Jakarta, keesokan Harinya.
Nicho mengucek matanya yang terasa memberat seraya berusaha membukakan kelopak matanya lalu mengusap seluruh wajahnya, sebelum ia mengatur posisi tidurnya untuk melingkarkan tangan ke pinggang Adrianna dan begitu Nicho sudah mulai merengkuh punggung Adrianna, kepalanya lekas tenggelam ke dalam tengkuk leher Adrianna.
Nicho mengendus sesaat aroma leher Adrianna yang tak pernah berubah untuk membuatnya begitu gemas. Nicho semakin mempererat pelukkannya hingga sedikit mengganggu tidur nyenyaknya perempuan itu.
Nicho melihat punggung ringkih perempuan itu sempat beberapa kali bergoyang, tetapi tetap pada sisinya mempertahankan keteguhannya dari siapapun akan menangkapnya. Tak terkecuali kepada Nicho yang sudah hampir 48 jam berada di samping Adrianna.
Nicho katakan, itu menjadi rekor baginya bisa berada di sisi Adrianna yang begitu lama. biasanya, semenjak berakhirnya hubungan mereka, Nicho tentunya membatasi diri dari sosok yang sudah mengambil seluruh hidupnya.
Adrianna pernah bilang kepadanya bahwa perempuan itu masih mau saja berteman dengan Nicho. Namun atas nama harga diri pria itu, Nicho memilih untuk menyudahi semuanya tanpa celah sedikit pun.
Nicho tak pernah mengirim pesan rutin kepada Adrianna. Tak pernah menegur perempuan itu saat Nicho menongkrong di kantin fakultas Adrianna atau main ke rumah Adrianna untuk bertemu Jael--sekaligus memantau keadaan Adrianna di sela-sela waktunya. Nicho telah putuskan untuk mengakhiri semuanya seperti kemauan Adrianna.
Dan kini, keadaan seakan tengah mengecohkan pertahanan Nicho selama ini. Susah payah Nicho menghabiskan waktu sunyinya untuk membentengi dirinya dari sosok Adrianna, tahu-tahunya, berpenghujung, tersingkap pada situasi seperti saat ini; membawa Adrianna ke apartementnya. Adrianna tidak keberatan sama sekali ketika Nicho mengajukan ide gila itu.
Perempuan itu menyetujuinya, hal mana menjadi kerikil tajam untuk menimpah Nicho, melihat Adrianna begitu lempeng menyetujui ajakan Nicho.
Sorot mata kosong itu menjadi indikasi rasa nyerinya yang kian menjadi setelah meresapi kekosongan itu begitu ringan untuk Adrianna memutuskan hal terberat bagi Nicho.
Artinya, Adrianna sudah lebih dahulu selesai dengan Nicho ketimbang Nichonya sendiri yang sudah memasang pagar tinggi-tinggi untuk bisa Adrianna tengok. Nicho tidak tahu lagi bagaimana dia mengurai rasa pilunya atas perasaan Adrianna yang memang sudah tak ada lagi untuknya, dan menyaksikan kondisi perempuan itu sekarang.
Nicho seolah mengalami mimpi buruk yang begitu berkepanjangan. Langkahnya terus melarikan diri dari mimpi buruk itu yang kian lama, arusnya mengalir kebuntuan. Nicho pun memejamkan mata.
Perihal yang terjadi pada Adrianna, menjadi ketenangan yang sesekali mengancamnya untuk mendorong Nicho agar terbangun di setiap waktu tidurnya.
Nicho beberapa kali terbangun untuk memastikan Adrianna di sampingnya selalu. Namun keadaan itu, membuat Nicho tidak bisa tidur semalaman di bawah pelukkan yang bodohnya--entah kenapa masih mendesirkan jantung Nicho.
