Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 325 - Chapter 325 Bloody Line

Chapter 325 - Chapter 325 Bloody Line

"Baiklah... Aku akan mengajarkanmu cara melemparkan panah ke tepat sasaran, yaitu di tengah-tengah papan." Sheo Jin mengambil satu panah arrow kecil itu lalu melemparkannya dengan gesit, dan panah itu langsung mengenai bagian tengah papan dengan sempurna. Gerakan Sheo Jin begitu terampil dan lancar, tampak sangat mahir.

"Wah, itu sangat keren, Nona Sheo Jin!" Hwa bertepuk tangan dengan kagum, mata terbelalak melihat keterampilan Sheo Jin yang luar biasa.

"Hehe, terima kasih, Pangeran... Baiklah, aku akan mencabutnya." Sheo Jin mendekat ke papan itu dan mencabut panahnya, tetapi tiba-tiba ia terdiam. Sesuatu yang aneh menarik perhatiannya.

Saat ia melihat satu lubang di tengah papan, wajah Sheo Jin berubah sedikit bingung. Jika panah Sheo Jin memang ada di tengah, mengapa ada lubang yang lebih besar di titik yang sama? Lubang itu terlihat tajam dan bersih, hampir seperti ujung pisau... atau lebih tepatnya, belati. "Tunggu... siapa yang menancapkan ini?" pikirnya, menduga apakah itu mungkin Hwa yang pertama kali melakukannya.

"Ada apa, Nona Sheo Jin?" Hwa menatap dengan bingung, tidak menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh Sheo Jin.

"Ah, nggak ada apa-apa... Baiklah, giliranmu, Hwa," Sheo Jin memberikan panahnya, kemudian Hwa menerima dengan sedikit ragu.

"Tapi... Aku tidak bisa..."

"Tak apa, coba saja..." Sheo Jin menatapnya dengan harapan, mendorong Hwa untuk mencobanya.

Lalu, Hwa melemparnya, tapi tak disangka-sangka panah itu mengenai pinggir papan, menandakan tanpa bakat sama sekali.

Tapi Sheo Jin menjadi terdiam.

"Um... Anu... Apa Nona jadi kecewa padaku?" Hwa menatap khawatir.

"Ah... nggak kok... Belajarlah... (Ini sangat aneh)," Sheo Jin menatap, lalu berjalan pergi dan menutup pintu.

Hwa melihat kotak panah itu yang masih penuh, lalu mengambilnya satu per satu. Ia mendekat ke papan dan menancapkannya secara manual di pinggir papan, membuat ilusi.

Ia lalu mundur dan mengeluarkan dua belati di kedua tangannya. Dia melemparkan kedua belati itu secara bersamaan, dan pada saat itu juga, kedua belati itu mengenai titik tengah dengan sempurna.

Rupanya Hwa menyembunyikan kemampuannya dengan membohongi Sheo Jin. Panah-panah yang ia tancapkan di pinggir papan hanya untuk membohongi Sheo Jin bahwa ia telah melakukannya berkali-kali tapi tak bisa mengenai tengah, padahal ia bisa mengenai tengahnya dengan mudah.

Tak lama kemudian terlihat Sheo Jin ada di luar ruangan lapangan tembak itu, berpikir dengan keras.

"(Ini sangat aneh, tahuk... Hwa mencoba berbohong padaku... Apa dia memiliki maksud lain... Seperti pisau? Atau malah belati? Tapi kenapa belati?... Tunggu.)" Dia teringat sesuatu.

Tapi Hwa membuka pintu. "Nona Sheo Jin... Bisa aku pulang sekarang?" Hwa menatap.

"Oh, baiklah... Datanglah lagi... Ngomong-ngomong, kapan kau akan dikirim ke militer?" Sheo Jin menatap.

"Di minggu depan, aku juga harus menemui seseorang hari ini."

"Seseorang... Kau akan mengucapkan perpisahan... Siapa hayo... Pacar kah?" Sheo Jin melirik nakal.

"Haha, bukan Nona Sheo Jin... Aku pergi dulu... Sampai jumpa," Hwa berjalan pergi.

"(Tubuhnya sangat tinggi di umur yang masih muda... Hampir setinggi Felix... Jika dipikir-pikir, Felix juga setinggi itu saat umurnya sama seperti Hwa... Haiz... Anak muda... Sangat iri aku...) Sheo Jin hanya bisa menggeleng.

Hwa baru saja kembali dari tempat Sheo Jin, ia berjalan dengan menatap ke ponselnya.

