Chereads / Bloody Line: Under The Drop of Blood / Chapter 323 - Chapter 323 Bloody Line

Chapter 323 - Chapter 323 Bloody Line

Terlihat Hwa masuk ke sebuah kafe kucing yang terletak di sudut jalan kecil yang tenang. Pintu kayu dengan kaca berbingkai hitam berderit pelan ketika dia membukanya, dan aroma lembut kopi hangat serta harumnya kucing yang baru dimandikan langsung menyambutnya. Cahaya matahari yang temaram menyusup melalui jendela-jendela besar, menampilkan pemandangan kucing-kucing yang sedang bermain atau tidur nyaman di sudut ruangan. Di salah satu sudut, ada pohon kecil yang dihiasi dengan daun hijau cerah, menambah suasana alami dan menenangkan. Hwa berjalan dengan tenang, membawa keranjang hewan di tangan kanannya. Kucing-kucing kecil di dalam keranjang itu terkadang mengeong pelan, seolah ingin menyapa dunia luar.

"Selamat datang," suara pelayan yang ramah menyapa, keluar dari meja kasir yang terletak di tengah ruangan. Wanita berbaju pelayan itu tersenyum, namun tatapannya seketika terhenti saat melihat wajah Hwa. Dia terkejut, mulutnya ternganga sedikit, dan matanya seolah tak bisa beralih dari Hwa.

"(Astagaaaaa, pangeran tampan dari mana itu? Gilak...)" pelayan itu berbisik dalam hati, meskipun bibirnya tampak terkatup rapat, perasaan kagum itu jelas tergambar di wajahnya.

Hwa, yang tidak menyadari efek wajah tampannya pada orang lain, kemudian melangkah lebih dekat.

"Permisi, bisa aku minta bantuan?" tanya Hwa dengan tatapan serius namun lembut, matanya menunjukkan ketulusan.

Namun, pelayan itu masih terpesona, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Hwa.

"Aku di sini untuk menitipkan—"

"Kau sangat tampan," pelayan itu menyela dengan tidak sadar, matanya masih terfokus pada Hwa. Ungkapan itu keluar begitu saja, dan membuat Hwa terdiam sejenak.

"E...maaf," pelayan itu segera menyadari kesalahan dan menjadi canggung. Tapi Hwa yang mendengarnya, merasa ada sesuatu yang aneh.

"Kau... Mely?" tanya Hwa, tatapannya kini lebih tajam, mengingatkan pada saat-saat mereka dulu di sekolah.

"Mely?" matanya menyelidik, mencocokkan memori yang mulai muncul kembali.

"Eh, kenapa kau bisa tahu?" pelayan itu menatap dengan terkejut, kebingungannya jelas terlihat di wajahnya.

"Aku Hwa dari kelas 3, kau Mely dari kelas 2, bukan? Senang bertemu denganmu," kata Hwa, memberikan senyuman ramah yang hangat. Suasana di sekeliling mereka seakan terhenti sejenak, hanya ada keduanya yang saling bertatap.

Seketika, Mely terkejut. Wajahnya berubah menjadi pucat sejenak, dan kemudian cepat-cepat mengganti ekspresinya menjadi agak canggung.

"K...Kau... Hwa senior... yang sering dibicarakan banyak orang itu?"

"Eh, benarkah?... Mereka membicarakanku?" Hwa menatap bingung, tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud Mely.

Suasana sekeliling mereka kembali terdengar lebih jelas, suara kucing yang sesekali mengeong, dan ada musik lembut yang diputar di kafe itu.

"(Teman-teman sekelasku selalu membicarakan tentangnya... Dia benar-benar lelaki yang sangat tampan seperti yang digosipkan... Astaga, kenapa aku jadi salah tingkah begini... Apa yang harus aku lakukan?)" Pelayan yang bernama Mely itu berkeringat dingin, tampak tertekan, dengan tangan yang sedikit gemetar saat menelan ludah. Wajahnya memerah.

"Kau baik-baik saja?" Hwa masih menatapnya dengan penuh perhatian, meskipun rasa bingung di wajahnya semakin jelas.

"Um... Hwa senior... Bisa kita bertemu lagi?... (Astaga... Pasti yang kukatakan tadi sudah jelas, dia akan menolak...) Mely menjadi deg-degan." Suaranya hampir terdengar seperti bisikan, dan Hwa dapat merasakan ketegangan yang meliputi Mely.

"Oh, tentu... Kapan... Aku bisa selalu," balas Hwa dengan tatapan penuh keyakinan, memberikan senyuman ringan. Seketika Mely terkejut melihat tatapan itu, dan dalam sekejap, hatinya berdebar kencang.

"(Be... benar-benar tampan dan sangat berparas... Ah benar...) Um... mungkin nanti sore saat toko ini tutup... kita bisa mengobrol sebelum tutup," kata Mely, hampir seperti berbisik.

