Setelah dari rumah Paman Nazem, sebuah rumah kecil namun terasa hangat di ujung kompleks yang dipenuhi pepohonan rimbun, Hwa melangkah keluar. Langit sore menghias langit dengan semburat warna jingga dan ungu yang perlahan mulai memudar. Udara terasa lembut, membelai kulit Hwa, sementara angin kecil menerbangkan daun-daun kering di sepanjang jalan. Hwa melangkah pelan, membiarkan suara sandal karet yang ia kenakan bergema di trotoar kecil itu.
Ia tak menyadari bahwa seekor kucing putih dengan mata biru cemerlang mengintip dari balik pagar besi tua rumah Paman Nazem. Kucing itu memperhatikannya dengan tatapan penuh minat, terutama pada kaus kebesaran milik Paman Nazem yang dikenakan Hwa, yang membungkus tubuhnya setelah baju miliknya robek dan terlalu lusuh untuk dipakai.
Hwa berjalan sambil menatap ponselnya, membawa bajunya yang kotor di lengan satunya. Matanya terpaku pada layar ponsel yang memancarkan cahaya dingin, kontras dengan kehangatan senja di sekitarnya. Ia membaca sebuah pesan yang baru saja masuk.
"(Ibu mengirim pesan padaku?)" pikirnya, membaca nama pengirim yang tertera. Pesan itu dari Neko, adiknya, yang menuliskan, [Di mana kau, Hwa?]
Sebuah senyum kecil mengembang di bibirnya. "Haha, terlihat sekali Ibu mengkhawatirkanku," gumamnya dengan suara rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Namun, senyumnya perlahan memudar. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyeruak dalam pikirannya—sebuah kenangan lama yang mengikat hati dan langkahnya. Ia berhenti berjalan, membiarkan embusan angin sore menyentuh wajahnya.
"(Ibu... mengkhawatirkanku...?)" gumamnya dalam hati, mencoba mencerna rasa yang mendadak datang. Di depannya, sinar matahari yang hendak tenggelam menyapu seluruh jalanan dengan cahaya keemasan yang terasa magis. Bayangannya sendiri membentang panjang di belakangnya, tampak samar dan rapuh seolah akan hilang dalam angin.
"(Kenapa aku merasakan sesuatu yang membuatku tak bisa mengenali bayanganku sendiri? Aku berkaca saja tak tahu apa penampilanku bagus, karena itulah aku selalu memakai pakaian yang panjang. Aku takut orang-orang akan menilai buruk gaya berpenampilanku.)"
Bayangannya bergerak pelan, terombang oleh angin lembut. Namun, langkah-langkah kecil dari kucing putih tadi menghentikan bayangan itu di belakangnya, seolah menahannya agar tak benar-benar lenyap. Hwa merasakan keberadaan itu. Dengan alis yang sedikit terangkat karena rasa penasaran, ia menoleh ke belakang.
Seekor kucing putih dengan bulu bersih dan mata biru menatapnya lekat-lekat. Tatapannya polos, penuh rasa ingin tahu, seakan-akan ia mengenali Hwa dari sebelumnya.
"Kau... kucing yang tadi?" Hwa bertanya dengan suara yang lembut. Matanya memandang kucing itu tanpa berkedip. Kucing itu hanya diam, namun telinganya sedikit bergerak menangkap suara Hwa.
"Kau terlihat sangat manis." Hwa menunduk, mengulurkan tangannya dengan perlahan agar kucing itu tidak ketakutan. Ketika kucing itu tidak bereaksi, ia mengangkatnya dengan hati-hati. Kucing itu tetap tenang dalam pelukannya, bulu lembutnya terasa hangat di tangan Hwa.
"Oh... matamu... sangat mirip denganku," katanya sambil memperhatikan pantulan matanya sendiri di iris biru kucing itu. Sebuah senyum kecil yang tulus muncul di wajahnya, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Dalam hati, kucing itu tampaknya menangkap sesuatu. Seolah-olah ia bisa merasakan kebaikan hati seseorang yang memegangnya, seseorang yang barangkali memiliki luka tersembunyi di balik senyum lembut itu.
Namun, dari sisi jalan, suara langkah cepat terdengar. Mely, seorang gadis energik dengan rambut dikuncir dua yang selalu terlihat ceria, kebetulan melihat pemandangan itu. Hatinya tiba-tiba berdegup lebih cepat.
"Eh... itu... bukankah senior?!" pekiknya dalam hati. Ia tak dapat menahan diri dan segera memanggil, "Senior!!"
Hwa menoleh, sedikit terkejut, dengan kucing itu masih berada dalam pelukannya.
Mely berlari mendekat, dan matanya membulat penuh rasa kagum begitu melihat Hwa. Ia tak pernah menyangka akan melihat sosok seniornya dalam penampilan seperti ini.