"(Baru-baru ini aku bergabung dengan komunitas keanggotaan militer... Aku membaca setiap informasi dari mereka melalui laptop maupun ponsel... Tapi aku kurang paham soal hal ini... Seseorang bisa membantu dengan hal ini?)" Hwa menjadi tersenyum bertekad. Ia membawa sebuah plastik belanjaan berisi daging dan roti untuk seseorang.

Tapi siapa tahu ada kucing putih yang melihatnya dari tadi dan mengikutinya di jalan sepi itu. Tepatnya di jalan komplek. Hwa benar-benar akan menemui seseorang.

Saat Hwa akan membuka pagar kecil sebuah rumah sempit, kucing itu melompat menarik tasnya, membuat tas itu jatuh dan sebuah daging terlihat di sana.

Hwa terdiam melihat bawah dengan kucing itu yang mengambil makanan kucing itu dan berjalan pergi. Tapi ada sebuah mobil melaju yang hampir membuat kucing itu tertabrak.

"Awas..." Hwa terkejut dan langsung berlari mengambil kucing itu, membuatnya berguling-guling melindungi kucing itu. Hwa berakhir lecet di pinggir jalan tapi untung nya dia tidak tertabrak.

Seseorang keluar dari mobil, tepatnya seorang pria. "Anak muda... Kau baik-baik saja?" Dia mendekat. Pria itu melihat Hwa yang bisa berdiri dengan sempoyongan.

"(Astaga... Bocah ini tinggi sekali...) Kau baik-baik saja?" Pria itu kembali menatap cemas.

"Aku baik-baik saja... Terima kasih... Maaf sekali lagi." Hwa menundukkan badan.

"B... Baiklah... Aku pergi dulu... Kau harus hati-hati," Pria itu berjalan menuju mobil lalu pergi membawa mobilnya.

Hwa terdiam dengan lemas melihat kucing putih itu yang gemetar memeluknya.

"Kau baik-baik saja sekarang?" Kata Hwa. Kucing itu gemetar menengadah dan perlahan melepas cakaran yang menancap di dada Hwa. Saat cakaran itu dilepaskan, rasanya seperti tertusuk, itu yang dirasakan Hwa hingga tubuhnya berdarah.

"(Aku memahami kucing... Mereka mencakar saat ketakutan, ini tidak masalah untukku, yang penting dia selamat.)" Hwa melepas kucing itu.

"Pergilah... Aku melepaskanmu... Lain kali hati-hati," Kata Hwa lalu ia berdiri menuju ke sebrang jalan dan mengambil plastik serta ponselnya yang ada di bawah tadi karena ia menjatuhkan keduanya untuk menyelamatkan kucing tersebut. Tapi tubuhnya benar-benar lecet. Kemeja hitam lengan panjang yang ia pakai kini agak sobek di bagian siku dan celana hitamnya juga lecet.

"(Haiz... Nasibku.)" Dia menghela napas panjang lalu akan membuka pagar di rumah salah satu komplek itu, tapi tiba-tiba ada yang membuka dari dalam. Tepatnya seorang pria besar yang bertubuh sangar dan tatapan sangat serius. Seperti Felix. Tapi pria itu menjadi terkejut melihat Hwa.

"Hwa... Kau kan itu?"

"Ah halo Paman Nazem, senang bertemu dengan mu lagi..." tatap Hwa sambil membungkukan badan.

"Kau beneran? Hwa?" Paman Nazem masih tidak percaya.

"Ya, ini aku... Lama tidak bertemu."

"Ada apa dengan tubuhmu? Kau berkelahi?"

"Aku hanya... Baru saja menyelamatkan kucing di jalan tadi... Ngomong-ngomong, aku membawa roti untukmu, Paman Nazem." Hwa menunjukkan plastik yang ia bawa.

"Tak perlu repot-repot... Masuklah, Hwa." Pria yang bernama Paman Nazem itu mempersilahkan Hwa masuk. Lalu Hwa masuk ke rumah yang sederhana dan bergaya khas Jepang kuno.

Di dalam juga ada foto-foto Paman Nazem berpakaian militer tentara. Sudah jelas Paman Nazem adalah salah satu dari militer.

"Kau harus berganti baju, Hwa... Pakailah ini." Paman Nazem melemparkan kaus hitam jenis singlet. Kaus singlet adalah kaus tanpa lengan.

"I... Ini... Terbuka?" Hwa terkaku.

