Aku tak bisa apa apa, aku hanya bisa ketakutan, menutup mata dengan tubuh gemetar, mereka pikir di gigit juga tidak akan sakit, Ayah... Bisakah kau membantuku, kenapa kau membiarkan ku tersiksa oleh mereka. Aku menangis, namun, satu hal yang baru saja aku sadari, aku ingat kalung liontin milik Ayah yang ada di meja tadi, itu membuatku terdiam.
Di antara lengan ku yang akan di arahkan di mulut pasien yang terbuka dengan gigi kotornya siap menggigit, aku langsung bertekad, aku harus lari. "Aku tidak mau!!" Dan langsung memberontak menendang kaki orang yang menahan lengan ku membuatnya melepaskan ku karena kesakitan.
"Hei!!" Mereka terkejut panik, tapi aku segera berlari ke arah meja dimana liontin Ayah berada, tak hanya sampai sana, aku langsung berlari pergi dari tempat itu dengan mereka yang tanpa aku sadari memanggil para tentara dari balik walkie talkie mereka.
Aku tak peduli, aku hanya ingin terus berlari dan berlari, mencoba berpikir dimana jalan keluar dari lorong tanpa ujung itu, aku ketakutan, aku tak bisa melihat apapun, ini seperti aku melarikan diri dari penjara dan mereka mengejarku dengan bayangan yang sangat gelap, aku takut, sangat takut, tapi, aku sudah terbiasa di kegelapan, kenapa harus takut, bukankah Ayah selalu mengajarkan ku, tapi tetap saja, ini membuatku putus asa dan ketika aku benar benar lelah berlari, di saat itu juga aku merasakan luka di kaki ku sedikit terbuka, itu membuat kesakitan luar biasa, seperti satu jahitan telah terputus membuat luka robekan kecil, tapi untung nya masih ada perban, dan aku hanya bisa berjalan perlahan sambil menahan tubuhku di dinding lorong.
"Sakit... Sakit.... Sangat sakit..." Tubuhku sudah mulai lemas, aku bisa merasakan bola mata ku berputar membuat kepalaku pusing, semua yang aku lihat di pandangan ku menjadi ombak yang perlahan hancur tanpa bentuk, darahku seperti campur aduk, aku hanya bisa menggenggam erat liontin itu di dadaku sembari merintih. "Ayah... Hiks... Aku takut... Ayah...."
Aku tidak kuat, aku tidak kuat untuk berlari, aku tak bisa bertahan, aku sudah tak bisa melarikan diri, entahlah, aku tak peduli aku di tangkap mereka, aku benar benar ingin menutup mata dan tertidur.
"Apa aku, bisa, bertahan?"
Nyatanya tidak, aku langsung tumbang, padahal aku masih berada di lorong neraka itu, namun satu hal yang aku rasakan samar samar, ada seseorang yang menahan jatuh ku, dia berteriak. "Tidak! Jangan mati!! Hei!!"
Maaf, aku tak bisa mendengarmu, aku sangat lelah, biarkan aku menutup mata sebentar, aku janji aku akan bangun setelah itu. Apa itu bisa di percaya? Nyatanya, aku sama sekali tak bisa merasakan tubuhku bangun begitu saja, semuanya telah menyiksa ku dan aku hanya bisa berharap, orang yang menahan ku jatuh tadi, siapa?
--
Aku tak begitu tahu, sejauh mana aku tertidur hingga aku perlahan membuka mata sekarang, aku bisa menatap langit langit bumi yang berwarna biru pagi dengan awan yang masih murni terlukis di atas sana.
Kemudian menyadari bahwa aku terbaring di tempat terbuka membuatku langsung bangun duduk, melihat selimut kecil menghangatkan secara rata rata, aku hanya bisa melihat sekitar dengan panik, di sana hanyalah ada hutan dan tanah yang tidak terlalu luas, tapi dari kejauhan, aku bisa melihat kota, juga ada beberapa mobil yang tertinggal kan rusak di sekitar sana, kemudian menyadari ada bekas api unggun di samping ku.
