri berharap dikasihani padahal mah nggak ada yang kasian. Ganteng sih tapi buat apa kalo nggak mempesona, minimal pinter gak sih? Bukan jadi beban,"
"Julid banget sih.."
Beberapa gadis itu langsung terdiam begitu Lingga menghampiri kembarannya dengan tangan yang ia rentangkan, badannya terasa pegal. "Si Kevin itu..." Lanjutnya membuat kelegaan tampak jelas di wajah mereka
Entah apa yang Lingga bicarakan pada mereka hingga mereka pergi begitu saja, laki-laki itu tersenyum lebar merentangkan tangannya untuk memeluk Ryden namun kembarannya itu berlari menghindar.
"JAUH-JAUH GAK LU!"
Lingga menggelengkan kepalanya, ia duduk disamping Assel yang sibuk memainkan botol kosong. "Sedih kenapa? Kita kembar kalo lo lupa,"
"Yaden bener, mending gue nggak punya teman daripada habisin energi buat sama mereka,"
Lingga menganggukkan kepalanya, paham dengan masalah sang kembaran.
"Abis ngomong apa?"
"Siapa?"
Assel merangkul kembarannya yang lebih tinggi itu, ia baru sadar jika kedua kembarannya tampak tinggi walaupun ia lahir lebih dulu dari mereka. "Kita udah janji nggak main rahasia,"
"Simple kok, gue cuma bilang untuk nggak sembarangan ngomong tentang Yaden atau mereka akan dapat masalah,"
"Kenapa nurut?"
Lingga menyengir lebar, "Gue bilang aja kalo Daddy tuh ketua mafia terus Kak Falen anak geng motor, tadinya mereka gak percaya tapi gue tunjukin aja foto Daddy yang kaya preman itu terus mereka pergi deh,"
Assel menjatuhkan rahangnya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kembarannya itu, "Kok bisa yang begini jadi saingan gue??"
"Hah? Lo anggap gue saingan? ASSEL IH, TUNGGUIN." Lingga mengerjar kembarannya yang lebih dulu pergi itu
***
Seanne memejamkan matanya begitu Lingga memeluknya dengan erat, tangisannya sudah reda hanya ada isakan yang membuat Lingga bernafas lega. Baik kembarannya atau sang kakak belum ada yang mengabarkan bagaimana keadaan Falen setelah dibawa ke rumah sakit tadi siang, jahitan gadis yang mirip preman pasar itu terbuka, Lingga masih mengingat dengan jelas bagaimana noda merah itu merembes ke baju putih yang Falen pakai.
"Abang punya hadiah nih tapi Adik jangan nangis lagi,"
Satu tangannya merogoh tas sekolahnya untuk mengambilkan sebungkus permen jelly dan cokelat, ia juga membukanya agar sang adik bisa langsung memakannya.
"Kurang baik apa coba, langsung makan kan kamu." Lingga mencubit pipi Seanne yang mengembung itu, tak pernah bosan ia mengatakan jika adiknya itu sangat menggemaskan
"Abis mam ayo bobo, kita tunggu Kak Le." Ia menuntun tangan mungil itu untuk menaiki anak tangga, tak henti-hentinya berceloteh panjang lebar entah Seanne mendengarkan atau tidak, anak itu masih asyik dengan cokelatnya
"Ayo kita--- hehh," Lingga mengejar Seanne yang berlari masuk ke dalam kamar Falen dan Rheana, menggelengkan kepalanya saat melihat anak itu sudah berbaring di kasur bawah milik Falen
Lingga memilih keluar dan masuk kembali dengan membawa sebuah boneka panda berukuran sedang untuk menemani adiknya tidur, Lingga masih mengingat dengan jelas sang bunda membelikannya untuk adik kecilnya sebelum perpisahan itu terjadi. Ia menggelengkan kepalanya saat mengingat kejadian menyakitkan itu, Lingga memilih berbaring dengan memeluk Seanne, menepuk-nepuk puncak kepalanya agar anak itu bisa tidur.
"Bobo ya nanti kalo tidak bobo digigit kebo loh,"
"Tidak mau,"
"Nggak mau bobo?"
Seanne mendongakkan kepalanya yang sebagian wajahnya tertutupi boneka yang tengah ia peluk "Digigit kebo."
Lingga tertawa kecil mencubit pipi sang adik kemudian memeluknya kembali. "Tidur cil, aku mau beli kue pancong kalo lewat,"
"Pocong?"