"Itu bagus, kalau begitu bisa aku bicara kenapa aku kemari?" tanya Hwa dengan nada tenang, tapi matanya menunjukkan keseriusan.

"Oh benar... hehe, maafkan aku... Perlu apa datang ke sini, Hwa senior?" Mely sedikit kikuk, masih merasakan kegugupan yang berlebih.

"Aku membawa ini." Hwa menunjukkan kotak kucing yang berisi 4 kucing itu, wajahnya kini menjadi lebih serius.

"Wah... mereka sangat imut," Mely melihatnya dengan takjub, matanya berbinar-binar dan ia segera mengambil salah satu kucing dari kotak itu. Suasana di sekitar mereka terasa lebih hangat dengan kehadiran kucing-kucing itu.

"Haha, pantas saja ini kafe kucing... Pemiliknya juga sangat suka pada kucing... Ini toko mu, bukan?" Hwa menatap Mely dengan penuh perhatian. Suasana kafe yang tenang, dengan aroma kopi dan kucing yang berkeliaran, semakin membuat momen ini terasa menyenangkan.

"Ehehe, iya... Ayahku yang membuatnya khusus untukku... Aku harap ke depannya banyak yang datang agar aku bisa menciptakan refresing untuk orang-orang yang suka pada kucing... Ngomong-ngomong, Hwa senior membawa mereka untuk apa?" tanya Mely, sambil tersenyum lembut.

"Sebenarnya aku menemukan mereka di jalan dalam keadaan tersesat, aku tak mungkin membawa mereka pulang sekaligus, jadi aku berikan mereka untuk kafe ini... Tapi salah satu kucing harus aku bawa pulang," Hwa menunjuk kucing jantan hitam yang terdiam di kandang, matanya tampak penuh kasih sayang terhadap kucing itu.

"Eh, jika dilihat-lihat dari tadi... Kucing itu yang paling tenang dan tidak mengeong sama sekali," Mely menatap kucing hitam itu, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Ya, dia kucing yang unik, jadi aku pilih bawa pulang. Kau tidak keberatan, bukan, aku memberikan tiga kucing itu sementara aku hanya membawa pulang satu?" Hwa menatap khawatir, mencoba memastikan bahwa Mely tidak keberatan.

"Jangan khawatir, Hwa senior, aku bisa menjaga mereka... Terima kasih juga telah membawa mereka kemari dan aku akan menunggu sore ini... Ah, jika boleh tahu... Kenapa kau memilih kucing dengan warna itu?" Mely menunjuk kucing hitam itu yang kini berada di kotak ranjang sendiri, tampak seperti kucing yang cukup pendiam.

"Ah, begini... Adikku Luna, dia sangat suka kucing hitam, jadi mungkin dia akan senang jika aku membawakan ini," kata Hwa dengan senyum lembut, matanya berbinar saat membicarakan adiknya.

"(Hah... Hwa senior punya adik... Astaga?!)" Mely terdiam tak percaya, merasa terkejut dengan informasi itu. Wajahnya berubah merah karena malu, seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu... Mely, sampai jumpa nanti sore," Hwa kembali membawa ranjang berisi kucing hitam kecil itu lalu berjalan pergi meninggalkan Mely yang melambai pelan.

Sementara itu, Felix menatap ponselnya di sofa. Lalu Luna datang dari kaki.

"Ayah..." Luna menatap. Lalu Felix menoleh dari menatap ponselnya.

"Kenapa namaku... Luna...?" tatap Luna dengan wajah imut.

"Kenapa kau ingin tahu?" Felix menatap.

"Yah... Aku hanya ingin tahu saja... Apa ada sesuatu? Seperti soal ibu?"

"Bagaimana kau menebak itu?" Felix berwajah tak percaya.

"Eh, benarkah... Aku hanya mengira saja... Jadi ayah... Kenapa namaku Luna?" Luna kembali menatap. Lalu Felix terdiam dan mengatakan sesuatu dengan singkat.

"Saat kau dewasa nanti, kau akan mengerti," kata Felix.

"Hiz... Gimana sih... Aku pengen tahu dari ayah... Pokoknya ayah harus memberitahuku... Atau aku akan memberi tahu ibu bahwa ayah tak sayang aku."

"Kenapa harus begitu..." Felix menatap bingung. Tapi di saat itu, Hwa datang membuka pintu.

"Aku pulang," dia menatap.

"Hwa..." Luna menatap senang dan mendekat.

"Hai Luna, hai ayah... Ayah! Kapan ayah kemari?" Hwa berwajah tak percaya.

"Ayah dari tadi bersama ku, Hwa... Hwa, apa yang kau bawa?" Luna menatap.

"Aku membawa kesukaanmu," Hwa menunjukan kucing hitam itu.

"Wah... keren banget!!" Luna langsung senang dan memeluknya.

"Kucingnya udah bersih dan wangi... Apa kau membeli ini, Hwa?" Luna menatap.