"Apa yang terjadi?" Aku mulai bergumam dengan bertanya tanya sambil mencoba bangun duduk, tapi aku terlalu lemas membuatku tak bisa berdiri, mungkin karena perutku lapar.
Tapi mendadak aku mendengar suara langkah kaki dari belakang membuatku langsung menoleh dengan waspada. Itu adalah seorang pria yang menatap ku juga, dia terlihat seperti orang asing dan tanpa menunggu aku bertanya, dia mengenalkan nama nya.
"Kau sudah bangun, aku Edric, aku yang sepenuhnya menyelamatkan mu, jadi kau berhutang budi padaku" Dia menatap dengan sangat datar dan penuh kekosongan menatap ku sangat dekat.
Nama yang sangat asing, aku yang tidak gampang percaya pada orang lain menjadi menatap tajam. "Kau mau apa?! Kenapa membawaku ke tempat seperti ini?! Dimana Paman ku!!"
Tapi aku melihat dia tersenyum kecil, hanya senyuman kecil setelah itu bibirnya kembali datar. "Rupanya benar, dia tidak mengarang nya bahwa kau adalah ponakan nya" Apa yang sebenarnya dia bicarakan, aku sangat bingung, kemudian dia duduk di hadapan ku melepas tas ransel yang ia bawa dan mencari sesuatu.
Aku berpikir bahwa dia akan mengambil senjata, jadi aku waspada, jaga jaga jika aku harus melarikan diri tapi rupanya dia mengeluarkan sebungkus roti membuatku terdiam menatap itu.
"Kau pasti lapar, karena kau tertidur selama 2 hari" Dia mengatakan itu membuatku terkejut.
Pantas saja sangat lapar dan aku langsung mengambil itu, tapi aku melotot ke arahnya sambil memastikan. "Ini tidak ada racun kan?" Juga melihat kadaluarsa nya.
"Tidak ada, btw itu juga termasuk hutang budi" Tambahnya membuat ku terdiam, tapi aku tetap memakan roti itu, sembari aku memakan roti itu perlahan, dia juga mulai menjelaskan mengapa aku bisa bersama dengan nya.
"Nama mu siapa? Aku lupa?" Dia mengawalinya dengan nama.
"Apa maksudmu? Apa kita terlihat pernah bertemu? Atau kau yang tak tahu caranya berkenalan?" Aku memandang rendah membuatnya menghela napas panjang.
"Sepertinya mengawali pembicaraan dengan kalimat itu memang tidak baik.... Dengar, nak, paman mu yang bernama John, itu meminta bantuan padaku untuk menyelamatkan mu, dia bersama dengan pasukan Bloody Suck menyerang militer untuk menarik perhatian dan aku bisa mengambil mu, kebetulan kau sedang di lorong dengan lemas, jadi aku langsung membawamu pergi. Paman mu yang mengetahui aku sudah mendapatkan mu, dia juga mengikuti ku, tapi banyak nya pasukan Bloody Suck tumbang, itu membuat kita berdua menjauh dari pemukiman militer, sendirian dan kami menunggu mu untuk bangun, sementara tinggal di sini dulu" Kata pria itu, aku masih tidak percaya tapi aku langsung teringat pada Paman.
"Kalau begitu, dimana Paman sekarang?! Katakan padaku!"
"Aku tidak tahu, kau pikir tadi aku dengan berani meninggalkan mu? Aku bilang padanya aku akan mencari sesuatu untuk dimakan, dan dia bertugas menjagamu di sini, kupikir dia berpamitan dengan mu atau semacam nya"
"Apa?! Jadi... Kita berdua tak ada yang tahu, lah terus, dimana Paman?!?" Aku mulai panik dan bahkan hampir menangis.
Tapi ada yang memanggil nama ku. "Clarina...." Sudah lama aku tidak mendengar nada suara itu yang membuatku menoleh, rupanya Paman dan aku sudah berpikir sejak awal karena mengenali suaranya. Dia tampak berjalan sambil mengangkat tangan nya memanggil ku.
"Paman!!" Aku langsung berdiri dan bahkan berlari melompat ke pelukan nya.
"Wops.... Kau melakukan ini? Aku bukan Ayah mu..." Dia tertawa memegangi ku.
