Chereads / TERJEBAK ASA / Chapter 3 - 2

Chapter 3 - 2

"Eh itu beneran si Chico mau ke mari?" Kintan yang sedang fokus dengan ponselnya, lalu mendengar Jael bertanya, hanya mengangguk sebagai jawaban. "Et, coba lihat sini dulu." Jael yang merasa diabaikan oleh Kintan, menjadi sedikit tidak terima, maka dari itu Jael mencoba membuyarkan fokus Kintan dari ponselnya.

Kintan pun segera mejauhi ponselnya dari jangkauan Jael saat pria itu mencoba merebut ponsel Kintan.

"Ih apaan sih, El!" Kintan pun berusaha menyingkir dari serangan Jael yang masih saja mengganggu ketenangan Kintan dan segera melindungi ponselnya di kantong celana setelah berhasil lolos dari jangkauan Jael. "Lo nggak usah lebay begitu deh! Chico emang pesan sama gue tadi! ye!" imbuh Kintan yang menjarakki diri dari Jael.

"Pesannya kayak gimana?"

Kintan pun memutar bola mata lalu meraih kembali ponselnya secara hati-hati. Perempuan itu lekas memeriksa kotak pesannya yang mencantumkan nama Chico dan membacakannya di depan Jael. "Eh, Kin. Gua bagi alamat apart-nya Nicho. ASAP ya. Ntar gua mampir ke sana kalau urusan gua udah selesai, begitu!" ucap Kintan kemudian memajukan bibirnya sejenak.

"Lah, kenapa minta alamatnya ke elo? Kan udah gua kasih kontaknya Nicho ke dia."

Dan Kintan pun membacakan kembali pesan yang Chico kirimkan beberapa waktu lalu seberangkatnya mereka kembali ke apart Nicho. "Gue kan tadi nanya juga sama kayak lo begitu, terus dia balesnya, Nicho hapenya nggak aktif lagi pas gua tanya alamatnya dia di mana, see."

Jael pun berdecak seraya memencak pinggang. "Tuhkan, udah gua bilang apa. Nicho pasti ogah berkompromi ama Chico. Lo tahu kan Nicho masih cinta mati sama Adrianna. Pasti tuh anak jeles lah pas Chico nanyain alamat apart-nya atau bisa aja dia takut kalau Adri tiba-tiba diambil Chico."

"Ftv banget," celetuk Kintan seraya mengantongi kembali ponselnya.

"Kalau nggak ftv, bukan Nicho namanya!"

Kemudian pintu lift pun perlahan terbuka. Baik Jael dan Kintan segera keluar dari lift untuk menuju kamar apartement Nicho tanpa Maysea.

Sehabis kepulangan mereka dari Banda Neira dan begitu mendengarkan kabar Adrianna baik-baik saja, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing terlebih dahulu agar bisa beristirahat sementara waktu.

Nicho pada saat itu, mengabarkan Kintan bahwa Adrianna sedang kelelahan. Jadinya, setibanya Adrianna di apartement Nicho, Adrianna langsung rebahan di kasur mereka lalu secepatnya berkelana dalam mimpi.

Nicho memberitahu keadaan Adrianna sekaligus meminta izin kepada Jael melewati Kintan untuk memboyong Adrianna pulang ke apartement-nya dahulu untuk memberikan ruang sejenak buat perempuan itu.

Adrianna sendiri yang juga menginginkan itu dan biar Jael yang menjemput Adrianna dari apartementnya saja sekalian membahas hal yang terjadi di Banda Neira sebelum itu.

Lalu Jael meminta Kintan untuk menemaninya. Sementara Maysea masih mengurusi keperluan di rumahnya. Tadi, ibunya mengajak Maysea untuk menemani belanja. Maka itu, Maysea terpaksa menolak ajakkan Jael dan Kintan.

"Woy Nich, buka pintunya! Atau gua nih yang buka?"

 ...

Dalam lampu temaram yang melemuri halaman rumah di luar sana, mencanangkan malam dipenuhi pepohonan menjulang yang begitu syahdu, mencekamkan. Tidak terlihat bersahabat dengan keindahan semanjungan akan pesona sejuk di luar sana tetapi keangkuhan malam syahdu itu begitu memikat, menekapkan sedangkalan hamparan aksa bersama iringan tawa di pelupuk matanya.

Malam bagi siapapun menyeramkan itu, menjadi indah, terlampau indah untuk melebur ke kubangan tragis karena ia tak mempunyai daya lebih baik lagi untuk menghimpun seluruh wajah dengan penuh tikungan di sana, di dalam peraduannya untuk mengitari penjuru jalanan malam.