Ini tidak adil baginya. Nicho masih hanyut dalam kepiluan yang bertubi-tubi tentang perempuannya itu, sedangkan Adrianna .. sosok itu begitu tenang di setiap langkahnya selama perjalanan pulang, lalu masuk kembali ke apartement Nicho yang menjadi masalalu mereka dan di balik ketenangan Adrianna, justru menyulitkan Nicho untuk mengajak Adrianna berbicara.
Padahal satu-satunya cara untuk mengusir keruhnya suatu pikiran pada perempuan itu adalah, mengajaknya mengobrol tetapi Nicho berubah menjadi sosok bisu, mengikuti derasnya ketenangan perempuan itu untuk bergelayut di badannya.
Nicho lalu perlahan mengelus rambut Adrianna setelah menyisihkan perhatiannya kepada perempuan itu. Ia termangu entah sampai kapan. Pandangannya sukar untuk berpindah selama sekian waktu perempuan itu di sebelahnya.
Bagian seharusnya menjadi menyenangkan lantaran dia bisa melihat sikap membisu Adrianna sebagai tanda sedang mengambek dengan pria itu.
Reaksi sejak tadi Adrianna perlihatkan padanya hampir persis saat Adrianna mencibir atau kesal kepada Nicho; tidak berbicara tetapi masih ingin berada di samping Nicho.
Kini, bagaimana Nicho bisa memandang sosok itu dalam keadaan yang biasanya Nicho sukacitakan? Nicho kembali mendekapkan Adrianna. Dan tak ada reaksi seperti beberapa menit lalu muncul dari perempuan itu sendiri.
Di tengah dekapannya itu, Nicho berusaha menarik napas panjangnya. Langit telah mulai cerah, menandakan dirinya harus memaksakan diri untuk menegur Adrianna. Maka, seusai Nicho mencoba mengatur deru jantungnya, segera Nicho perlahan berbicara kepada Adrianna yang Nicho yakini bahwa perempuan itu sudah terjaga. Hanya, belum berniat untuk menyikapi sentuhan Nicho tersebut.
"Anna, seperti janjiku padamu, aku akan memasakkanmu pagi ini." Nicho menjarakkan diri untuk memosisikan pengamatannya sekarang kepada Adrianna. "Kamu mau aku buatkan oseng telor sama roti bakar? Atau .. salad saja?" imbuh Nicho sambil menyisir rambut Adrianna. "Gado-gado mas Ogy lagi tutup dua hari ini, jadinya, gimana? Kalau kamu mau gado-gado, biar aku buatkan tapi versi saladnya aja ya? Bahannya masih ada kok. Kamu tahu kan aku suka makan." Nicho masih saja berbicara sambil sesekali terkekeh pelan.
Adrianna belum merespon apapun. Tubuhnya masih hening persis mayat hidup. Namun Nicho tak pantang menyerah untuk membujuk Adrianna agar mau menanggapi pria itu. Nicho pikir, sudah saatnya Adrianna--setidaknya menjawab pertanyaannya kini.
Nicho tak masalah jikalau Adrianna belum mau menceritakan apa pun kepada pria itu. Yang terpenting, hari ini Nicho harus mendapatkan satu patah dua patah dari bibir manis perempuan tersebut.
Nicho tak sanggup untuk menyulami kesenyapan Adrianna lebih lama lagi. Nicho hanya ingin mengobrol ringan bersama perempuan itu untuk melupakan segala hal terjadi ke marin.
Nicho tahu, itu terdengar mustahil untuk melupakan hal yang tidak Nicho pahami dan hanya Adrianna yang satu-satunya bisa memahami itu semua. Sayangnya tak ada jalan lain, Nicho ingin Adrianna masih mau menunjukkan sosok sejatinya perempuan itu tetap hidup. Bagi Nicho, hal demikian sudah cukup.
"Anna, apa perlu aku menghubungi mas Ogy biar warungnya dibuka?" Setelah sekian kebisuan mematahkan segala akal Nicho untuk menekankan langkah Adrianna supaya menapaki tanah, Nicho pun menyerah. Dia mulai gusar dengan situasi ini semua, sekalipun perasaannya yang lebur sudah tak ada artinya lagi.