Tapi aku terus memeluknya dengan erat dan ketakutan sambil mulai mengadu. "Paman.... Mereka benar benar menyiksa ku, aku sangat takut.... Mengingat itu kembali, hanya membuat ku merasa kesakitan...."
Dan aku merasa, Paman yang mendengar ku juga tampak nya berekspresi kecewa juga, dia lalu menurunkan ku dan kami duduk bersama di tempat tadi.
"Clarina, ini semua salahku, jika bukan karena pilihan satu satunya mengikuti militer, aku juga tidak akan tahu kau berakhir seperti itu...." Tatapnya.
Tapi di sela itu, pria bernama Edric tadi bertanya sesuatu. "Bisa kau ceritakan apa yang mereka lakukan padamu?" Tatapnya, mendengar pertanyaan itu saja sudah membuatku langsung teringat pada kesakitan dan siksaan itu. Hal yang paling menegangkan dalam hidup ku, dimana tidak menegangkan, aku melihat orang tertembak di depan ku langsung, tangan ku akan di gigit, aku di suntik beberapa kali dan mencoba kabur dari mereka.
Aku sempat terdiam sebentar dengan sangat ketakutan hingga Paman memegang bahuku. "Hei, tak apa, katakan saja.... Dan kami akan memberitahu mu juga, apa yang sudah terjadi" Tatapnya.
Aku yang mendengar itu mencoba menarik napas dan mengeluarkan nya kemudian mulai bicara. "Awalnya aku hanya mengira jika mereka merawatku karena memang kondisi ku belum pulih, aku tentu saja mempercayai mereka. Tapi semakin lama, aku merasakan tubuhku sudah sangat baik baik saja... Bahkan..." Aku menarik ujung celana ku ke atas untuk menunjukan bekas luka yang ada di kaki ku, bekas luka goresan yang sangat tajam dan dalam itu sudah tidak berdarah, tapi masih sedikit terlihat bukaan robek karena aku berlari dan memaksakan diri.
Paman bisa melihat itu, dia bahkan menyentuh dan menarik luka itu untuk memastikan itu baik baik saja. "Ini akan baik baik saja hanya saja, meninggalkan bekas jahitan yang sangat panjang..." Tatapnya.
"Yeah, itu baik baik saja... Tapi aku masih takut, mereka terus mengatai ku antibodi, sebenarnya apakah aku memang antibodi, kenapa Ayah tak pernah cerita padaku" Aku menatap pada Paman yang tampak nya terdiam harus menjawab apa.
". . . Sebenarnya, dia sudah tahu bahwa kau adalah Antibodi, karena bagaimanapun juga, dia yang tahu bagaimana kau lahir, bagaimana kau sakit dan bagaimana merawatmu, tentu saja orang tua tahu segalanya soal anak nya, karena wabah ini datang, darah antibodi milik mu yang paling bisa membuat penawar dari wabah ini" Kata Paman, meskipun aku agak terpukul dengan kenyataan Ayah menyembunyikan ini dari ku. Tapi aku masih haus akan kenyataan lagi. "Tapi, kenapa mereka mengatakan darah ku sama sekali tak manjur, bahkan sudah beberapa kali menyuntikkan nya pada orang orang gila itu" Tanya ku.
Tapi mendadak, Edric menyela ku. "Itu mungkin karena mereka salah mengambil orang" Tatapnya membuat ku menoleh padanya, apa maksudnya hingga dia menambah perkataan nya.
"Yang mereka jadikan percobaan untuk menerima obat, itu mungkin bukan manusia, karena virus ini bisa membangkitkan orang mati, jadi mungkin percobaan yang mereka gunakan adalah orang mati dan mereka jelas tak bisa membedakan akan hal itu" Tambah nya membuat ku dan Paman terdiam mengerti. Aku memang sudah tahu akan hal itu, virus yang bisa membangkitkan orang mati, tapi tak akan bisa di sembuhkan.
"Jadi sekarang kita sudah tahu, bahwa kita harus membawa antibodi ke barat" Kata Paman menatap ke Edric, tapi aku terdiam bingung. "Ke.... Barat?"