"Apa yang kamu pikirkan kalau ada meteor jatuh?" Adrianna menoleh ke sosok yang baginya itu, aneh. Ia mengabaikan layar tengah merekamnya itu saking menganggap sosok yang mempertanyakannya itu .. aneh.

Dari segala pesona alam surya yang mengugah Adrianna, bagaimana bisa meteor menjadi salah satu harus ia pertimbangkan untuk menyentuh bumi? Adrianna tidak bermaksud untuk membenci meteor.

Namun biasanya ia akan bertemu dengan pertanyaan semacam bagaimana bintang jatuh untuk membuatnya percaya kalau dia bisa merangkai permohonan, harapan?

Adrianna tidak mempercayainya tetapi ia menginginkannya. Setidaknya, melihat benda itu meluncur dengan indah di langit saja dahulu, tak masalah. Henyak tawa pun menyergah seluruh ruangan saat Adrianna berbicara.

"Mengapa harus meteor? Aku belum kepikiran sama sekali kalau seandainya meteor itu akan membakar rumahku."

"Kupikir nggak sampai ke rumahmu tetapi seandainya kamu melihatnya di laut."

"Itu menyeramkan," sahut Adrianna dengan pandangan lurus. Tenggelamnya matahari di depannya kini cukup merekatkan pandangan Adrianna untuk mengacuhkan segala di sekitar perempuan itu. Termasuk sosok yang tengah merekamnya maupun keadaan tengah dirinya direkam.

"Apa yang akan kamu bayangkan?"

Di pikiran Gya saat menatap wajah itu, wajah yang seiring tenggelamnya sang cakrawala itu, ikut menyatu dalam luruhnya warna yang meriuh tanpa mengetahui adanya gemerisik menghulu benak Gya, hal mana itu tentang apa saja yang akan berdampak seandainya meteor menyapa laut.

Gya masih bisa merasakan atmosfer itu ketika memikirkan riuhnya laut di sana, di tengah tenggelamnya tatapan Adrianna dalam senja di hadapannya. "Akan ada sebuah badai.. atau tsunami, mungkin?" Adrianna tiba-tiba menoleh ke layar rekaman. "Apakah kita harus berbicara dengan bahasa saintik?" Perempuan tersebut menyengir. Dan Gya ingat, setelahnya itu, Gya hanya menggelengkan kepala.

"I want to be a kid when I'm with you."

Lantas di ujung senja kian menipis, jarak keduanya pun turut membelakangi sinar mereka dengan kecupan ringan saling beradu untuk mengenyak malam yang banyak ceritanya.

Layar seketika menghitam. Sebagai peralihan dari rekaman berikutnya. Dan di sinilah sekarang mereka berada. Kamera menyorot sosok perempuan yang tengah bergerak ke sana, ke mari.

Di setiap gerakkan perempuan itu untuk memperdalam perannya, tak mengurangi sedikitnya kekokohan kamera yang merekam seluruh intrik tengah memahat pinggul, tangan, kaki lalu .. binaran wajah dalam ekspresi melatahi Gya ke suatu tempat.

"Hey Tuan Kecil yang sedang di balik pohon, bolehkah saya meminta lobak dari hasil perkebunanmu?"

Adrianna, memiringkan wajahnya untuk mengintip ke celah pohon yang sesekali bergerak. Wuuush .. wussshh ... Suara-suara menjadi latarbelakang aksi Adrianna, merenggas ke dalam tangkapan rekaman.

Namun itu tidak mengganggu Gya sama sekali melainkan suara-suara hembusan angin buatan dan beberapa nyanyian kecil semacam siulan tersebut, bisa menyamarkan ritme jantung Gya yang begitu fasih bergetar di atas normal.

Hingga detik yang bahkan sekadar menontonnya dari balik layar.

Dan Adrianna perlahan mulai melenggokkan pinggulnya seraya sosok dari balik pohon keluar dengan sekeranjang lobak. Sosok berpunggung bungkuk dalam balutan kain luruh.

Rambutnya urak-urakan bersama wajah mengusam itu tengah tersenyum bahagia. Mereka berdua pun menari sambil bernyanyi sepanjang lobak-lobak dari keranjang mereka hempaskan satu persatu.

Gya tersenyum di balik selendang merah adakalanya menggelora di dalam tarian mereka. Wajah dengan polesan yang menciptakan kesan sayu di matanya tetapi menyayat, bersatu dalam mengurah denyut di ujung bibir dan jantungnya yang melekit.

...