"Aaah... Akhirnya aku bisa rebahan" ucapku.
Aku tidak menyangka untuk kamar murid di sebuah akademi, ini termasuk luas dan mewah. Karena aku belum tahu teman sekamarku siapa, jadinya aku langsung mengeluarkan barang-barangku dan menatanya biar terlihat rapi. Yah walaupun begitu, barang-barang yang aku bawa juga tidak terlalu banyak.
"Huh, kira-kira siapa yah teman sekamarku?" Tanyaku dengan penasaran.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Karena aku benar-benar penasaran siapa teman sekamarku, akhirnya aku langsung berada di posisi untuk menyambutnya.
"Eh, Amar?" ucapku dengan nada kaget.
"Wah, Gaome, ternyata kita satu kamar" sahut Amar.
"Huh, aku merasa lega. Aku tadi berpikir terlalu berlebihan tentang teman sekamarku" ucapku.
"(Ketawa) bisa gitu yah! Yah sebenernya tadi ada masalah sih" ucap Amar.
Amar menceritakan masalah yang terjadi pada dirinya. Dia seharusnya mendapatkan kamar pada nomor 378, namun terjadi pertukaran sepihak tanpa sepengetahuan Amar. Karena Amar tidak mau ambil pusing, dia meminta kepada petugas untuk menunjukkan kamar yang masih bisa dihuni. Petugas tersebut menunjukkan di kamar 375.
"Ah, jadi begitu. Yah mungkin teman kamar asliku tidak terlalu suka dengan orang desa sepertiku" ucapku.
"Hm, sepertinya. Ah, aku ga bermaksud merendahkanmu, Gaome. Tapi, rata-rata bangsawan disini memang begitu. Yah walaupun begitu, aku sendiri juga berasal dari bangsawan sih" sahut Amar.
Ketika mendengar hal itu, aku merasa kaget. Aku tidak menyangka bahwa Amar merupakan anggota bangsawan. Aku langsung gelapan ketika mau berbicara dengan Amar.
"Santai aja kali. Aku berbeda dengan mereka. Malah aku tidak terlalu suka dengan aturan bangsawan" ucap Amar.
"Jadi, apa tidak masalah bagiku menggunakan bahasa yang informal?" tanyaku.
"Gas aja. Aku juga tidak terlalu suka dengan hal-hal berbau formal. Tapi, harus diingat, ada beberapa situasi yang harus membuatku bersifat formal" jawab Amar.
"Begitu yah. Aku merasa lega" ucapku sambil menghela nafas.
Aku membantu Amar untuk merapikan barang-barang bawaannya. Melihat barang-barang yang dibawa Amar, untuk sekelas bangsawan, sepertinya tidak begitu banyak. Apalagi hanya ada beberapa baju dan celana yang terlihat mewah. Mungkin yang dikatakan Amar ada benarnya. Syukurlah aku bisa mendapatkan teman pertamaku seperti Amar.
"Oh yah, aku mau tanya sesuatu nih!" ucapku.
"Tanya aja. Aku jawab sebisaku yah!" sahut Amar.
"Aku kurang begitu paham bagaimana sistem pendidikan di akademi ini. Apakah saat pembelajaran, kita harus mempunyai buku atau kitab tertentu gitu?" tanyaku.
"Ga perlu sih, semuanya sudah disediakan oleh akademi. Kamu cukup pake seragam aja ketika mau pergi ke kelas ataupun ke tempat lain" jawab Amar.
"Ah, begitu yah. Terus, apa tidak ada biaya bulanan gitu?" lanjutku.
"Hm, ada sih. Itu biasanya buat kalangan yang diterima jalur tes ataupun jalur cadangan. Ngomong-ngomong, kamu diterima lewat jalur mana?" ujar Amar.
Ketika Amar menanyakan hal itu, aku sempat panik. Bagaimana tidak panik? Aku tidak melalui jalur tes ataupun pencadangan. Aku hanya tiba-tiba menerima surat. Surat itu berisikan agar aku pergi dari desa untuk menempuh pendidikan di akademi ini. Tapi, aku tidak mau membohongi Amar. Yah aku ceritakan saja lah daripada nanti terjadi kesalahpahaman.
"Sebenarnya, aku menerima surat untuk pergi ke akademi ini. Aku tidak tahu siapa yang menulis surat itu" jawabku dengan nada pelan.
"Oh, kamu menerima undangan berarti. Wah, aku ga nyangka bertemu dengan murid yang diterima lewat jalur undangan" ucap Amar dengan senang.
"Memangnya jalur undangan itu susah didapat yah?" tanyaku.
"Tentu saja. Setahuku nih, ada 7 orang yang menerima jalur undangan untuk angkatan baru. Berarti, kamu memiliki kekuatan yang besar dong?" ucap Amar dengan penasaran.
Mendengar hal itu, aku jadi lebih panik. Bagaimana tidak panik, aku saja tidak tahu kekuatan yang aku punya. Yah memang benar bahwa aku menerima berkah dari Tuhan, tapi sampai saat ini, aku tidak tahu tentang kekuatanku.
"I-itu... Huh, sepertinya aku ga bisa berbohong. Tapi, kamu jangan tertawa yah!" pintaku.
"Aman. Kan kita sudah teman satu kamar" sahut Amar.
"Sebenarnya, aku tidak tahu kekuatanku itu apa. Yah aku memang menerima berkah dari Tuhan juga, hanya saja sampai saat ini aku belum mengetahui kekuatanku" ucapku.
"Ah, jadi begitu. Yah memang ada kasus seperti itu sih. Cuman, kasus seperti itu jarang terjadi. Dan santai aja, aku tidak merendahkanmu kok. Siapa tahu, dengan belajar di akademi ini, kamu bisa menemukan kekuatan sejatimu" sahut Amar.
Aku jadi merasa tenang mendengar ucapan Amar. Yah apa yang dikatakan Amar ada benarnya sih. Aku ga boleh selalu berpikiran negatif.
"Oh yah, tadi kamu berbicara tentang seragam. Dimana kita mengambil seragam itu?" tanyaku.
"Kita ga perlu ambil sih. Nanti dianterin juga. Omong-omong, besok upacara penyambutan murid baru. Jadi, aku sarankan untuk tidur lebih awal" jawab Amar.
Tak lama kemudian, ada petugas yang mengantarkan seragam kami. Setelah menerima seragam, aku langsung menggantungnya di lemari agar besok siap digunakan. Karena tidak terasa hari sudah mulai gelap, aku dan Amar bergegas pergi ke kantin untuk makan malam. Setelah makan malam, kami berdua memutuskan untuk tidur lebih awal.
Dari tempat yang jauh dari akademi Invicta. Terdapat seseorang yang mencurigakan sedang mengawasi asrama.
"Yah, tidak buruk juga rencana yang aku buat. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah sabar menunggu hingga hari itu tiba" ucap seseorang.