"Kau terlihat seperti lelaki yang hancur, Hwa, saat itu... Tapi sekarang lihat dirimu... Kau bisa merubah segalanya... Kau sudah terlihat kuat... Kau tinggi dan ototmu terlihat ketika menggunakan baju itu," kata Paman Nazem, matanya mengamati Hwa dengan penuh keheranan dan rasa bangga. Udara pagi yang sejuk menyelimuti mereka, membuat suasana semakin terasa tenang meski pembicaraan mereka cukup berat. Hwa hanya berdiri diam, sedikit ragu dengan pujian itu, namun di balik matanya, ada perasaan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Katakan padaku, Hwa... Kenapa kau selalu memakai pakaian panjang?" Paman Nazem bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, mencoba menembus dinding yang terbentuk antara mereka.
"...Aku hanya ingin menyembunyikan ini... Aku tak ingin mereka melihatku menjadi orang yang pamer akan kekuatan," Hwa membalas dengan tampang sedihnya. Dia menundukkan kepala, seperti sedang berusaha menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam. Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara angin yang berdesir pelan melalui dedaunan pohon di sekitar mereka.
"Itu sifat lelaki yang keren... Kau menyembunyikan kelebihanmu... Apa yang membuatmu melakukan itu, Hwa?" Paman Nazem menatapnya, matanya mencoba membaca lebih dalam, mencoba menemukan jawaban di balik sikap yang ditunjukkan Hwa. Lalu Hwa terdiam sebentar. Sepertinya, ini bukan pertama kalinya dia merasakan pertanyaan seperti ini, namun tetap saja, ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
"...Aku hanya ingin... Melihat dunia luar lebih luas lagi... Aku ingin berpetualang tanpa ada seorang pun yang tahu... Melihat hewan liar pasti akan sangat bagus... Tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskan kenapa aku harus menyembunyikan kemampuan yang seharusnya mereka lihat untuk mengagumiku," kata Hwa, suara sedikit gemetar, namun tetap ada tekad yang tersembunyi di balik kata-katanya.
"(Jadi begitu... Lelaki muda ini sedang berusaha menyeimbangkan hati dan fisiknya. Dia memang terlihat kuat, tapi sifat baik dan ramahnya menutupi itu semua. Salah satu cara agar terlihat kuat adalah menghilangkan sifat ramah dan baik itu... Mungkin dia hanya akan bersikap keras pada hal tertentu yang tidak diketahui semua orang, termasuk aku sendiri... Selama tiga tahun terakhir, akulah yang mengajarinya cara bertarung dan menggunakan senjata, tapi saat itu...)" Paman Nazem kembali mengingat saat pertama kali melatih Hwa, pikirannya melayang pada kenangan lama yang penuh dengan pelajaran dan perjalanan panjang.
---
"Langkah pertama adalah tembak dalam jarak yang sangat jauh," kata Paman Nazem, berdiri di belakang Hwa yang memegang busur panah. Suara busur yang tertarik perlahan terdengar jelas, angin berhembus pelan seolah mengiringi latihan mereka. Paman Nazem memperhatikan gerakan Hwa dengan cermat, setiap inci gerakan anak muda itu seakan memberinya gambaran tentang apa yang bisa dicapai Hwa dalam waktu yang singkat.
"Um... Paman Nazem, aku tak tahu apakah ini akan kena," Hwa menatap ragu. Meskipun terlihat percaya diri, ada ketegangan di wajahnya, ada rasa cemas yang tersembunyi di balik mata yang terus tertuju pada target di depan.
"Aku hanya ingin melihatmu dan seberapa kuat kemampuanmu," tatap Paman Nazem, matanya penuh dengan keyakinan bahwa Hwa bisa melakukannya.
"Um... Baiklah," Hwa mengangguk lalu melemparkan panah itu dengan busur begitu saja. Seketika, dari jarak 10 meter, itu mengenai tengah papan panah. Hal itu membuat Paman Nazem terkejut. Matanya melebar, sulit mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Di bawah sinar matahari pagi yang hangat, kejadian itu terasa seperti sebuah momen ajaib.