"Aku menemukannya di jalan dan memandikannya di tempat hewan... Aku harap kau suka itu, Luna... Dia kucing yang tenang," kata Hwa.

"Kau benar, dia sangat tenang... Hai meong," Luna mengelus kucingnya.

Lalu Felix mendekat. "Hwa... persetujuan Sheo Jin, apa kau benar-benar ingin melakukannya?" Felix menatap serius.

Lalu Hwa terdiam berpikir. "Aku... benar-benar ingin melakukannya, ayah," kata Hwa.

"Jadi, sebelum kau masuk militer, apa kau mau berlatih dengannya?"

"Ya, aku sangat ingin," Hwa mengangguk serius. Sementara Luna hanya terdiam bingung dengan kucing itu yang memasang tatapan manis.

Sore harinya, Hwa menepati janjinya untuk datang ke kafe Mely. Udara di luar terasa sejuk, langit mulai menguning dengan cahaya matahari yang perlahan meredup. Saat Hwa membuka pintu kafe, suasana di dalamnya terasa hangat, dengan pencahayaan lembut yang membuat ruangan ini semakin nyaman. Mely sudah duduk di salah satu meja, matanya melihat ke pintu setiap kali suara bel terdengar, menunggu kedatangan Hwa. Ketika dia akhirnya masuk, senyumnya langsung menyinari wajahnya, meskipun ada sedikit kekhawatiran di matanya, apakah Hwa akan datang tepat waktu.

"Maaf menunggu lama," Hwa berjalan mendekat dengan langkah tenang dan raut wajah yang santai, meskipun dalam hatinya ada sedikit rasa canggung.

"Tak apa... Duduklah, senior," kata Mely dengan senyum hangat, mempersilakan Hwa duduk di sampingnya. Meja di depan mereka dihiasi dengan sebuah cangkir kopi yang tampak istimewa. Di permukaan kopi tersebut, terlihat gambar wajah kucing yang lucu, tampaknya sengaja dibuat dengan hati-hati. Hwa memperhatikan dengan penuh rasa kagum.

"Wah, sangat luar biasa, kau yang membuatnya, Mely?" Hwa bertanya, sambil menatap Mely dengan mata penuh kekaguman.

"Ehehe, itu khusus untukmu, senior," kata Mely, wajahnya sedikit memerah. Ada rasa bangga dalam dirinya bisa membuat sesuatu yang spesial untuk Hwa, meskipun dia merasa sedikit malu karena menyadari betapa Hwa memperhatikannya.

"Sangat terampil... Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ketiga kucingnya?" Hwa bertanya lagi, perhatiannya sekarang beralih ke kucing-kucing yang dia titipkan beberapa waktu lalu.

"Mereka berinteraksi dengan cepat dan akurat di sini... Senior tak perlu khawatir soal mereka. Oh ya... Aku ingin mengatakan sesuatu soal sekolah lanjutan senior," Mely sedikit gugup, matanya menatap Hwa seakan mencari tahu bagaimana cara mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

"Sekolah lanjutan? Maksudmu... kampus?" Hwa bertanya, sedikit bingung dengan perubahan pembicaraan.

"Ya... Siapa tahu kita bisa bersama lagi nanti... (Aduh, aku ini... kepo banget deh... Tapi yang benar saja, siapa sih yang bisa menolak senior ganteng sepertinya?)" Mely berpikir dalam hati, sedikit salah tingkah, tetapi hatinya berdebar kencang.

"Hm... Sepertinya aku tidak akan kuliah," jawab Hwa dengan nada yang sedikit ragu, membuat suasana menjadi hening sesaat.

"Hah... Kenapa?!" Mely sangat terkejut, ekspresinya jelas menunjukkan kebingungannya. Mungkin dia mengira Hwa akan melanjutkan pendidikan di kampus terkenal, dan tiba-tiba mendengar jawabannya yang mengejutkan.

"Aku akan masuk ke... (Tunggu... Kenapa aku langsung bilang begitu saja... Lebih baik aku tak perlu memberitahunya,)" Hwa terdiam sejenak, merasa sedikit bingung dengan dirinya sendiri. Kata-kata itu begitu tiba-tiba keluar tanpa banyak berpikir.

"Senior... Tapi kenapa?" Mely masih tak percaya dengan jawaban yang baru saja didengarnya.

"Aku hanya... langsung bekerja, itu saja... Mely juga tak perlu tahu tentangku, bukan?" Hwa berkata dengan nada santai, mencoba menutupi kegugupannya, meskipun hatinya mulai terasa berat.

"(E...)" Mely terkejut, seakan tersambar petir, tubuhnya membeku sejenak.

"Ba... Baiklah... senior... Maafkan aku... (Sepertinya aku tak bisa mendekati senior deh,)" kata Mely, suaranya terdengar pelan dan penuh penyesalan, seolah-olah dunia di sekitarnya tiba-tiba menjadi lebih sunyi dan kelabu.