Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 324 - Chapter 324 Bloody Line

Chapter 324 - Chapter 324 Bloody Line

Malamnya, Hwa ada di kamarnya yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang lembut melalui jendela kecil di sudut ruangan. Suasana hening, hanya terdengar suara angin malam yang berbisik di luar. Ponsel di tangannya menyala, dan dengan serius ia berbicara dengan seseorang, suara mereka tercampur dalam keheningan yang hampir mencekam. Hwa duduk di tepi ranjang kamarnya yang terbuat dari kayu gelap, kedua tangan memegang ponsel dengan erat seolah itu satu-satunya penghubungnya dengan dunia luar. Di sekelilingnya, ruangan itu terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam di meja yang terdengar jelas.

"Baiklah... Aku mengerti. Terima kasih, sampai jumpa." Dia lalu menutupnya dan menghela napas panjang, seperti ada beban yang tiba-tiba terasa semakin berat di dadanya. Hwa meletakkan ponsel di sampingnya dan memejamkan mata, mencoba mencerna percakapan itu.

"(Apa aku perlu menunjukkan kekuatan fisikku agar ayah percaya padaku? Ayah benar-benar menganggapku sangat lemah hanya karena aku selalu baik dan ramah pada orang lain... Memangnya hal seperti itu dilarang?)" Pikiran itu terus menghantuinya, berputar-putar tanpa henti dalam benaknya, membuat hatinya semakin terasa berat. Keputusannya untuk membuktikan dirinya sendiri semakin menguat.

"Hwa..." Tiba-tiba, suara lembut dari luar pintu membuatnya terjaga. Neko membuka pintu perlahan, matanya mencari-cari sosok Hwa yang kini menoleh padanya. Suasana malam yang sepi seolah mengundang keheningan tambahan, membuat langkah Neko terasa begitu lembut dan penuh perhatian.

"Ibu," Hwa menatapnya dengan tatapan kosong, berusaha menyembunyikan perasaan galau yang sedang bercampur dalam dirinya.

"Bagaimana perasaanmu?" Neko bertanya pelan, melangkah masuk dan mendekat. Wajahnya terlihat penuh kekhawatiran, seakan mengetahui bahwa ada sesuatu yang mengganggu Hwa, meskipun Hwa tak mengungkapkan apapun. Neko berdiri di samping Hwa, menatapnya dengan penuh kasih sayang, seperti ingin menenangkan perasaan anaknya yang tampaknya sedang berjuang dalam kesendirian.

"Entahlah, ibu... Aku baik-baik saja, tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan." Hwa menatap cemas sambil menundukkan wajahnya, seolah segala beban dunia terletak di pundaknya. Lalu Neko, dengan penuh kasih sayang, memegang kepala Hwa dan mengelus pipinya. Sentuhan itu terasa hangat dan menenangkan, meskipun hatinya masih terasa ragu.

"Hwa... Jadilah dirimu sendiri meskipun kau harus melakukan cara dari orang tuamu... Terimalah ayah dan ibumu dengan sangat sabar," kata Neko lembut, suaranya dipenuhi dengan ketulusan. Ia memeluk kepala Hwa dengan penuh kehangatan, seolah ingin memberikan rasa aman di tengah kebingungannya.

"(Ibu... Kapan terakhir kali kau akan memelukku nanti setelah aku pergi? Aku akan sangat merindukan pelukan hangat ini.)" Hwa menutup mata, merasakan pelukan hangat itu semakin erat, membiarkan dirinya terlarut dalam kenyamanan yang hanya dapat diberikan oleh seorang ibu. Dalam keheningan malam yang dingin, pelukan itu terasa seperti sebuah perlindungan yang tak ternilai harganya.

Di sisi lain, Luna dan Caleb tidur di ruangan yang sama, namun terpisah di ranjang masing-masing. Suasana kamar mereka sedikit lebih terang, berkat lampu kecil yang menyala di sudut ruangan. Luna tampak tenang dalam tidurnya, dengan kucing hitamnya yang tidur di sampingnya, menghadirkan kesan damai di tengah malam yang sunyi.

Namun, di tempat tidur Caleb, matanya terbuka perlahan, menatap langit-langit yang gelap. Suasana kamar yang sepi membuatnya merasa sedikit gelisah. Ia berpaling ke arah Luna yang masih tertidur lelap, nafasnya yang teratur menambah kesunyian di sekitar mereka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Caleb turun dari ranjang, berjalan pelan-pelan ke luar kamar, seakan menghindari sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan.