"(Apa itu tadi...!!!)" Paman Nazem hampir tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Senyum samar mulai terukir di wajahnya, meskipun terkejut, ada rasa bangga yang menggelora dalam dirinya.
"Oh... Itu keberuntungan," kata Hwa, wajahnya menunjukkan kelegaan yang disertai dengan senyum kecil. Tapi meskipun dia berkata demikian, ada kilatan kebanggaan di matanya, sesuatu yang tak bisa dia sembunyikan.
"Bagaimana kau belajar itu, Hwa?!" Paman Nazem menatapnya dengan serius, tak bisa membiarkan ketidaktahuan itu berlalu begitu saja.
"Ee... Aku tak belajar apapun?" jawab Hwa, terdengar ragu dan sedikit bingung. Dia bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi. Di dalam dirinya, ada dorongan kuat yang ia tak bisa jelaskan dengan kata-kata.
"Tidak mungkin... Kau pasti belajar dari sesuatu...(Tunggu... Aku harus bertanya padanya soal hewan.)... Ehem... Apa kau tertarik pada hewan selain kucing?" Paman Nazem memutar otak, mencoba mengaitkan kejadian itu dengan pengetahuan yang mungkin Hwa miliki tanpa disadari.
"...Aku suka pada burung... Mereka terlihat sangat bebas, elang yang melesat cepat, dan pelatuk yang kuat dalam paruhnya membuatku terinspirasi untuk melakukan kekuatanku sendiri," kata Hwa. Ketika mengucapkan itu, ada kilatan semangat dalam matanya, seperti burung elang yang bebas terbang tinggi.
"(Hah... Serius!!!)" Paman Nazem menjadi terkejut. Rasa kagum mulai mengalir dalam dirinya, tak hanya pada kemampuan Hwa, tetapi juga pada cara Hwa melihat dunia dengan perspektif yang berbeda.
---
"Dan begitulah saat kau memberitahuku bahwa kau sebenarnya belajar fisik sendirian, Hwa," kata Paman Nazem yang menatap Hwa dengan penuh perhatian.
"Itu tidak aku anggap belajar sama sekali," Hwa membuang wajah, terlihat sedikit canggung dan enggan mengakui bahwa dia telah melakukan banyak hal sendiri. Meskipun ada kepercayaan diri yang tampak di luar, hatinya masih terasa kosong di dalam.
"Kau sudah percaya diri, tapi kau memiliki rasa takut yang tinggi... Apa kau pernah menaruh kepercayaan yang salah pada seseorang?" Paman Nazem bertanya dengan suara lembut, berusaha menggali lebih dalam.
"(Aku tidak pernah memberikan kepercayaan salah pada seseorang, kecuali saat aku mengaca... aku terlihat seperti pecundang... Mungkin aku menaruh kepercayaanku terlalu tinggi pada diriku sendiri... Aku tak bisa mencintai diriku sendiri...)" Hwa hanya terdiam sambil menghela napas putus asa. Saat itu, suasana sekitar mereka terasa hening, hanya suara langkah kaki yang terdengar di kejauhan.
---
Dengan suasana yang semakin tegang namun penuh pemahaman, Paman Nazem memberi sebuah ide yang sederhana namun menyentuh hati, "Bagaimana jika aku belikan es krim?" tatapnya lembut.
"Paman Nazem... Aku bukan anak kecil." Hwa tertawa kecil, namun senyumannya tampak dipenuhi kehangatan yang jarang terlihat sebelumnya.
"Aku tahu itu... Tapi hari ini panas, kau mungkin mau es krim... Tunggulah di sini... Aku akan membelinya." Paman Nazem berkata dengan penuh perhatian, membuat Hwa merasa dihargai meskipun perasaan ragu masih mengganjal di hatinya.
"Aku saja yang membelinya... Aku merasa tidak enak membiarkanmu membelinya." Hwa merasa sedikit canggung, namun ada rasa terima kasih yang mengalir begitu saja.
"Tak apa... Merenunglah sebentar dulu," kata Paman Nazem, lalu ia berjalan pergi sementara Hwa terdiam merenung. Suasana menjadi lebih sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki yang menghilang jauh.