"Kaus itu sangat populer untuk menunjukkan otot dalam orang... Itu masih baru, btw," Kata Paman Nazem.

"Baiklah, terima kasih, Paman." Hwa mengangguk lalu melepas kemejanya dan berganti kaus.

Setelah berganti, dia duduk di samping Paman Nazem yang juga duduk di teras rumah.

Kulitnya yang putih terlihat karena kaus itu dan otot bahunya yang besar.

"Terakhir kali kau kemari karena masalah ayahmu, bukan? Aku masih ingat kau menangis di umurmu yang ke-13 tahun itu," Kata Paman Nazem.

"Haiz... Jangan mengungkit itu... Aku benci menangis..." Hwa membuang wajahnya.

Paman Nazem tersenyum kecil.

Tiga tahun yang lalu, saat umur Hwa masih 13 tahun, ia dipaksa Felix mempelajari tentang militer.

"Hwa... Apapun yang terjadi... Kau akan menjadi garis darah pertama... Maka kau harus menjadi lebih kuat... Biarkan aku melihatmu tumbuh dengan kuat dan cepat, tinggi dan berani... Itu yang kuinginkan."

"Tapi ayah... Aku tak mau masuk militer... Aku ingin menjalani kehidupan di luar sana sendirian."

"Tidak bisa!!... Kau harus menjadi seseorang yang akan aku katakan sebagai mampu... Jadilah pahlawan, bukan kau yang ditolong!" Felix menyela.

Di saat itu juga, Hwa terdiam sedih saat pulang sekolah sendirian.

Di saat pulang sekolah, Neko menghubunginya.

"Hwa... Kau tak perlu menjemput kedua adikmu... Mereka sudah ibu jemput, kau bisa pulang sekarang, Hwa," Kata Neko.

"Baik... Ibu." Hwa membalas dengan sedih. Itu pertama kalinya melihat Hwa benar-benar memasang wajah selain senyuman itu.

Di saat itu juga, dia menabrak seorang pria besar.

"Ah... Maaf, Tuan." Hwa menatap. Tapi ia terdiam terbelalak melihat kalung militer yang dikenakan pria itu. "(Dia.... Militer?!)"

"Tak apa... Kau terlihat susah, anak muda." Pria itu menatap, yang merupakan Paman Nazem. Waktu itu mereka belum saling mengenal.

Tapi Hwa langsung mengatakan sesuatu. "Paman, kau Militer?!" tatap Hwa dengan antusias.

"Ah, ya, kenapa? Aku sudah pensiun juga..."

"Aku ingin belajar soal militer!!" Hwa langsung menatap memohon. "Aku mohon, berikan aku informasi sebanyak banyak nya.... Aku ingin mempersiapkan diri..."

"Kenapa tiba tiba sekali, kau hanya lelaki kecil yang... Tunggu, berapa umurmu? 17 tahun?"

"Aku... Masih 13 tahun..."

"Hah? Perkembangan mu cepat juga, mungkin karena kau memang harus pantas melatih tubuhmu.... Baiklah, aku bisa memberikan mu harapan..." tatap paman Nazem.

"Oh, terima kasih... Aku sangat senang..." Hwa menundukan badan.

"Kembalilah 2 tahun lagi... Ke tempatku... Aku akan sering mengirim informasi di nomor ponsel mu...." Paman Nazem mengeluarkan ponsel untuk bertukar kontak dan Hwa langsung melakukan itu. Dari sana dia menjadikan paman Nazem sebagai pembuangan ceritanya mulai dari dia yang bercerita soal masalahnya dengan ayahnya bahkan keluarganya. Informasi pelatihan yang dikirim oleh paman Nazem juga cukup bisa di nalar oleh Hwa.

--

"Aku... Aku tak tahu lagi harus apa..." Hwa menundukkan badan setelah mengingat bagaimana dia bertemu dengan paman Nazem. Hingga saat itu, air mata muncul. Paman Nazem yang melihat menjadi terkejut dan seketika memegang kedua pundak Hwa.

"Hei... Kau itu lelaki atau perempuan, huh? Kenapa kau menangis di depan ku... Tunjukkan padaku kau lelaki...!!" Paman Nazem menatap tegas membuat Hwa terdiam kaku.

"Kau... Bisa membantuku?" Hwa menatap polos dengan masih ada air mata mengalir.

"Jika kau menceritakannya padaku, aku mungkin bisa memahaminya. Tapi soal membantu... Aku akan membantumu karena tak ada kerjaan aku," Balas Paman Nazem.