"Hooh,"
"Adik mau pocong,"
"Lu belum mati juga masa mau jadi pocong sih,"
"Eungg?"
"Bisa stop lucu nggak? Kamu tuh kecil banget tau gak sih, nggak takut keinjek kah adeeeeekkkkk," gemas Lingga hampir saja menggigit pipi bulat itu
"Arghhh bisa mimisan gue lama-lama kalo liat yang gemes begini,"
***
Lingga terduduk lesu dengan kepala menyender pada kursi yang diduduki Ryden, laki-laki itu duduk lesehan dengan seplastik kue pancong dipangkuannya. "Mau ditaruh dimana muka gue? Bisa-bisanya tuh orang ada disana disaat gue lagi memalukan kaya gitu,"
"Kembaran lo ngomong apaan sih?" Tanya Assel dijawab gelengan oleh Ryden
"Kayanya otak encer dia udah terkontaminasi air got deh," Ryden dengan santai memakan kue pancong yang ia beli
Assel dan Ryden saling tatap begitu Lingga bangkit dari lesehannya, bahkan meninggalkan kue pancong yang suda ia tunggu-tunggu. Lingga juga menunduk melewati Falen yang turun dengan pelan-pelan.
"Kenapa tuh anak murung? Kesambet?"
"Nggak tau, nggak paham." Ryden melirik Falen yang mencomot kue pancong miliknya, "Itu punya kakak ada loh,"
"Ngomong dong!"
"Kak Le nggak nanya kok!"
Falen mendengus kesal, ia menarik kursi disamping Assel untuk ia duduki. Gadis itu dengan cepat menikmati makanannya.
"Ngomong ngomong kalian ujiannya kapan?"
"Tiga hari lagi, kenapa?" Tanya Assel
"Ada deh.. anak kecil nggak boleh kepo,"
***
Gama terus memperhatikan sang putra yang tengah bermain basket sendirian di halaman samping rumahnya itu, ia memang sengaja membuat lapangan kecil agar anak-anaknya bisa bermain di rumah, walaupun mereka lebih suka bermain di lapangan kompleks dengan teman-temannya.
"Abang, nggak capek kah?"
Lingga mengejar bola Oren itu yang dengan mudahnya Gama tangkap, ia menerima lemparan tersebut dengan senyum lebar dan keringat yang bercucuran membasahi kaos pendeknya.
Keduanya duduk lesehan dibawah ring basket, Gama membukakan sebotol air mineral dingin untuk sang putra yang ia ambil di kulkas.
"Daddy dengar kamu berantem sama kakak kelas? Ada sesuatu yang terjadi?" Gama menatap Lingga yang menundukkan kepalanya, "It's okay kalo nggak mau cerita sekarang,"
Lingga memainkan bola basketnya, hanya operan pelan dari tangan kiri ke kanan, hening cukup lama sampai akhirnya ia menatap Gama yang sudah berbaring di lapangan. "Dad, ngapain?"
"Tiduran deh sini, langitnya bagus tuh,"
Lingga menurut, hamparan langit malam membuat senyum tipisnya terukir. Ia jadi teringat dulu keluarga kecilnya sering melakukan hal ini setiap malam.
"Lingga mirip seperti Arbani,"
"Kan anaknya, gimana sih Daddy," rajuk anak itu membuat Gama terkekeh
"Kalian kaya pinang dibelah dua, nggak bisa liat orang kena masalah dikit,"
"Daddy kenal Ayah darimana? Kenapa bisa tau kami anaknya Ayah?" Itu pertanyaan yang sudah lama ingin tau jawabannya, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk bertanya dan mengumpulkan banyak keberanian tentu saja
"Arbani tuh kepercayaannya Papa, teman seangkatan yang Papa suruh untuk mengawasi Daddy, Arbani tuh baik banget orangnya, nggak pernah nyerah walaupun babak belur sekalipun,"
"Berarti Daddy nakal ya? Ai juga mau ikutan lah.."
Gama mengacak-acak rambut Lingga yang sudah memasang ekspresi datarnya. "Bisa dikatakan begitu.. Daddy tuh dulu bandelnya melebihi Lele sama Rhean, sampai Papa capek sendiri ngadepinnya, tapi Ayahmu sabar banget sama Daddy. Mungkin awalnya kita musuhan tapi akhirnya kami saling sayang kok, Daddy banyak belajar tentang kehidupan dari dia, Arbani itu kaya adiknya Daddy sendiri,"
"Kalo bang Henry denger Ai yakin bakal pundung guling-guling,"
"Gakpapa, asalkan nggak makan ternak warga Daddy ikhlas,"
"Dad, yang bener aja? Daddy punya Twitter ya!"