Sepertinya ia akan membutuhkan kamar mandi. Panggilan malam, sebuah kebiasaan yang sering mengganggu tidur malamnya.

"(Sangat tidak nyaman jika ingin buang air kecil malam-malam.)" Caleb berpikir dengan sedikit cemas, melangkah menuju kamar mandi. Setelah selesai, ia keluar dan berjalan kembali ke kamar, tetapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara dari kamar Hwa. Ada sesuatu yang mengusik rasa ingin tahunya. Perlahan ia mendekat dan menguping percakapan yang terjadi di dalam.

"Ibu, saat aku pergi nanti... Apa ibu akan sangat sedih?" Hwa menatap, suaranya penuh keraguan, seolah ia takut akan mengecewakan ibunya.

"Tentu saja, Hwa... Jika perlu, kau jangan menuruti ayahmu... Ibu tak ingin kau melakukan hal keras di usiamu yang masih muda," kata Neko, matanya penuh kekhawatiran dan cinta. Suasana semakin tegang, setiap kata yang keluar dari mulut Neko seolah membawa harapan besar akan keputusan Hwa di masa depan.

"(Aku membuat ibu sedih... Padahal aku tak mengharapkan ibu sedih.)... Aku harus, ibu... Maafkan aku... Jika aku tak masuk militer, ayah tak akan percaya dengan kekuatanku," kata Hwa dengan suara yang hampir tak terdengar, terdiam sejenak. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti beban berat yang harus ditanggungnya seorang diri.

Di saat itu juga, Caleb yang menguping menjadi terkejut. "(Kakak Hwa... Akan pergi ke militer?!)" Hatinya berdebar kencang, tak menyangka bahwa keputusan besar ini akan mengubah banyak hal dalam hidup Hwa.

Hari berikutnya, Caleb berdiri dengan hati-hati di belakang meja makan yang tinggi, memandang Hwa yang duduk di hadapannya. Meja itu terbuat dari kayu gelap yang berkilau, menciptakan siluet tubuh Hwa yang tampak tenang di bawah cahaya pagi yang lembut. Hwa sedang menikmati sarapannya, makan dengan tenang sambil sesekali menatap layar laptop-nya yang terbuka lebar. Suasana pagi itu tenang, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring dan desahan lembut dari kipas angin yang berputar pelan di sudut ruangan.

Caleb, yang berdiri agak jauh, mengintip dari balik kursi besar di samping meja, berusaha agar Hwa tidak menyadari keberadaannya. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberi nuansa hangat pada ruangan itu, tetapi perhatian Caleb terfokus pada Hwa yang tampak begitu serius dengan laptop-nya.

Hwa tak sadar bahwa Caleb sedang mengintipnya. Ketidakpeduliannya membuat Caleb merasa penasaran, mengamati setiap gerakan Hwa yang tampak begitu fokus. Caleb, dengan hati yang berdebar, mulai memikirkan sesuatu.

"(Hwa akan pergi ke militer... Apa dia akan menjadi tentara... Jika dia jadi tentara, dia akan menjadi kuat... Bagaimana dengan aku nantinya... Aku juga ingin jadi kuat sepertinya.)" Caleb berpikir, mata terbuka lebar, seolah-olah ia sedang menimbang pilihan besar dalam hidupnya.

"Caleb!" Luna mendadak memanggilnya dengan suara yang cukup keras, membuat Caleb terkejut dan hampir terjatuh dari kursi. Suara Luna memecah keheningan, mengembalikan Caleb ke kenyataan.

Mendengar panggilan itu, Hwa menoleh ke arah mereka. Sorot matanya yang tenang bertemu dengan tatapan Caleb yang canggung. Luna benar-benar menggagalkan rencana Caleb untuk mengintip.

"Hei... Kalian berdua... Ada apa?" Hwa menatap mereka dengan ramah, senyum tipis terlihat di wajahnya yang cerah. Suasana menjadi sedikit lebih hangat karena sapaan Hwa, yang seolah-olah mengundang percakapan ringan.

"Luna... Kau benar-benar menjengkelkan!!" Caleb menatap Luna dengan ekspresi kesal. Suaranya terdengar sedikit keras, seolah meluapkan rasa frustasi yang ia rasakan.

"Eh... Ada apa?" Luna menatap dengan mata kosong dan polos, masih memegang kucing hitamnya yang tampak nyaman di pelukannya. Kucing itu tampak malas, ekornya terkulai di lengan Luna.