Nicho hanya menginginkan perhatian Adrianna untuk sekecil-kecilnya usaha itu. Nicho pun menggeram di dalam pelukkan Adrianna. "Terakhir mas Ogy ngabari aku, warungnya tutup sementara dulu sampai kuproy1 dari gedung sebelah mau mengakui kalau dia habis ngambil tiga biji bakwan." Adrianna pun refleks memutarkan tubuhnya ke arah Nicho.
Nicho yang mendapatkan perlakuan di luar ekspektasinya itu, mendadak menegukkan ludahnya. Mula-mulanya kegusaran begitu melanda benaknya hingga tanpa perlahan, kegusaran itu menjadi hancur seketika oleh peraduan mata yang menggolekkan perasaan Nicho, menatap lurus ke arah Nicho dalam posisi sedemikian hampir tak ada celah.
"A-adrian-na."
Mendadak Nicho menjadi gagap dengan mata masih terpaku pada binar bola mata indah itu. Bagaimana bisa Nicho sedalam ini untuk mencangkuli lelehan tatapan itu kepadanya? Terlalu membekas untuk Nicho bisa bersihkan dari benaknya. Sulit rasanya, benar-benar sulit bagi Nicho.
Adrianna adalah suatu pantangan dari segala pantangan di luar sana yang berat yang harus Nicho lalui. Adrianna pun mengangguk pelan. Dan Nicho perlahan luruh bersama kebingungan akan reaksi perempuan itu maksudkan.
"A--apa? kamu mau mana?" tanya Nicho. Adrianna perlahan menarik napasnya.
"Apa saja," balas Adrianna cukup singkat dengan tatapan ke arah langit kamar.
Nicho menatap lamat Adrianna. "Kamu harus memilih."
Adrianna menggeleng pelan. "Apa saja."
"Anna."
"Aku nggak mau makan," putus Adrianna pada akhirnya seraya melirik tajam ke arah Nicho lalu memunggungi pria itu lagi.
"Kamu harus makan." Adrianna tidak menjawab lagi. Kemudian Nicho mencoba meraih perhatian Adrianna lagi dari samping sambil memandang perempuan itu yang tengah memejamkan mata. "Adri, aku tahu kamu mendengarkanku," tambah Nicho. Namun si pemilik mata cokelat yang begitu adiktif buat Nicho itu tengah menguji ego Nicho untuk mendesak dirinya lebih lama kepada sosok di depannya.
"Adri," tekan Nicho seraya menyentuh lengan perempuan itu.
Adrianna lalu menggeleng saja. Nicho pun berdecak pelan sambil menyisir rambut tebalnya. "Anna, kamu harus makan. Yaudah, kalau begitu, aku bikinin kamu gado-gado ya?" Nicho masih membujuk Adrianna untuk makan.
Sementara sosok yang tengah dibujuk itu kembali bergeming.
"Anna, kumohon. Kamu bisa sakit kalau kayak begini. Kamu kan punya maag. Aku emang ada obatnya, tapi bukan berarti kamu bisa sembarang begitu makannya." Nicho mengelus lengan perempuan itu dengan seksama.
Ia ingin merasakan sesuatu dari balik sentuhannya pada kulit tak pernah lagi dia jamahi itu. Kemudian, mengecupnya dalam khidmat dan menyenderkan kepalanya sesaat di lengan itu.
"Oke, keputusan finalnya, aku buatkan kamu salad ya, sama telor rebus." Nicho menoleh sebentar ke arah perempuan itu. Adrianna untuk kesekian kalinya, mengacuhkan Nicho.
Namun Nicho sudah tidak lagi mengurusi itu melainkan bangkit dari kasur untuk pergi menuju dapur.
…
1 kuproy = kuli proyek