"(I... ini tidak mungkin! Senior kelihatan HOT banget... Aku tidak sadar dia punya tubuh yang bagus juga!)" pikirnya dengan pipi yang merona.
". . . Mely?" Hwa menatapnya dengan sedikit kebingungan, tak memahami tatapan aneh gadis itu.
"Ah, maaf. Apa yang senior lakukan di sini...? (Aku terkesan sampai melamun... ini memalukan.)" jawab Mely, mencoba menguasai dirinya sendiri.
"Aku hanya menemui seseorang di sini. Bagaimana denganmu?" jawab Hwa dengan nada tenang, membuat Mely semakin kagum.
"Rumahku di sekitar sini," jawab Mely sambil menunjuk arah dengan gerakan ringan.
"Apa? Rumahmu di sekitar sini? Serius? Bukankah kau bisa tinggal di kota membangun apartemen baru? Ayahmu seorang yang besar, bukan?" tanya Hwa, mengingat posisi keluarga Mely yang cukup terpandang.
"Hehe, iya, tapi aku memintanya untuk membuatkan rumah di sini. Aku tak mau hidup secara berlebihan juga. Aku ingin merasakan mereka yang bisa berjalan-jalan menikmati ini semua. Siapa tahu jika nanti aku tinggal di tempat yang tidak kusuka, aku bakal tertekan," balas Mely dengan senyum penuh keyakinan, meski ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya.
Kata-katanya itu mengingatkan Hwa pada sesuatu yang dalam. "(Tertekan?)" gumamnya dalam hati, membiarkan pikirannya terhanyut untuk sesaat.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, senior. Oh, itu... kucingmu?" Mely bertanya, suaranya lembut namun terdengar antusias, sambil menunjuk kucing putih yang masih ada di tangan Hwa. Mata birunya memantulkan sinar matahari sore yang mulai meredup.
"Oh, ini bukan kucingku. Aku tidak tahu harus apa dengannya karena tadi aku menemukannya di jalan," jawab Hwa. Ia melirik kucing itu, yang kini tampak nyaman dalam dekapannya.
"Aku bisa merawatnya," tawar Mely sambil mendekatkan tangannya sedikit, berharap kucing itu akan menanggapi. Namun, kucing itu tetap diam, hanya menatap Hwa seolah tidak ingin dipindahkan.
"Haha, aku tahu kau suka kucing, Mely, tapi sepertinya ini akan aku rawat saja," kata Hwa dengan senyum kecil yang membuat ekspresinya terlihat lebih hangat.
"Hm... baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu, senior." Mely melambai dengan semangat, meninggalkan Hwa dengan langkah ringan, sementara aroma bunga dari kebun terdekat terbawa oleh angin, menemani kepergian Mely.
Hwa masih berdiri di tempatnya, tatapannya kembali jatuh pada kucing putih kecil di tangannya. Bulu kucing itu lembut seperti kapas, dan matanya memantulkan warna biru yang sama indahnya dengan langit sebelum senja berubah menjadi malam.
"(Haiz... apa yang harus aku lakukan?)" pikir Hwa. Ia terdiam, membiarkan suara angin dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya yang mengisi keheningan di sekitarnya.
Langkah kaki seseorang memecah keheningan itu. Seorang lelaki, berpakaian rapi dengan jas hitam, melintasi jalan kecil itu. Wajahnya tampak datar, pandangannya lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaan Hwa.
Namun, kebetulan seringkali menghadirkan momen yang tidak terduga. Ketika mereka berpapasan, keduanya secara bersamaan menoleh. Kontak mata pun terjadi—tatapan yang singkat, tetapi cukup untuk meninggalkan kesan yang mendalam.
Mata lelaki itu membesar, memperlihatkan rasa tak percaya yang seolah sulit ia sembunyikan. Namun, di tengah keterkejutannya, langkahnya goyah. Kakinya tersandung sesuatu yang tak terlihat, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan.
"Hati-hati!" Hwa dengan refleks melepaskan kucing yang dipegangnya, lalu meraih lengan lelaki itu. Gerakannya cepat, tetapi posisi mereka menjadi agak canggung. Lelaki itu nyaris jatuh ke arah Hwa, membuat jarak di antara mereka terasa terlalu dekat sejenak.
Setelah berhasil berdiri tegak, lelaki itu tampak sedikit bingung dan gugup. "Terima kasih," ucapnya singkat, tetapi tatapannya tetap terpaku pada wajah Hwa.
"Tak masalah," balas Hwa dengan senyum ramah. Raut wajahnya yang tenang membuat lelaki itu semakin terkejut, seolah tidak menyangka bahwa seseorang bisa tampak begitu hangat dan bersahaja.