"Daddy kan gaul, sekalian promosi juga sebenarnya. Itu pun saran dari Henry biar Daddy nggak nolep katanya, padahal kan untuk menghindari pergaulan bebas aja,"
Lingga menggelengkan kepalanya, kini ia tau pemikiran out of the box dari si kembar empat menurun dari siapa.
"Arbani lebih suka mementingkan perasaan orang daripada diri sendiri, hal yang bikin Daddy kesal setengah mati, berkali-kali jatuh hanya untuk menolong orang lain,"
"Ouh, keturunan berarti. Pantesan Yaden terlalu baik," Lingga berguling ke samping menatap Gama yang pandangannya tak lepas dari langit "Ai tuh suka bingung kenapa sih Yaden harus sebaik itu sama orang? Kek kenapa loh nggak mikir ulang apa yang dia lakuin sama aja jadiin dia sasaran berikutnya."
"Hmm?"
Lingga mengerjapkan matanya, melihat Gama yang menatapnya dengan tatapan tajam membuat hawa dingin malam semakin menusuk kulitnya. Lingga tersenyum lebar. "Sejauh ini aman kok, Daddy, sumpah!"
"Lakuin dah yang mau kamu lakuin kalo itu bener, tapi kalo salah ayo duel sama Daddy."
Lingga menganggukkan kepalanya patah-patah, seperti kata Rheana, mata tajam ayah mereka memang menakutkan dan jangan lupakan ucapannya yang tak pernah main-main. Gama tidak galak, ia hanya tegas dan sifatnya itu menurun ke anak-anaknya. Lingga selalu dibuat kagum oleh keluarga Niskala ini dan menjadi salah satu dari bagiannya membuatnya bersyukur.
"Kalo aja kita nggak ketemu Daddy nggak tau deh bakal kaya gimana, mungkin udah jadi samsaknya Om Ibnu,"
"Nggak akan, Daddy yang bakal cari kalian walaupun harus ke ujung dunia sekalipun. Daddy udah janji sama Arbani untuk selalu melindungi anak-anaknya,"
"Daddy kok baik banget?"
Gama terkekeh, "Ayahmu lebih, lebih, lebih baik lagi. Mau lawan Daddy gak?"
Lingga melebarkan matanya terkejut, "Dad, aku nggak sejago itu. Lawan Kak Rhean aja kalah apalagi lawan Daddy?"
"Main basket, Daddy tau juga kok kamu nggak sejago Daddy,"
"Kalo itu mah Ai yang jago, Daddy yang bakal kalah!"
Gama mengambil bola basket sang putra lalu memasukkannya ke ring basket, ia menatap sang anak yang tengah menepuk-nepuk bajunya dari debu lapangan. "Main sebentar abis itu masuk, Daddy merinding nih."
"Jangan nakutin! Ai penakut tau!"
Gama terkekeh melihat Lingga menatap sekitarnya dengan was-was, ia mengambil bola kembali dan mencetak point. "Kalo kamu nggak bergerak Daddy yang menang sih ini,"
"Dih? Curang!"
Cukup lama mereka bermain hingga berkeringat, skor saat ini Lingga lebih unggul dari Gama.
"Suka berantem tapi nggak suka olahraga itu gimana ceritanya dah?"
"Kamu pun gitu ya!"
"Iya, kan Ai anak Daddy juga."
"Bener,"
"Itu yang diluar mau dikunciin kah? Udah jam 11 yaa tolong," Rheana menyenderkan tubuhnya di pintu, sedari tadi menatap pertandingan yang lebih seperti deeptalk karena kebanyakan bercerita daripada mengejar skor itu
Gama merangkul bahu sang putra serta mengelus rambutnya penuh sayang. "Ai tau? Apapun yang kamu lakuin Daddy akan selalu dukung kalo itu benar, Daddy tau sesuatu tapi Daddy mau tunggu penjelasan dari kamu sendiri,"
"Nanti kalo udah siap Ai ke cafe ya? Banyak hal yang mau Ai bicarain sama Daddy."
"Sure, Daddy can wait."
🍁🍁🍁