"Ada apa ini, Caleb?" Hwa berdiri perlahan dan mendekat, tatapannya kini serius, mencoba memahami suasana hati teman-temannya.

"Hwa... Lihat... Aku menamainya Kuroi... (Kuroi yang artinya hitam dalam bahasa Jepang)" Luna dengan penuh kebanggaan menunjukkan kucing hitam yang ia bawa, seolah-olah itu adalah sesuatu yang sangat istimewa.

"Wah, bagus banget, ini nama yang bagus banget!" Hwa membalas dengan senyum, tangannya sedikit terangkat seolah memuji pilihan nama tersebut dengan tulus.

"Itu nama yang tidak keren... Yang lebih tidak kerennya, kau akan pergi meninggalkan kami," Caleb menatap Hwa dengan serius, kata-katanya terasa sedikit tajam. Seketika, Hwa dan Luna terdiam, suasana menjadi canggung seketika.

"Hwa... Kau akan pergi ke mana?" Luna menatap dengan wajah yang sedikit cemas, matanya menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

"E... Aku tidak pergi ke mana-mana, Luna... Aku tidak kemana-mana," Hwa mencoba menenangkan Luna, meskipun ada rasa tidak nyaman yang terselip di suaranya. Ia berusaha meyakinkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja.

Detik berikutnya Neko datang kebetulan. "Kalian, ada apa?" tatapnya.

"Ibu... Hwa akan kemana? Dia tak mau mengatakan yang sebenarnya...." Luna langsung bertanya dengan tatapan polosnya.

Neko tersenyum tipis lalu membelai kepala Luna bahkan membelai pipi Caleb secara bersamaan. "Dia akan menghadapi kehidupan yang sebenarnya, dan kehidupan itu tidaklah mudah, suatu saat nanti, pilihan kalian yang menentukan hidup kalian juga..." tatapnya dengan lembut membuat Luna juga tersenyum tenang.

Tapi Caleb mengatakan sesuatu. "Itu bukan pilihan Hwa sendiri..." tatapnya.

Seketika Hwa bahkan Neko juga terkejut. Hwa yang mendengar nya menjadi menghela napas panjang dan menatap Neko. "Ibu, jangan khawatir, aku sudah siap menjalani hal itu, aku tidak akan memutuskan timbul balik akan keputusan ku...."

"Hwa..." Neko memanggil pelan sambil berdiri tegap menatap Hwa yang lebih tinggi. "Maafkan ayahmu yang telah mengatur pilihan mu.... Ibu tahu kau hanya ingin di sini, melindungi keluarga kecil ini dan menjadi pengganti ayahmu. Tapi selama ayahmu masih di sini, dia tidak perlu digantikan dan waktu yang harus kau gunakan adalah melatih kekuatan mu dan ketegasan mu..." tatap Neko membuat Hwa terdiam apalagi kedua adiknya yang masih belum mengerti.

---

Nampak sebuah belati hitam menancap di papan panah yang terpasang di dinding lapangan tembak. Belati itu menancap dengan presisi yang sempurna, tepat di tengah-tengah papan, menandakan bahwa banyak poin telah berhasil didapatkan. Hwa berjalan perlahan mendekati papan itu, langkahnya tenang dan penuh percaya diri. Papan panah itu dipasang di sebuah dinding beton yang keras, dikelilingi oleh suasana sunyi dan penuh konsentrasi. Di dalam ruangan itu hanya ada suara napas yang teratur dan langkah kaki Hwa yang mantap.

Dia berada di lapangan tembak dalam ruangan, sebuah tempat yang terasa sepi, hanya ada sedikit pencahayaan alami yang masuk dari jendela kecil di sudut ruangan. Udara di dalam terasa sedikit lebih dingin, menambah ketegangan yang melingkupi suasana.

Tiba-tiba, datang seseorang, memecah kesunyian. "Pangeran..." Rupanya Sheo Jin datang membawa sekotak panah arrow kecil yang terlihat sangat baru dan rapi.

Hwa menoleh dengan ramah, senyum ringan menghiasi wajahnya yang tenang. "Halo, Nona Sheo Jin."

"Kau sudah mencobanya?"

"Aku belum mencoba sama sekali..." Hwa membalas, meskipun sebenarnya dia sudah mengenai bagian tengah papan. Tetapi dia memilih untuk tidak mengungkapkan kemampuannya.