"(Aku sekarang mulai tidak mengerti sama sekali... Apa aku harus bersikap kasar untuk menunjukkan kekuatanku... Bukankah seperti kata zaman 2022, merendah untuk meroket... Menurutku itu kata yang cocok untuk apa yang aku hadapi saat ini, tapi... Haiz... Aku tak tahu harus apa.)" Dia menghela napas sendirian. Lalu menarik baju di bagian dadanya. "Aku terlihat terbuka memakai ini... Apa Paman Nazem biasanya juga suka pakai baju seperti ini, tapi memang ukurannya pas untukku." Dia melihat sekitar lalu melihat ke dalam.
Ia lalu berdiri dan berjalan ke dalam rumah Paman Nazem. Di sana ia melihat foto-foto Paman Nazem sewaktu masih masuk ke dalam militer dan pelatihan anggota.
"(Wah... Paman Nazem langsung menjadi komandan di sini, aku ingin tahu rasanya jadi yang terdepan.)" Hwa menjadi penasaran sambil mengambil satu bingkai.
Tapi pandangannya teralihkan ketika melihat sebuah kalung dog tag militer yang tergantung di dinding paku.
"Itu..." Dia mendekat mengambilnya dan terlihat di sana adalah kalung bertuliskan pangkat A/5.
"Apa pangkat Paman Nazem segini, pantas saja dia sudah jadi komandan," Dia menjadi sedikit terkesan. Lalu mendengar suara bahwa Paman Nazem sudah kembali.
Tak lama kemudian terlihat Hwa memakan es krimnya yang berwarna biru muda sambil duduk di teras, sementara Paman Nazem duduk di kursi belakangnya.
"Kau menikmatinya?" tatap Paman Nazem.
"Yah... Ini enak. Terima kasih, Paman Nazem," balas Hwa.
"Aku memilihkan warna itu seperti warna mata milikmu... Warna mata itu seperti ayahmu, bukan?"
"Ya, sangat mirip..." Hwa kembali membalas. Tapi di balik itu, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
"(Aku tak ingin punya warna mata ini... Aku ingin punya warna mata seperti ibu. Siapa yang menginginkan mata ini jika pemilik mata ini lebih kejam dari mata merah...)"
"Hwa... Bagaimana dengan latihanmu?"
"Maafkan aku, Paman Nazem, materi dalam sekolahku begitu menggangguku, lagi pula aku juga mengambil jurusan yang penting..."
"Hwa... Kau mau mengambil dua kemampuan sekaligus dalam hidupmu... Kau harus memilih salah satu antara mengambil penjurusan atau malah ikut dalam hal gila," tatap Paman Nazem. Tapi Hwa hanya terdiam sebentar.
"(Aku tak tahu harus apa.) Mungkin Paman benar... Aku mungkin tidak tahu jalan mana yang akan menjadi penerus, bukan jalan yang menghentikanku karena jalan itu adalah tebing yang curam... Seorang lelaki harus kuat menghadapi hidup jika ingin dianggap ada," kata Hwa.
"Jadi sudah diputuskan, bukan Hwa?"
"Yah... Aku akan mengikuti keputusan ayah, ikut dengan militer... oh dan aku ingin bertanya sesuatu, berapa lama Paman tinggal di militer?" Hwa menatap.
"Aku di militer 25 tahun dan itu pun aku menunggu untuk menjadi komandan, tapi aku pensiun di usiaku... Padahal pangkat komandan belum sepenuhnya aku pegang dalam beberapa tahun yang harus tetap dipegang, jika kau masuk... tunjukkan padaku, Hwa, bahwa kau bisa langsung mendapatkan jabatan komandan di sana."
"Tapi... Itu mungkin akan sangat sulit, aku tidak bisa."
"Lihat, kau sedang memikirkan sesuatu yang tidak akan masuk di akal," Paman Nazem menyela, membuat Hwa terdiam.
"Mungkin mulutmu memang harus bisa belajar untuk berani mencoba, Hwa... Kau menilai sesuatu dengan rangkaian yang buruk karena kau tidak memiliki rasa percaya diri pada dirimu sendiri, kau tidak mencintai dirimu sendiri, Hwa," kata Paman Nazem.