"Kau sangat tampan," ujar lelaki itu tiba-tiba, tanpa berpikir. Ucapannya langsung membuat Hwa terdiam, terkejut dengan pujian yang terasa tidak biasa, terutama karena datang dari seorang lelaki.
"Hah... maafkan aku!" Lelaki itu buru-buru menunduk, wajahnya memerah, dan gerakannya menjadi panik seperti orang yang baru saja mengacaukan sesuatu.
"Tak apa, semua orang juga suka seperti itu. (Sebenarnya ini sangat aneh,)" kata Hwa, mencoba meredakan kegugupan lelaki itu. "Aku Hwa," lanjutnya, memperkenalkan diri.
"Aku... Shinomi Jyoun. Kau bisa panggil aku Shino," kata lelaki itu, suaranya sedikit lebih tenang namun masih terdengar ragu.
"Nama yang bagus. Senang bertemu denganmu, Shino," Hwa kembali tersenyum.
Shino menatapnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada rasa penasaran, kekaguman, dan mungkin sedikit rasa canggung yang tercampur jadi satu. "Uh... apa kau bisa mampir ke tempatku? (Dia lelaki yang baik, sepertinya.)" tawarnya dengan nada hati-hati.
"Eh, serius? Kau mengundangku?" tanya Hwa, sedikit terkejut dengan keberanian Shino.
"Jika kau tidak ingin, tidak apa-apa... Rumahku juga jauh dari sini karena tadi aku baru saja dari tempat teman," Shino buru-buru menjelaskan, suaranya terdengar khawatir kalau tawarannya terlalu tiba-tiba.
"Tak apa, aku akan mampir," jawab Hwa, membuat Shino tampak sedikit lega.
Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, kucing putih itu tiba-tiba mengeluarkan suara keras, "Meong!" Suaranya menggema di udara sore, menyela pembicaraan mereka dan membuat keduanya menoleh ke bawah.
"Oh, benar. Aku harus membawa kucing ini. Dia cemburu tak aku bawa. Maaf ya, Shino, aku tidak bisa datang," kata Hwa sambil menggendong kucing itu kembali. Wajahnya sedikit menyesal, tetapi tangannya yang lembut menenangkan kucing itu, membuatnya kembali tenang.
"Tak apa, paling tidak aku ingin tahu nomor ponselmu." Shino mengeluarkan ponselnya, menawarkan layar kosong pada Hwa.
"Baiklah." Hwa mengangguk, membacakan nomor ponselnya dengan suara pelan. Angin sore yang hangat membawa suara itu kepada Shino, yang mencatatnya dengan hati-hati.
Setelah selesai, Hwa melambai, meninggalkan Shino yang berdiri di tempatnya. Kucing putih itu terlihat nyaman dalam pelukan Hwa, sementara siluet mereka perlahan menghilang di bawah cahaya senja yang semakin meredup.
"(Aku harap kita bisa bertemu, Hwa,)" pikir Shino, menatap kepergian Hwa dengan senyum tipis yang penuh harapan.
Setelah itu dia pergi ke sebuah tempat, tepatnya rumah yang besar dan masuk ke dalam sebuah pintu besar yang berwarna hitam.
"Ayah, aku kembali," kata Shino meletakan kertas yang ia ambil dari sakunya, ia meletakan nya di meja kantor seseorang. Sementara itu seorang pria menatap ke jendela lalu menoleh ke Shino dengan senyum kecil nya. Dia mendekat dan membelai rambut Shino.
"Kau melakukan tugas mu dengan baik," kata dia yang rupanya adalah Beum. Jangan lupa kalau nama Beum adalah Beum jyoun sama seperti shino jyoun dan Matthew jyoun.
Mereka memiliki marga yang sama itu berarti Shino adalah putra dari Beum.
"Terima kasih Ayah, kalau begitu aku pergi dulu," Kata shino lalu Beum mengangguk pelan.
Apa yang sebenar nya terjadi, sejak kapan Beum menikahi seseorang dan mendapatkan putra sebaik Hwa.
Di sisi lain Hwa membuka pintu rumah dan menurunkan kucing nya.
"Aku akan memandikan mu agar kau terlihat bersih... untung nya ayah dan ibu tidak melarang sama sekali untuk memelihara hewan," kata Hwa. Tapi tak di sangka kucing hitam kemarin melompat dari sofa.
"Oh kau Kuroi, tentu saja kau ada di rumah, Luna tidak mungkin membawamu ke sekolah.. lihat aku membawa teman baru," kata Hwa lalu kuroi kucing hitam kecil itu menoleh ke kucing putih.
Mereka saling menatap. Bukanya seperti kucing lain yang langsung menggunakan nada melawan pada kucing lain, berbeda dengan mereka, mereka langsung mendekat dan saling menjilat.
"Ow manis...." Hwa menjadi terkesan manis.