Pikiran tentang amarah adalah hal yang asing bagi Elise. Bukan karena dia tidak bisa marah, tetapi ketika orang-orang menghina dia, tidak pernah ada waktu ketika kemarahan mengalir ke dalam darahnya dan dia kehilangan kesabarannya. Dia tidak peduli jika dia dicemooh. Sepanjang hidupnya, Elise telah mendengar setiap ejekan sehingga dia tidak pernah merasa sakit lagi. Tetapi orang-orang telah menyentuh titik lemah di dalam dirinya dengan menyebut Ian meskipun mereka sendiri tidak menyadarinya.
"Apa yang ingin kalian ketahui adalah apakah saya seorang manusia dan cucu perempuan yang sejati dari kakek saya, bukan itu?" Suaranya yang merdu membawa kedinginan yang kini terasa dan tawa yang selama ini bergema di dalam kamar akhirnya padam. Tidak ada jawaban, pikir Elise dengan datar. Ketika mereka mencela orang lain, tidak ada keengganan di dalam mereka, tetapi sekarang ketika dia bertanya, semuanya menjadi sunyi.